Sunday, November 1, 2015

Wayang Dalam Budaya Jawa

Wayang Dalam Budaya Jawa


Wayang, yang dimaksud adalah ‘wayang kulit’, atau ‘wayang kulit purwa’ (pakeliran purwa), merupakan bentuk berkesenian  yang kaya akan cerita falsafah hidup sehingga masih bertahan di kalangan masyarakat Jawa hinggga kini. Seni pertunjukan pakeliran purwo sebagai salah satu bentuk kesenian Jawa merupakan produk masyarakat Jawa (Hauser, Arnold, 1974:94). Di saat pindahnya Keraton Kasunanan dari Kartasura ke Desa Solo (sekarang Surakarta) membawa perkembangan dalam seni pewayangan. Seni pewayangan yang awalnya merupakan seni pakeliran dengan tokoh utamanya Ki Dalang yang bercerita, adalah suatu bentuk seni gabungan antara unsur seni tatah sungging (seni rupa) dengan menampilkan tokoh wayangnya yang diiringi dengan gending/ irama gamelan, diwarnai dialog yang menyajikan lakon dan pitutur/ petunjuk hidup manusia dalam falsafah Jawa.



Seni pewayangan tersebut digelar dalam bentuk yang dinamakan Wayang Kulit Purwa, dilatarbelakangi layar/kelir dengan pokok cerita yang sumbernya dari kitab Mahabharata dan Ramayana, berasal dari India. Namun ada juga pagelaran wayang kulit purwa dengan lakon cerita yang di petik dari ajaran Budha, seperti cerita yang berkaitan dengan upacara ruwatan (pensucian diri manusia). Pagelaran wayang kulit purwa biasanya memakan waktu semalam suntuk. Kata purwo untuk membedakan dengan dengan pakeliran jenis lain, misalnya wayang orang (wong), wayang madya, wayang gedong dan sebagainya. Pakeliran purwo tidak dapat dilepaskan dari konteks masyarakat Jawa dalam berbagai aspeknya seperti aspek-aspek ekonomi, politik, dan sosio-kultural (Chanman & Baskoff,[ed.], 1964:140-157).

Mulder (1981: 30) mengatakan bahwa pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup tersebut dibentuk oleh suatu cara berfikir dan cara merasakan tentang nilai, organisasi sosial, prilaku, peristiwa-peristiwa dan segi-segi lain dari pengalaman. Pemikiran orang Jawa adalah membangun sikap batin yang sesuai dan seimbang. Karena pada prinsipnya segi lahiriah itu selalu melukiskan kekacauan dan selalu mengikatkannya pada dunia materi, maka hal tersebut dapat menimbulkan hambatan.

Magniz Suseno membagi pandangan dunia Jawa menjadi empat lingkaran bermakna (1988:83-84). Lingkaran pertama bersifat ekstrovert, yang intinya adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan nominus antara alam, masyarakat dan alam adikodrati yang keramat, yang wujudnya lebih kuat dipedesaan dan atau dalam lapisan masyarakat buta huruf, yang oleh Geertz (1969) sementara disebut agama abangan. Lingkaran kedua memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam nominus. Lingkaran ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan nominus, yang oleh Geertz (1969) disebut sebagai agama priayi. Lingkaran keempat yakni penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi atau Takdir.

Wayang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat Jawa. Cerita-cerita dalam pakeliran purwo tersebut mengiaskan perilaku watak manusia dalam perjalanannya mencapai tujuan hidup baik lahir maupun batin. Pemahaman terhadap kias tersebut tidak semata-mata dilakukan dengan pikiran melainkan dengan seluruh cipta, rasa, karsa bergantung kepada kedewasaan orang masing-masing.

Masyarakat Jawa gemar beridentifikasi diri dengan tokoh-tokoh wayang tertentu dan bercermin serta bercontoh padanya dalam melakukan perbuatan dalam kehidupan sehari-hari. Pengidentifikasian tersebut dapat ditunjukkan dengan pemberian nama. Selain pemberian nama terkadang juga penyerupaan diri manusia dengan tokoh-tokoh wayang juga diberikan kepada orang lain yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu. Karena begitu besarnya peran wayang dalam kehidupan orang Jawa, maka tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa wayang merupakan identitas manusia Jawa.

Sejarah Perkembangan Kesenian Wayang

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang merupakan bagian dari upacara keagamaan orang Jawa. Asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih menjadi masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang.

Menurut Kitab Centini disebutkan bahwa asal-usul wayang Purwa mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang/Kediri sekitar abad ke 10. Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Cerita Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem cerita wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagai dalangnya. Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.

Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati pagelaran wayang. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan.

Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya, beliau dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dilakukan penyempurnaan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.
Pada masa kerajaan Demak para pemeluk agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan dibuat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbau ini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Pada masa itu terjadi perubahan secara besar-besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir/layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun dalam pagelaran purwo juga sudah dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.

Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.

Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata “Gedog” berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan cerita-cerita Kepahlawanan dari “Kudawanengpati”atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah cerita Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.
Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceritanya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa.

Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris. Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.

Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma (1552 J / 1670 M). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: (1553 J / 1671 M).

Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari cerita Damarwulan, pelaksanaan pagelaran wayang klitik tersebut dilakukan pada siang hari. Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.

Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceritakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang/Kediri. Kemudian  pindah Kraton di Pengging.

Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Cerita dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari cerita Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam cerita Panji. Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945-1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.

Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan cerita-cerita perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh. Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari. Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. (Sutini, dalam http://www.jawapalace.org /wayang.html).

Sekilas Tentang Pakeliran Purwo
Wayang Purwa adalah perlambang kehidupan manusia di dunia ini. Berdasarkan dari sejarahnya, induk/sumber cerita wayang itu, baik Ramayana maupun Mahabharata, kedua-duanya itu merupakan Weda (kitab suci) agama hindu yang kelima, yang disebut panca weda. Kedua kitab tersebut memuat pelajaran weda yang disusun berujud cerita. Serat Ramayana diciptakan oleh Resi Walmiki menceritakan pelaksanaan karya Awatara Rama untuk mensejahterakan dunia. Serat Mahabharata diciptakan oleh Resi Wyasa, menceritakan pelaksanaan karya Awatara Krisna juga untuk mensejahterakan dunia.

Berkaitan penciptaan pada dunia wayang pada intinya cerita wayang berasal dari dewa-dewa bernama Hyang Manikmaya (Betara Guru) dan Hyang Ismaya (Semar). Mereka adalah putera dari Hyang Tunggal. Hyang Tunggal tidak diwujudkan dalam wayang. Kedua putra itu muncul secara bersamaan dalam bentuk cahaya. Manikmaya bercahaya bersinar-sinar. Ismaya bercahaya kehitam-hitaman. Kedua cahaya ini berebut untuk mendapatkan status sebagai yang tertua diantara mereka.

Kemudian Hyang Tunggal bersabda, bahwa yang tertua adalah cahaya yang kehitam-hitaman, tetapi diramalkan bahwa dia tak dapat berjiwa sebagai Dewa Ia diberi nama Ismaya. Karena ia memiliki sifat sebagai manusia maka dititahkan supaya tetap tinggal di dunia dan mengasuh turunan Dewa yang berdarah Pendawa. Maka diturunkanlah ia kedunia dan bernama Semar, yang berbentuk manusia yang sangat jelek rupa. Cahaya yang bersinar terang diberi nama Manikmaya dan tetap tinggal di Suralaja (kerajaan Dewa). Manikmaya merasa bangga, karena tidak mempunyai cacat dan sangat berkuasa. Tetapi sikap yang demikian itu menyebabkan Hyang Tunggal memberinya beberapa kelemahan.
Kedua kejadian ini   merupakan perlambang. Ismaya adalah lambang badan manusia yang kasar dan Manikmaya lambang kehalusan bathin manusia. Raga kasar (Semar) senantiasa menjaga kelima Pendawa yang berujud Panca indera atau kelima perasaan tubuh manusia: indera penciuman (Yudistira); indera pendengaran (Werkodara); indera penglihatan (Arjuna); indera perasa (Nakula), dan indera peraba (Sadewa). Tugas dari Semar adalah menjaga kesejahteraan Pendawa , supaya mereka menjauhi peperangan dengan Korawa (rasa amarah). Tetapi Hyang Manikmaya lah yang senantiasa menggoda sehingga Pendawa dan Kurawa tidak pernah berhenti berperang. Hingga akhirnya terjadilah Baratayuda, di mana Pendawalah yang menjadi pemenangnya.
Pada pagelaran wayang kulit nilai-nilai yang diajarkan terkait dengan cerita dan tokoh-tokoh tertentu. Adapun nilai-nilai dalam pagelaran diantaranya adalah nilai kepahlawanan contoh: tokoh Kumbakarna, Adipati Karna, nilai kesetiaan contoh: tokoh Dewi Sinta, Raden Sumantri (Patih Suwanda) dan sebagainya; nilai keangkara murkaan contoh: tokoh Rahwana, Duryudana dan sebagainya; nilai kejujuran  contoh: Tokoh Puntadewa dan sebagainya. dan sebagainya. dan sebagainya; Di sini masih banyak nilai-nilai yang lain yang patut ditimba manfaatnya bagi kita semua. Selain itu dalam pegelaran wayang kulit juga terdapat lambang-lambang yang mengambarkan kisah hidup manusia di dunia. Kalau kita mengamati lakon Dewa Ruci di dalamnya mengandung lambang kehidupan manusia di dalam mencapai cita-cita hidup kita harus dapat melewati beberapa tantangan, kalau kita berhasil mencapainya kita akan mendapatkan buahnya.
Pergelaran seni pedalangan, baik untuk waktu semalam suntuk maupun untuk 4 jam atau hanya waktu 2 jam, namun lakon tersebut kedudukannya tetap, ialah merupakan pokok dari pada pergelaran seni pedalangan. Lakon-lakon pewayangan menyangkut apa yang disebut pakem yang dalam bahasa Jawa berarti: pathokan, paugeran atau wewaton. Pakem meliputi 2 macam hal yang dalam pergelaran terpadu menjadi satu kesatuan, yaitu : (1). Pakem tentang lakon; dan (2). Pakem yang mengenai tehnik perkeliran. Pada waktu dipergelarkan dalam perkeliran dua pakem itu satu sama lain saling isi-mengisi dan jalin-menjalin, sehingga dapat mendatangkan suatu proses cerita yang mengandung keindahan serta pendidikan yang tinggi.
Lakon-lakon pewayangan yang begitu banyak dipergelarkan dewasa ini, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 bagian, ialah: 1. Lakon wayang yang disebut pakem; 2. Lakon wayang yang disebut carangan; 3. Lakon wayang yang disebut gubahan; 4. Lakon wayang yang disebut karangan. Penjelasan dari lakon pewayangan tersebut sebagai berikut : 1. Lakon pakem : yang disebut lakon-lakon pakem itu sebagian besar ceritanya mengambil dari sumber-sumber cerita dari perpustakaan wayang, misalnya: lakon Bale Sigala-gala, pandawa dadu, baratayuda, rama gandrung, subali lena, anoman duta, brubuh ngalengka dan lain sebagainya. 2.  Lakon carangan : yang disebut carangan itu hanya garis pokoknya saja yang bersumber pada perpustakaan wayang, diberi tambahan atau bumbu-bumbu berupa carangan (carang Jw = dahan), seperti lakon-lakon : babad alas mertani, partakrama, aji narantaka, abimanyu lahir dll. 3. Lakon gubahan : yang disebut gubahan itu ialah lakon yang tidak bersumber pada buku-buku cerita wayang, tetapi hanya menggunakan nama dan negara-negara dari tokoh-tokoh yang termuat dalam buku-buku cerita wayang, misalnya lakon-lakon: irawan Bagna, gambiranom, dewa amral, dewa katong dsb. 4. Lakon karangan : yang disebut lakon karangan itu ialah suatu lakon yang sama sekali lepas dari cerita wayang yang terdapat dalam buku-buku sumber cerita wayang, misalnya lakon-lakon : praja binangun, linggarjati, dan sebagainya. Dalam lakon praja binangun tersebut diketengahkan nama tokoh-tokoh wayang seperti : ratadahana (Jendral Spoor), Kala Miyara (Meiyer), Dewi Saptawulan (Juliana), Bumiandap (Nederland) dan sebagainya.
Untuk mengetahui sesuatu lakon wayang itu apakah pakem atau bukan, tidaklah mudah, apabila orang tidak mengenal dan memahami sumber cerita wayang. Adapun sumber cerita wayang itu ada 2 macam yaitu: 1. Sumber-sumber cerita wayang yang berupa buku-buku, misalnya : Maha Bharata, Ramayana, Pustaka Raja Purwa, Purwakanda dll; 2. Sumber-sumber cerita wayang yang semula berasal dari lakon carangan atau gubahan yang telah lama disukai oleh masyarakat. Sumber-sumber cerita ini disebut pakem purwa-carita yang kini sudah banyak juga yang dibukukan, misalnya lakon-lakon: Abimanyu kerem, doraweca, Suryatmaja maling dan sebagainya. Purwakanda adalah salah satu sumber cerita wayang di Yogyakarta yang memuat kisah sejak bathara guru menerima kekuasaan dari sanghyang tunggal sampai dengan bertahtanya R. Yudayana sebagai Raja di negeri Ngastina. Buku tersebut berbentuk tembang dan yang ada mungkin hanya di Yogyakarta saja, baik dalam karaton maupun diluarnya. Serat purwakanda tersebut dihimpun atas perintah almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono V. Penghimpunan dan penyusunan Serat Purwakanda ini kira-kira bersamaan waktunya dengan almarhum R.Ng.Ronggowarsita di Solo, yang juga menghimpun dan menyusun Serat Pustaka Raja Purwasita yang terkenal itu. Serat purwakanda tesebut oleh sebagian dalang-dalang di Yogyakarta, terutama dalang-dalang dari keraton Yogyakarta dijadikan sumber lakon-lakon wayang dalam perkelirannya,sedangkan di Solo adalah Serat Raja Purwasito.
Pakem tehnik perkeliran atau wewaton tehnik perkeliran itu setiap daerah atau setiap gaya tentu ada dan sudah barang tentu tidak dapat diabaikan sama sekali. Hal itu erat sekali hubungannya dengan perasaan indah yang hidup di masing-masing daerah. Misalnya perkeliran gaya sala berbeda dengan gaya yogya. Berbeda pula dengan gaya banyumas, tegal, jawa timur, dll. Mungkin hal ini pula sangkut-pautnya dengan falsafah hidup dalam masyarakat itu sendiri-sendiri.
Identifikasi Tokoh Wayang dalam Kehidupan Orang Jawa  

Pakeliran purwo merupakan bentuk pertunjukan yang penuh dengan cerita falsafah hidup. Setiap tokoh dalam pakeliran purwo mempunyai watak dan prilaku yang mencerminkan kehidupan manusia di dunia. Watak dan prilaku ini meliputi watak yang baik dan juga watak yang tidak baik. Masyarakat Jawa gemar mengidentifikasikan diri, bercermin dan sekaligus mencontoh prilaku dan watak tokoh-tokoh wayang tertentu.  Bentuk identifikasi bisa ditemui dalam perbuatan dalam kehidupan sehari-hari.

Lebih jauh dikatakan Mulyono (1992: 12) bahwa wayang merupakan simbol yang menerangkan eksistensi manusia dalam hubungannya antara daya natural dengan supernatural. Hubungan antara manusia dengan alam semesta, antara makhluk dengan penciptanya, antara pribadi dengan sesamanya. Wayang banyak memberikan ajaran tentang hakikat kehadiran manusia baik sebagai individu maupun kedudukannya sebagai anggota masyarakat. Wayang berisi ajaran batin dan ajaran lahir yang sesuai dengan peradaban manusia dan kesusilaan. Seni pertunjukan wayang mampu membantu manusia dalam memahami hidup dan mengenal diri sendiri serta sesama maupun orang lain tanpa prasangka dan tanpa pra-anggapan yang negatif.

Masyarakat Jawa dalam berintrospeksi diri atas kejadian yang dialami dalam kehidupan sehari-hari, gemar mengaitkannya dengan cerita-cerita dalam wayang. Hal tersebut digunakan sebagai upaya menghibur diri. Selain itu, wayang juga digunakan untuk menunjukkan suri tauladan yang baik bagi kehidupan.

Pada sebuah pagelaran wayang seorang dalang dapat menyelipkan berbagai berbagai ajaran kehidupan, moral dan sebagainya. Ajaran tersebut dapat berfungsi untuk mendidik anak. Selain itu juga keterbukaan penafsiran dalam wayang juga bisa dijadikan sebagai sarana pendewasaan berpikir.

Pengidentifikasian tersebut dapat ditunjukkan dengan pemberian nama. Selain pemberian nama terkadang juga penyerupaan diri manusia dengan tokoh-tokoh wayang juga diberikan kepada orang lain yang memiliki kelebihan-kelebihan tertentu, misalnya tokoh Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia.

Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru. Semar sebagai Dewa yang berwujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa dan pengayom rakyat.

Tokoh Semar adalah simbol yang cukup unik dalam pewayangan Jawa. Dia bisa menjadi wong cilik sekaligus juga seorang dewa. Biasanya para penguasa seolah ingin mewujudkan dirinya sebagai seorang semar. Tetapi yang menjadi masalah adalah hubungan antara hamba dan tuannya atau dalam konsep modern disebut dengan penyelesaian struktural yang diakui secara terus terang, tetapi dalam paham Jawa atau dalam kerajaan Jawa hubungan antara penguasa dan rakyatnya tidaklah demokratis seperti dalam pengertian modern (Hooker, 2001: 478).

Pada Pemerintahan orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto sebagai presiden, seni pertunjukan wayang dimanfaatkan untuk sosialisasi program-program pembangunan. Jika ditelusuri lebih lanjut mengenai hubungan wayang dan pemerintahan Soeharto, pada bulan April 1969, dalam rangka peluncuran Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) yang pertama, Soeharto mengumpulkan dalang-dalang wayang kulit dari berbagai daerah di istana kepresidenan, Jakarta. Soeharto bermaksud menggugah semangat mereka membantu proses pembangunan nasional dengan menyebarkan tujuan dan prioritasnya (Hooker, 2001: 477).

Sifat Soeharto sebagai pengayom dan pelindung rakyat kecil diperlihatkan saat dia berdialog dengan para petani. Itu terbukti dari rutinitas dia bertemu dengan para petani dalam acara Klompencapir (Kelompok Pendengar, Kelompok Pembaca dan Kelompok Pemirsa) di daerah-daerah. Soeharto berdialog langsung dengan mereka. Soeharto  mendengarkan keluhan-keluhan mereka, lalu ditanggapi satu per satu. Kegiatan seperti itu bisanya ditayangkan di TVRI (Televisi Republik Indonesia) yang merupakan televisi milik pemerintah.

Sebenarnya Klompencapir bukan sesuatu yang baru karena sudah dipelopori sejak akhir tahun 1960-an. Pada tahun 1969, demi pembangunan FAO, mempopulerkan apa yang disebut sebagai Dewan Pembina Siaran Desa (Dhakidae, 2003: 269). Kegiatan ini disiarkan melalui stasiun Radio Republik Indonesia. Setelah itu, klompencapir diresmikan tanggal 14 Juni 1984 dengan Keputusan Menteri Penerangan, pada waktu itu dijabat oleh Harmoko. Pada tahun itu terbentuk 41.117 klompencapir yang harus dibina-bina di desa-desa Indonesia.

Dalam konteks seperti itu, Soeharto sebagai pengayom, pelindung bagi mereka yang hidup di pedesaan. Mereka tidak mengetahui sosok sebenarnya dari diri Soeharto, terutama dalam menjalankan pemerintahan. Mereka hanya mengetahui, Soeharto adalah dewa penolong, seorang yang bijak, seorang Bapak Pembangunan Bangsa. Gaya bicaranya halus, banyak tersenyum, sopan, selalu memperhatikan setiap pertanyaan para petani. Soeharto ingin menjadikan tokoh Semar sebagai bagian simbol-simbol kekuasaan dan pemerintahannya. Soeharto dalam beberapa pidato-pidatonya mengatakan bahwa dirinya berasal dari desa dan anak seorang petani yang sejak kecil hidup susah. Seperti yang kita ketahui, Semar juga merupakan simbol dari orang kecil.

Ada konsep yang dapat dipakai untuk menjelaskan sifat kebapakan Soeharto. Konsep tersebut adalah patrimonial, lebih khusus lagi konsep patron-client (Moedjanto, 1987: 102). Konsep ini dikembangkan oleh Max Weber untuk menjelaskan pola hubungan antara atasan dan bawahan. Atasan bertindak sebagai patron dan bawahan sebagai client. Lebih lanjut Moedjanto menguraikan konsep patron client dalam masyarakat Jawa. Dia menjelaskan (Moedjanto, 1987: 102) bahwa pada masyarakat Jawa dikenal konsep gusti dan kawula. Hubungan antara patron dan client tidak dibangun menurut sistem tertentu dalam sebuah birokrasi, tetapi menurut pola hubungan keluarga (famili). Oleh sebab itu, kedudukan seseorang bawahan (client) di dalam birokrasi ditentukan bukan oleh kemampuan profesinya melainkan oleh loyalitasnya terhadap atasan (patron). Keterikatan dan keloyalitasan terhadap bapak (patron) akan menjamin anak buah memperoleh status sosial dan sumber ekonomi.

Pada masyarakat pra atau non kerajaan, pemimpin berarti seorang pater. Ia harus bersifat kebapakan. Semua persoalan kembali kepadanya untuk dipecahkan. Semua warga masyarakat menyerahkan pemecahan masalah itu kepada bapak dan mereka akan menaatinya. Dalam situasi sulit karena ada ancaman, bapak akan menjadi pengayom dan pengayem (Moedjanto, 1987: 102).

Semar sering juga disebut dengan “Ki Lurah Semar” yang merupakan punakawan utama dalam pewayangan. Semar adalah tokoh wayang asli Indonesia. Di dalam kitab Mahabarata, tokoh Semar sema sekali tidak disebut. Semar dalam wayang Jawa menunjukkan suatu pengertian yang mendalam tentang apa yang sebenarnya bernilai pada manusia: bukan rupa yang kelihatan, bukan pembawaan lahiriah yang sopan santun, bukan penguasaan tata krama kehalusan yang menentukan derajat kemanusiaan seseorang, melainkan adalah sikap batinnya (Suseno, 1991: 39).

Mengikuti penjelasan Sindhunata (1999a: 208), Semar itu bukan hanya tokoh wayang, tapi juga tokoh yang selalu melekat pada kehidupan orang Jawa sepanjang jaman. Sebelum tanah Jawa ada, Semar sudah ada. Karena itu Semar juga disebut sebagai danyangane tanah Jawa (lelembut yang menjaga tanah Jawa). Lebih lanjut mengikuti penjelasan Sindhunata, dengan mengambil uraian yang ada dalam disertasi Koes Sardjono (1947), bahwa tokoh Semar itu bukan pertama-tama tokoh mistik atau ngelmu seperti anggapan orang kebanyakan.


Tokoh Semar adalah tokoh pewayangan dari budaya Jawa. Oleh sebab itu, asal-usul dan cerita-cerita mengenainya, diantaranya berkaitan dengan keadaan alam di tanah Jawa, yaitu cerita mengenai ditelannya gunung Mahameru. Ketiga putra Sang Hyang Tunggal beradu kesaktian untuk membuktikan siapa dari ketiganya yang paling sakti. Siapa yang dapat menelan gunung Mahameru dan kemudian memuntahkannya kembali, maka dialah yang berhak atas singgasana kahyangan.

Sang Hyang Antaga mendapat kesempatan pertama untuk menunjukkan kesaktiannya. Dia menelan gunung Mahameru. Tapi sampai mulutnya robek, gunung tersebut tetap tak dapat ditelannya. Pada giliran kedua, Sang Hyang Usmaya dapat menelan gunung Mahameru. Ismaya dapat menelan gunung Mahameru, tapi tak dapat memuntahkannya kembali sehingga gunung tersebut  hanya sampai dipantatnya. Pada giliran selanjutnya, tampillah Sang Hyang Manikmaya. Berhubung gunung Mahameru masih di pantat Sang Hyang Ismaya, maka Sang Hyang Manikmaya tak dapat membuktikan kesaktiannya. Tapi justru dialah yang dimenangkan oleh Sang Hyang Tunggal sebagai pewaris Kahyangan. Setelah kejadian ini, Sang Hyang Ismaya diperintah untuk turun ke bumi bertindak sebagai pamong bagi manusia yang berbudi baik.

Contoh lain lakon mengenai Semar adalah Semar Minta  Bagus (Semar Gugat). Lakon itu menceritakan Arjuna yang “menghina” Semar. Arjuna memegang kuncung kepala Semar semata-mata  untuk menyenangkan Srikandi. Semar marah dan menyatakan siapakah dia (Arjuna) sebenarnya. Ternyata, dia (Semar) lebih sakti dari tuannya. Lakon-lakon lainnya mengenai Semar yaitu: Bathara Wisnu Krama, Semar Tambak, Manumayasa Rabi, Semar Kuning, Pandu Lair, Pandu Krama, Mintaraga, Semar Mbangun Klampis Ireng, Semar Boyong, Semar Mbarang Jantur, Makutha Rama, Gatotkaca Sungging, Kilat Buwana, Semar Kuning.

Selain tokoh Semar pengidentifikasian wayang dalam kehidupan masyarakat Jawa yang lain adalah Batara Kamajaya. Dewa Batara Kamajaya merupakan putra dari Batara Ismaya (Semar) yang tinggal di Kayangan Cokrokembang.  Batara Kamajaya punya istri Batari Ratih pasangan ini selalu rukun bersama istrinya. Paras pasangan dewa ini sangat elok. Maka dari itu oleh orang Jawa dijadikan idaman sampai pada cita-citanya dimana kalau punya putra atau putri diharapkan dan dicita-citakan seperti Batara Kamajaya dan Batari Ratih yang berwajah elok dan cantik. Hal ini terbukti di dalam acara tujuh bulan bayi di kandungan diadakan upacara mitoni yang dilambangkan pada cengkir (kelapa muda) berlukiskan Batara Kamajaya dan Batari Ratih.

Pandawa juga seringkali menjadi identifikasi Manusia Jawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Unsur keadilan dan keberanian dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Yudhistira, putra tertua yang melambangkan keadilan; Bhima adalah putra yang sangat kuat; Arjuna, sangat tampan dan memiliki kekuatan gaib; Nakula dan Sahadewa, adalah putra kembar Pandawa. Mereka secara bersama-sama memerintah Negara Amarta.

Semua keluarga Pandawa adalah turunan Dewa. Kaurawa yang dipimpin oleh Duryodhana sebaliknya memiliki sifat suka menipu, jahat, dll. Mereka memperdaya Pandawa untuk mempertaruhkan bagian kerajaan mereka dengan permainan dadu (di mana mereka curang). Pendawa harus mengungsi ketengah hutan selama 12 tahun, dan harus menyamar selama setahun sebelum mereka kembali untuk menuntut hak atas kerajaan. Namun Kurawa menolak untuk mundur sehingga terjadi perang yang amat dahsyat, Bharatayuddha, dimana semua Kurawa terbunuh.  Salah satu dari sekutu Pendawa adalah Krisna (yang sebenarnya adalah reinkarnasi dari Bethara Wisnu) yang berperan dalam menentukan kemenangan bagi Pendawa.

Kelimanya tokoh Pandawa digambarkan bersama-sama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur; bahkan diceritakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar. Masyarakat Jawa sering mengidentifikasi Pandawa dengan memberi nama putra atau putri mereka dengan nama Pandawa dengan harapan dan cita-cita kalau dewasa nanti anak-anak mereka akan mempunyai sifat-sifat seperti yang dimiliki oleh Pandawa.

Penutup
Pagelaran wayang kulit sarat dengan nilai-nilai dan petuah hidup bagi manusia. Wayang kulit merupakan refleksi budaya Jawa dalam pengertian sebagai pencerminan dari kenyataan kehidupan, nilai dan tujuan kehidupan, moralitas, harapan dan cita-cita kehidupan orang Jawa. Sebagai suatu kebudayaan, dalam wayang terkandung ajaran-ajaran bagaimana hidup itu harus dijalani. Melalui cerita wayang masyarakat Jawa memperoleh gambaran kehidupan mengenai bagaimana hidup sesungguhnya dan bagaimana hidup seharusnya. Wayang sebagai kehidupan rohani masyarakat Jawa berisi nilai-nilai luhur yang dapat membantu manusia dalam melangsungkan, mempertahankan hidupnya, sehingga ia dapat mencapai kesempurnaan hidupnya, yakni dapat membentuk dirinya menjadi manusia dan dapat menciptakan suatu kehidupan yang lebih baik.***

Ditulis oleh: Nanang Haryono

Wayang Masa Kini


DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R.O’G. 1996. Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Qalam.
Dhakidae, Daniel, 2003. Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Dwipayana, G dan Ramadhan K.H. 1989. Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
Endraswara, Suwardi. 2003. Mistik Kejawen: Sinkretisme, Simbolisme, dan Sufisme dalam Budaya. Yogyakarta: Spiritual Jawa
Geertz, Clifford. 1992a. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisisus
Hooker, Virginia Matheson, 2001. “Ekspresi: Kreatif Biar pun Tertekan” dalam Emerson, Donald K (editor) 2001. Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama bekerja sama dengan The Asia Foundation.
Moedjanto. G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
Magniz Suseno, Franz Von, 1988, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar dan Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
Sardjono, Agus R. 2001. Sastra dalam Empat Orba. Yogyakarta: Bentang
Soekmono, 1981. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia (jilid 2). Yogyakarta: Kanisius.
Sindhunata, 1990a. Bayang-bayang Ratu Adil. Jakrta: Gramedia Pustaka Utama
Slamet, T.Suparno, 2006, Pakeliran Purwo Jawa dari Ritus sampai Pasar, Disertasi Program Pasca Sarjana Universitas Airlangga.
Sutini, Wayang, http://www.jawapalace.org/wayang.html

______________________
Bacaan lain:
Jaran Bodhak: Simbol Eksistensi Diri Orang Pinggiran
Perayaan Gerebek Besar: Makna Spiritual dan Politik
Mengenal Masyarakat dan Budaya Tengger
Memahami Realitas Sosial Tanpa Prasangka: Fenomenologi






No comments:

Post a Comment