Showing posts with label pemilukada. Show all posts
Showing posts with label pemilukada. Show all posts

Monday, November 2, 2015

Rumusan Randall tentang Pelembagaan Partai Politik

Rumusan Randall tentang Pelembagaan Partai Politik
 
Pemikiran Vicky Randall dan Lars Svasand yang dimuat dalam Jurnal Party Politics Vol. 8 Januari No. 1 Tahun 2002 tentang pelembagaan partai politik menarik untuk melengkapi Teori Pelembagaan Partai Politik Huntington.

Dikatakannya, bahwa proses pelembagaan mengandung dua aspek, yaitu aspek internal-eksternal, dan aspek struktural-kultural. Bila kedua dimensi ini dipersilangkan, maka akan tampak sebuah tabel empat sel, yaitu (1) derajat kesisteman (systemness) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan struktural, (2) derajat identitas nilai (value infusion) suatu partai sebagai hasil persilangan aspek internal dengan kultural, (3) derajat otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy) sebagai hasil persilangan aspek eksternal dengan struktural, dan (4) derajat pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik sebagai persilangan aspek eksternal dengan kultural[1].

Teori Pelembagaan Partai Politik Huntington

Teori Pelembagaan Partai Politik Huntington

Dari beberapa pemikiran tentang pelembagaan partai politik, pemikiran Samuel P. Huntington baik untuk kita perhatikan terlebih dahulu. Huntington mendasari pemahaman pelembagaan partai politik dengan terlebih dahulu memahami persoalan stabilitas politik dengan menekankan adanya suatu “tertib politik” (political order), yang mengacu pada kondisi stabilitas politik, sebagai tujuan dalam pembangunan politik. Tertib politik ini dapat dicapai tergantung pada pembangunan lembaga politik dan mobilisasi kekuatan sosial-baru di bidang politik[1]. Maka, sebagai pembuka bagi keseluruhan gagasan “tertib politik” ini, Huntington memulainya dengan kajian pelembagaan politik (political institutionalization).

Pelembagaan Partai Politik

Pelembagaan Partai Politik

“Tidak ada demokrasi tanpa politik, dan tidak ada politik tanpa partai”
(Clinton Rossiter)[1]

“Partai dan sistem partai yang melembaga adalah aktor kunci untuk menentukan akses pada kekuasaan”
(Mainwaring dan Scully)[2]

Apa itu Pelembagaan Partai Politik

Pengertian pelembagaan, menurut Samuel P. Huntington, adalah proses di mana organisasi dan  tatacara memperoleh nilai baku dan stabil[3]. Nilai dan stabilitas dalam pemahaman Huntington ini mewujud dalam pemantapan perilaku, sikap atau budaya dalam organisasi (partai politik). Ramlan Surbakti memberikan pengertian pelembagaan partai politik sebagai suatu proses pemantapan partai politik, baik dalam wujud perilaku yang memola maupun dalam sikap atau budaya (the process by which the party becomes established in terms of both of integrated patterns of behavior and of attitude or culture)[4]. Perilaku yang memola, sikap dan budaya, dalam pelembagaan partai politik, menurut Ramlan, beroperasi dalam empat dimensi yakni (1) dimensi derajat kesisteman (systemness), (2) derajat identitas nilai (value infusion), (3) dimensi otonomi suatu partai dalam pembuatan keputusan (decisional autonomy), (4) derajat pengetahuan atau citra publik (reification) terhadap suatu partai politik[5]. Partai politik dapat dikatakan sudah melembaga apabila telah mencapai ke-empat dimensi tersebut sehingga memiliki perilaku, sikap dan budaya yang memola dan ajeg.

Strategi Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilu

Strategi Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilu

Wawan E. Kuswandoro

Disampaikan pada Seminar “Peningkatan Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilihan Umum 2014”, diselenggarakan oleh KPU Kabupaten Kediri, di Hotel Grand Surya, Kediri, tanggal 26 Oktober 2013.

Partisipasi Politik Masyarakat Dalam Pemilu

Secara sederhana, partisipasi politik dapat dipahami sebagai aktivitas warga negara yang bertujuan mempengaruhi pengambilan keputusan politik, dan partisipasi ini bersifat sukarela, tanpa dimobilisasi oleh negara maupun partai yang berkuasa[1]. Tetapi kemudian diperluas, terutama pada bagian “tanpa mobilisasi”, bahwa partisipasi yang “dipaksa” (dimobilisasi) pun termasuk dalam kajian partisipasi[2]. Sedangkan cara berpartisipasi politik, meliputi partisipasi konvesional seperti ikut dalam kegiatan kampanye dan pemilu, dan partisipasi non-konvensional, yakni partisipasi yang mengikuti kemunculan “gerakan sosial baru” seperti gerakan feminis, protes mahasiswa dsb. Namun dalam tulisan ini, cara dan bentuk partisipasi yang dimaksudkan adalah keterlibatan warga negara dalam kegiatan pemilihan umum atau secara khusus, partisipasi pemilih yakni keikutsertaan masyarakat sebagai pemilih (memberikan suara).