Filsafat Ilmu dan Sosio-Epistemologi
Pertautan antara Filsafat Ilmu (FI) dan Sosio Epistemologi (SE) –keduanya
adalah kajian filsafat ilmu- melahirkan pemahaman filsafat ilmu yang lebih
menggerakkan. Filsafat, yang berada di dataran tinggi ide, pemikiran, “berada
di angkasa” dan sulit membumi, karena memang berurusan dengan dataran pemikiran
radikal, menemui kesadaran sosialnya pada pertemuannya dengan
sosio-epistemologi, yang membuka kesadaran ilmu
pengetahuan berbasis “rasio sosial” guna menghadirkan ilmu pengetahuan sebagai “proyek pembaruan” bagi nilai guna keadaban,
humanisasi dan emansipasi untuk merespons kehidupan sosial yang dinamis. Maka
sintesis FI-SE ini lebih menggugah “pembangunan ilmu” pada praxis: konteks sosial dan humanitas-emansipasi.
Tulisan ini bersumber dari dua buku
filsafat ilmu karya Jujun S.
Suriasumantri, yang berjudul “Filsafat Ilmu: Sebuah
Pengantar Populer”, dalam tulisan ini
disebut “Jujun”. Dan buku karya Aholiab
Watloly, berjudul “Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan Berwatak
Sosial”, dalam tulisan ini disebut “Watloly”. Mempelajari dialog antara keduanya akan memberi asupan nutrisi bagi
pemikiran filsafat ilmu yang mendasari aktivitas keilmuan dan berperilaku sosial.
Kedua buku ini
menyajikan filsafat ilmu dengan ceruk kedalaman (niche) masing-masing, namun saling melengkapi dan mengenergi.
Jujun menawarkan pemahaman dasar namun luas dengan membuka jalur pemikiran
untuk memasuki filsafat ilmu, melalui pengenalan dasar hakikat ilmu dengan
pemahaman ontologis (objek telaah ilmu), epistemologis (cara mendapatkan ilmu
pengetahuan) dan aksiologis (kemanfaatan ilmu pengetahuan). Sedangkan Watloly menawarkan
visi baru hakikat pengetahuan dan keilmuan serta “pembangunan ilmu” pada
konteks sosial dan humanitas-emansipasi, yakni pengenalan sketsa penalaran
sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial). Ia menukikkan filsafat ilmu
pada arena penjelajahan ilmu pengetahuan
berbasis “rasio sosial” guna menghadirkan ilmu pengetahuan sebagai “proyek pembaruan” bagi nilai guna keadaban,
humanisasi dan emansipasi untuk merespons kehidupan sosial yang dinamis. Inilah
Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan
Berwatak Sosial.
Sosio-epistemologi (filsafat pengetahuan) ini mendayai teori kritis hingga
kritik atas teori pengetahuan dan tuntutan-tuntutan metodologis. Hal ini
dimaksudkan untuk pembaruan teori dan perkembangan rasionalisasi masyarakat,
dengan melakukan kritik atas teori sosial modern yang menurut Max Horkheimer,
telah melakukan social discrimination,
membawa konflik cara berpikir ideologis dalam pemikiran filsuf dan pemikir
ideologis modern! Sangat menggugah dimensi kesadaran keilmuan kontekstual-humanistik
dan yang lebih menarik, menyediakan perangkat operasional filsafati, teori dan
metodik secara lebih jelas, pejal dan menantang.
Kedua buku tersebut sama-sama menawarkan misi berpikir filsafat ilmu, tetapi
keduanya berbeda dalam pendekatan untuk membangun pemahaman dan penjelajahan
konseptual dari apa yang disebut “cara berpikir filsafati” dan “cara berpikir
ilmiah”. Jika buku Jujun memberi “gambaran umum”, maka buku Watloly menyelami secara
holistik relung epistemologis ilmu pengetahuan dengan menunjukkan kehadiran
teori-teori sosial dari positivis sampai teori kritis, dan dihubungkan dengan struktur
rasionalitas masyarakat yang terinstitusionalisasi melalui kebudayaan.
Agar lebih mudah, kandungan kedua buku tersebut saya sajikan dalam
sistematika:
Pendahuluan: Misi Keilmuan
Apa misi keilmuan kedua buku tersebut.
Membangun Pemahaman Filsafat Ilmu
Bagaimana kedua buku ini membangun
pemahaman filsafat ilmu sebagai dasar berpikir bagi aktivitas keilmuan.
Membaca Kebenaran
Bagaimana kedua buku ini membaca kebenaran
Kritik Atas Ilmu
Pemosisian kajian filsafat ilmu oleh
kedua buku
Membangun Sikap Ilmiah, Moral dan
Sosial
Membuka sisi aksiologi
Kesimpulan.
__________________________
Pendahuluan: Misi
Keilmuan
Pertama yang bisa dikatakan adalah
bahwa daya jelajah dalam persoalan filsafat ilmu kedua buku sama-sama luas tetapi
ada kekhasan dalam penekanan isi, gagasan
utama dan penjelas serta gaya penyampaian,
sehingga misi keilmuan keduanya
walaupun sama-sama mengupayakan pengenalan kerangka berpikir filosofis akan
hakikat ilmu, masing-masing memiliki titik
tekan dan daya tekan yang khas. Buku
Jujun menjelajah pemahaman filsafat ilmu mulai dari dasar berpikir dan bertanya untuk
mendapatkan jawaban. Buku ini mengenalkan alur-alur berpikir dalam kegiatan
keilmuan dan menerapkannya pada masalah-masalah praktis dalam kehidupan (halm.
13). Pengenalan filsafat sebagai cara
berpikir untuk kegiatan keilmuan, merupakan dasar yang sangat penting bagi
pembelajar ilmu. Setelah pemahaman dasar-dasar pengetahuan dan pemahaman
filsafat ilmu buku ini membawa pembaca pada misi yang lebih luas yakni pemahaman ilmu dalam konteks kebudayaan
hingga penggunaan dalam struktur bahasa serta pada aspek aplikatif yakni pada bidang penelitian dan penulisan ilmiah.
Jujun memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah),
yang ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat ilmu yaitu
(1) objek apa yang ditelaah ilmu; (2) pertanyaan tentang bagaimana proses dan
cara memperoleh ilmu pengetahuan; dan (3)
pertanyaan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan.
Pertanyaan terkait kelompok pertanyaan pertama disebut landasan ontologis ilmu; kelompok kedua adalah epistemologis; dan kelompok ketiga
adalah aksiologis. (halm. 33-34). Pengenalan
pemahaman filsafat ilmu dengan mengemukakan dasar-dasar ontologis-epistemologi-aksiologis merupakan dasar pengetahuan yang
kokoh untuk membentuk alur kegiatan
berpikir melalui penalaran (halm. 42 – 49), memahami sumber pengetahuan
(halm. 50-54), pencarian kebenaran, struktur pengetahuan ilmiah (halm. 141-161),
berpikir ilmiah (halm. 165-225), hingga tanggungjawab sosial ilmuwan (halm.
237-245). Misi yang lebih luas dari buku Jujun ini adalah membawa pemahaman
ilmu dalam konteks pengembangan
kebudayaan. Jujun memandang ilmu sebagai bagian dari pengetahuan dan pengetahuan
merupakan unsur dari kebudayaan (halm. 272). Karenanya, kajian buku ini
mementingkan juga pada usaha meningkatkan peranan ilmu sebagai sumber nilai
yang mendukung kebudayaan (nasional), dengan mengoperasikan gagasan (1) ilmu
sebagai cara berpikir, yakni berpikir ilmiah untuk mendapatkan kebenaran
ilmiah; (2) ilmu sebagai asas moral, yakni meninggikan kebenaran dan pengabdian
secara universal; (3) nilai-nilai ilmiah sebagai pengembang kebudayaan (halm.
273-280). Akhirnya, misi keilmuan buku Jujun menegaskan peranan ilmu
pengetahuan dan sains (dengan membedakan ‘ilmu pengetahuan’ dan ‘pengetahuan’)
pada dataran aplikatif sebagai muara ke dunia nyata, yakni penjelasan buku ini
tentang struktur penelitian dan penulisan ilmiah (halm 307-363). Buku ini cukup
menjangkau kebutuhan dasar hakikat ilmu mulai pemahaman dasar hingga aplikatif
bahkan lebih luas, pada konteks kebudayaan.
Setelah membaca buku Jujun ini dan
berlanjut ke buku Watloly, ditemukan sebuah napas, semangat dan rasa baru akan hakikat
ilmu pengetahuan dan eksistensi ilmu pengetahuan dalam konteks sosial, rasio
sosial dan kebudayaan dalam sajian yang lebih tegas dan menonjol. Visi baru proyek
pemikiran filosofis (epistemologis yang mencair) dari buku Watloly, dirancang
melalui pengenalan sketsa penalaran
sosio-epistemologis untuk terus menyapa realitas sosial yang selalu
mengalir dengan aneka kepentingan untuk dikritisi dan dimaknai bagi kehidupan
itu sendiri. Intinya buku ini memuat
misi pengantaran filsafati ke dalam berbagai diskursus, konstruksi pemikiran,
debat, komunikasi dan konsensus pemikiran demi kepentingan praxis (kemanusiaan dan kemasyarakatan).
Artinya, sosio-epistemologi tawaran
Watloly ini menempatkan pengetahuan dan keilmuan dalam sebuah tataran pertautan
filosofis dan praxis untuk
kepentingan manusia (halm. 8). Landasan ontologis – epistemologis – aksiologis
beserta elaborasinya, jika di buku Jujun kita berkenalan dengan gaya populer
dengan contoh-contoh keseharian, di buku Watloly kita berkenalan dengan elaborasi
dengan sajian teoretikal yang lebih padat. Buku Watloly memulai dengan
pemahaman ‘pengetahuan’ yang dipandang sebagai sebuah konstruksi sosial (social constructed), sedangkan
unsur-unsur, nilai-nilai kemanusiaan dan sosial budaya menjadi bibit, pupuk
serta perangsang atau pendorong pertumbuhan pengetahuan (halm. 21).
Ruang penjelajahan pengetahuan
dilakukan berdasarkan prinsip sosiologi pengetahuan. Artinya konstruksi
pengetahuan merupakan pengkajian yang
mendalam tentang hasil kreasi manusia atau masyarakat, dan menggunakan indigenisasi
sebagai pendekatan sosio-epistemologi yang menguak sisi-sisi endogen
(dari dalam) masyarakat, atau memahami
hakikat pengetahuan dari perspektif masyarakat (halm. 41). Kekhasan ini
yang berbeda dari penjelasan dalam buku Jujun. Buku Jujun juga mengakui
masyarakat sebagai “sumber pengetahuan” dalam pengertian masyarakat sebagai
tempat keberadaan masalah atau gejala yang ingin dicari jawabannya dan
masyarakat berupaya mencari jawabannya dengan ‘metode pencarian jawaban’ ala
masyarakat seperti metode coba-coba (try
and error), penafsiran, pengalaman
(common sense). Sistem pengetahuan milik masyarakat yang mewujud dalam “local genius”, “local wisdom” diakui sebagai sumber pengetahuan dalam buku Jujun,
namun dianggap memiliki kelemahan karena tidak bersandar pada cara berpikir
ilmiah (berdasar akal sehat, rasionalitas).
Di sinilah pentingnya ilmu, yang
mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang
berbagai kejadian (buku Jujun halm. 107-113). Di sinilah diakui metode ilmiah (metode penelitian) dalam
rangka “mencari jawaban yang benar”
atas suatu masalah atau gejala. Diperlukan “intervensi” metode ilmiah untuk “mengakomodasi”
sistem pengetahuan masyarakat (yang tidak ilmiah tadi) dalam rangka mencari
kebenaran. Biar nyambung, gitu.
Sedangkan dalam buku Watloly, anasir
sistem pengetahuan tadi dipandang sebagai sebuah kontribusi dari masyarakat
baik yang berupa tata pikir yang bersifat harian maupun pengetahuan lokal (local knowledge) yang pra-ilmiah, dalam
rangka mengembangkan sistem pengetahuan yang memadai bagi kepentingan
kemanusiaan dan kemasyarakatan (buku Watloly halm. 41-42), karena pengetahuan
dipandang sebagai konstruksi sosial,
sehingga pengetahuan yang khas manusia adalah produk pertukaran antar manusia
atau antar subjek berdasarkan kaidah logis dan etis dalam konteks historisnya (halm.
21). Dalam hal ini buku Watloly membawa misi penghadiran “pengetahuan yang khas
manusia” atau pengetahuan seorang manusia dalam konteks sosialnya yang khas, sehingga
penjelajahan revolusi keilmuan dalam konteks historisnya dengan mengelaborasi
teori-teori sosial yang hadir sebagai penjelas realitas sosial (konstruksi
teoretis) yang mengiringi kegiatan berpikir filsafati. Dimulai dari rentang
waktu ketika muncul logika alam, yang memunculkan teori-teori positivistik yang
empiris, hingga penjelajahan teori kritis (buku Watloly halm. 49-75).
Elemen kesadaran kritis yang ditawarkan Watloly ini juga sangat membedakan dari Jujun. Kesadaran kritis dalam sosio-epistemologi
mengemban tugas pembebasan, dan
karenanya, setiap individu bebas
memformulasikan pikiran atau jawabannya atas setiap realitas permasalahan yang
dihadapi. Masyarakat ditempatkan
sebagai subjek yang bertautan (dialektis) dengan kesadaran sesaat, kesadaran
palsu dan struktur-struktur pengetahuan maupun struktur sosialnya (halm. 76). Fondasi dialektika sosio-epistemologi ini
membuka cakrawala penjelajahan tanpa batas akan pemikiran keilmuan berbasis
(pemikiran) filsafat (kebenaran), mengandaikan teori pengetahuan dan keilmuan yang berkekuatan refleksi-aksi
(lingkaran praxis) yang membuka
ruang dialog bebas sebagai jembatan menuju humanisasi. (halm.79).
Ia tidak berhenti pada pencarian legitimasi empiris (dunia realitas sosial), namun lebih jauh, dengan tetap berada pada dataran filosofis dan pada tegangan dialektis, sosio-epistemologi sebagai filsafat pengetahuan, hendak meneguhkan dirinya pada posisi kritik atas keilmuan dan keberadaan. Ia berpandangan bahwa pengetahuan bukan sekedar refleksi atas realitas sebab kebenaran pengetahuan lebih mengandung kepentingan-kepentingan yang lebih mendasar. (halm. 99).
Ia tidak berhenti pada pencarian legitimasi empiris (dunia realitas sosial), namun lebih jauh, dengan tetap berada pada dataran filosofis dan pada tegangan dialektis, sosio-epistemologi sebagai filsafat pengetahuan, hendak meneguhkan dirinya pada posisi kritik atas keilmuan dan keberadaan. Ia berpandangan bahwa pengetahuan bukan sekedar refleksi atas realitas sebab kebenaran pengetahuan lebih mengandung kepentingan-kepentingan yang lebih mendasar. (halm. 99).
Untuk itu, sosio-epistemologi
merancang pangkalan pemikiran (basis
penalaran) dalam 5 teori dasar: teori konsensus, teori dialektika, teori
logika diskursif, teori emansipasi dan
teori komunikasi rasional (halm. 102-115). Buku Jujun tidak memiliki term ini tetapi “hanya” memberikan
hembusan pemikiran ilmiah-metodik dalam kemasan populer.
Karenanya dapat dikatakan bahwa (misi)
buku Watloly ini merupakan penjabaran tingkat lanjut, eksplisit dan pejal dari (misi)
buku Jujun yang implisit, dengan kontekstualitas yang lebih nyata, dinamis,
operasional, dan humanis-emansipatif. Hadirnya penjelasan teori-teori sosial
mulai positivistik hingga teori kritis (halm. 117 – 251) menandai revolusi
epistemologis dan munculnya benih-benih pemikiran sosio-epistemologis menunjukkan
posisi kajian sosio-epistemologi dalam dataran hakikat ilmu serta keseriusan dan
kesadaran (dan upaya penyadaran) dari buku Watloly ini akan konteks peradaban
dan kebutuhan mendesak “penghidupan-pendayaan ilmu pengetahuan” dalam struktur
kebudayaan.
Dan, pembangunan masyarakat pun didasarkan pada landasan sosio-epistemologi yang dibangun melalui hubungan dialektis antara teori dan praxis. Inilah misi sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial!).
Dan, pembangunan masyarakat pun didasarkan pada landasan sosio-epistemologi yang dibangun melalui hubungan dialektis antara teori dan praxis. Inilah misi sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial!).
Membangun Pemahaman Filsafat Ilmu
Bagaimana kedua buku ini membangun pemahaman filsafat ilmu? Filsafat ilmu adalah kegiatan berpikir radikal dan
menyeluruh untuk mencapai hakikat kebenaran atas sesuatu, demi ilmu itu sendiri
dan demi kemanusiaan (tercermin dalam buku Jujun dan Watloly). Bagaimana mencapai pemikiran
radikal, menyeluruh dan kritis melalui pemahaman hakikat ilmu (objek kajian
filsafat ilmu adalah ‘ilmu’) dan pemahaman dimensi ontologis-epistemologis-aksiologis
ilmu, memerlukan “serangkaian laku” yang terdistribusi dalam batang tubuh sebuah
buku.
Kedua buku ini menawarkan “rangkaian
laku” yang berbeda, dengan sentuhan rasa yang juga berbeda walaupun memiliki
tujuan yang sama. Perbedaan yang ternyatakan itu merupakan
kenikmatan-tersambung, dari buku Jujun yang meraba hakikat ilmu dalam basis
rasa naluriah yang tersaji dalam “narasi alamiah” (ketika membaca buku Jujun,
terasa tekstur dataran alamiahnya dalam penjelasan hakikat ilmu sekaligus
merasakan “kehadiran” Jujun yang humoris-kritis) hingga ke buku Watloly yang
terasa lebih bersuara, penuh aktualisasi dari padatan-padatan gagasan hakikat
ilmu secara eksplisit sambil mengupas teori-teori sosial yang lahir dari
kegiatan filsafat ilmu hingga memunculkan gagasan tentang kebenaran, praxis, tuntutan teoretis-metodis dan
rasionalisasi masyarakat.
Kenikmatan-tersambung akan kesadaran
hakikat ilmu ini terasa pada buku Watloly pada bagian pembahasan proyek
sosio-epistemologi pada dataran teori-teori sosial (halm. 117-153) dan mulai
menaik pada teori kritis sebagai peletak dasar bangunan filsafat
sosio-epistemologi (halm. 155 – 196) dan masa pematangan sosio-epistemologi
dalam pembaruan teori kritis (halm. 197-232) dan mencapai puncak kenikmatan pada
bahasan inti argumen sosio-epistemologi sebagai program teori (halm. 233 –
251), sebagai program kritik atas teori pengetahuan (halm. 253 – 275). Puncak
kenikmatan ini tertahan sebentar pada bahasan yang mempertanyakan posisi
sosio-epistemologi sebagai teori pengetahuan ataukah teori sosial mengingat
keakraban sosio-epistemologi ketika mengupas teori sosial (halm. 277 – 287).
Namun karakter epistemologis yang
tetap menenggerkan kajian sosio-epistemologi pada wilayah filsafat diperoleh
penegasan pada bagian ini juga, yang disebutkan bahwa sosio-epistemologi
sebagai kritik rasio modern memiliki daya pembaruan tuntutan rasio dan
membangun rasionalitas secara utuh dan mendasar hingga mencapai hakikat
kebenaran (halm. 278 – 328). Jelaslah posisi sosio-epistemologi “di atas” teori
sosial, sehingga memunculkan tuntutan objektif dalam sosio-epistemologi dan tuntutan
teoretis-metodis sebagai validitas dalam sosio-epistemologi (halm. 329-372). Kelegaan
ini membawa kenikmatan lanjutan yang terus membumbung namun berhati-hati ketika
meniti “objektivitas” atau “kebenaran objektif” dalam debat tentang
objektivitas dalam keilmuan sosial yang memunculkan paradigma penyangkalan (falsification) Karl R. Propper dan
paradigma objektivitas Thomas S. Kuhn dan Drucker. Objektivitas ini bersanding
dengan watak praxis
sosio-epistemologi sehingga tetap tidak meninggalkan objektivitas dan tidak
mematikan praxis yaitu melalui
komunikasi rasional.
Tampaklah bahwa buku Jujun dalam membangun
pemahaman filsafat ilmu dengan menampilkan contoh-contoh pengalaman budaya atau
menggali pengalaman masyarakat untuk dibahas dalam koridor keilmuan dan diberi
makna, hal yang menunjukkan pemahaman yang mendarah-daging dari seorang Jujun
akan hakikat ilmu, dan itu disuguhkan dalam kemasan bahasa populer. Enak
dicerna namun memerlukan kesabaran dalam memahami isinya dan mempertautkannya
dengan nilai-nilai filsafat ilmu dan pengenalan pemikiran logis, penalaran dan
metodologis yang terkandung di dalamnya. Jika kurang sabar, maka bangunan makna
filsafat ilmu yang tersembunyi dan implisit dalam timbunan peristiwa keseharian
akan kurang tergali. Namun bangunan pemahaman filsafat ilmu yang ditawarkan
Jujun sangat mendasar dan mencerahkan, hingga penyadaran akan pentingnya
berpikir ilmiah-metodik dalam memahami dan memecahkan masalah (bahasan tentang
metode ilmiah), bahasa dan konteks
budaya.
Sedangkan Watloly, hantaran
pemahaman filsafat ilmu lebih menampilkan padatan-padatan keilmuan sehingga
gagasan filsafat ilmu lebih tampak nyata melalui gugusan teori-teori sosial
yang dimaknai berdasarkan pemikiran sosio-epsitemologi. Bedanya lagi, pemahaman filsafat ilmu buku
Watloly menampilkan visi baru atau “pendekatan berparadigma baru” dalam istilah
Fritjof Capra, atau “visi baru tentang realitas”, memiliki jangkauan pemahaman
holistik yang memuat inti filosofis dengan menunjukkan bahwa teori pengetahuan dan
keilmuan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya
sendiri untuk menuju proses humanisasi diri dan sesama melalui tindakan
pendidikan secara sadar (buku Watloly, halm. 58-62).
Membaca Kebenaran
Bagaimana kedua buku ini membaca kebenaran? Ujung pencarian filsafat adalah kebenaran. Ujung
pencarian ilmu adalah kebenaran. Filsafat ilmu membaca dan menemukan kebenaran
melalui serangkaian pemikiran, metode dan pendekatan. Bagian ini memaksudkan
dua hal, yaitu pertama, membaca
kebenaran itu sendiri, yakni tentang bagaimana buku ini memaknai ‘kebenaran’;
dan kedua, menggapai kebenaran, yakni
tentang bagaimana buku ini mengantarkan pada kebenaran atau membawa pembaca
pada penyimpulan-penyimpulan akan nilai-nilai kebenaran. Buku Jujun dan Watloly
menampilkan wajah khas masing-masing.
Jujun, melalui contoh-contoh
keseharian menampilkan unsur-unsur kebenaran yang digali dari pengalaman
empiris manusia dan masyarakat. Sebuah hantaran pemahaman yang menarik. Pembaca
bisa langsung belajar dan berpraktik, misalnya menganalisis adakah unsur-unsur
kebenaran yang terkandung dalam kalimat, tutur, ungkapan, peristiwa dan situasi
sosial atau budaya tertentu. Dari pengalaman-pengalaman empiris, buku Jujun
kemudian menarik pengalaman empiris tersebut pada pemaknaan yang bersandar pada
metode ilmu untuk menyuguhkan arti ‘kebenaran’ yang didefinisikan dan
digolong-golongkan, sehingga kita mengenal (1) teori kebenaran koherensi, yaitu kebenaran yang bersumber dari
koherensi dan konsistensi dengan pernyataan sebelumnya; (2) teori kebenaran korespondensi, yaitu
berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan
tersebut; dan (3) teori kebenaran
pragmatis, yaitu kebenaran yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis
(halm. 56 – 59). Selanjutnya paham kebenaran dalam buku Jujun diperkenalkan
secara menyebar dalam bahasan-bahasan epistemologi (cara mendapatkan
pengetahuan yang benar), yang terdistribusi dalam bahasan “jarum sejarah
pengetahuan (halm. 101-103), pengetahuan
(halm 104 -118), metode ilmiah (halm. 119-140).
Jujun mengajari berpikir ilmiah
untuk mencapai kebenaran. Dan cara-cara berpikir ilmiah (metode ilmiah) juga
tergambar dalam bahasan struktur pengetahuan ilmiah (halm. 141 – 162), sarana
berpikir ilmiah (halm. 165-170). Pada aspek kedua,
tentang bagaimana mengenalkan pembaca pada anasir kebenaran, buku Jujun
melakukan penjelajahan pengalaman empiris manusia (masyarakat), kemudian
ditafsir dengan pendekatan metodologis untuk menguji bahwa pengalaman empiris
tersebut memenuhi kaidah kebenaran atau tidak, yakni dengan parameter
kelogisan, masuk akal, akal sehat, rasionalitas (halm. 111-112) melalui
serangkaian metode ilmiah (halm. 113 – 140).
Jujun menekankan arti penting metode
ilmiah (halm. 165-169) sebagai proses penemuan pengetahuan (menemukan
kebenaran) dan mengomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat
ilmuwan (“menguji dan mempertanggungjawabkan temuan kebenaran” untuk menuju
“kebenaran yang lebih teruji”). Sebagai penguat piranti metodik keilmuan (mesin
pencari kebenaran), buku Jujun mengungkap struktur pengetahuan ilmiah yang
memuat konsep tentang pengetahuan, ilmu,
teori, yang disebut memiliki
keumuman (universalitas) yang tinggi (halm. 141-147); dan penelitian sebagai
sarana untuk menemukan pengetahuan baru (halm. 159).
Jika buku Jujun memaknai dan
menggapai kebenaran secara “jalur tunggal” dan agak “doktriner” (melalui metode
ilmiah), maka buku Watloly, dengan konsep utama sosio-epistemologi (pengetahuan
berwatak sosial), memaknai kebenaran dengan pendekatan dan jalur yang berbeda
sehingga aroma kebenarannya pun terasa berbeda walaupun berujung sama: kebenaran. Memang, kebenaran dalam kajian
sosio-epistemologi (buku Watloly) menjadi tema sentral dan tujuan pengetahuan, dan
menurutnya pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran (halm. 288). Dan
sosio-epistemologi memaknai dan menyikapi kebenaran
secara “berbeda”, sesuai dengan watak sosialnya, namun dilakukan secara kritis
dan optimis.
Baginya, pertama, kebenaran tetap menjadi tuntutan bagi
manusia berbudaya, di tengah rumitnya kebenaran. Sosio-epistemologi mendekati
tuntutan kebenaran ini, dari sisi pengetahuan,
yakni kebenaran pengetahuan adalah kebenaran dalam batas kemanusiaan
manusia, sehingga meniscayakan kebutuhan akan keterbukaan dialog dan komunikasi.
Kedua, kebenaran tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat majemuk, hipotetis, konsensus, dan bertegangan (negosiatif). Kemajemukan sifat kebenaran berarti
bahwa realitas kebenaran yang dihadapi dalam sosio-epistemologi bukanlah
realitas kebenaran bendawi yang statis, tunggal, terisolir, tetapi kebenaran
itu berhubungan dengan dunia realitas kemanusiaan yang kaya, dinamis, berkembang
dan penuh daya misteri. Kebenaran bersifat hipotetik, karena tidak ada kebenaran yang memutlakkan
diri secara sepihak dan mengklaim diri sebagai yang benar satu-satunya dan
terlepas dari yang lain. Ada kepentingan kemanusiaan dalam situasi kehidupan praxis yang dinamis dan berubah-ubah. Konsensus, karena hakikat kebenaran
walau bersifat mutlak, tidak terisolasi dari kehidupan manusia yang majemuk dan
komunikatif. Sosio-epistemologi berusaha mengembangkan tuntutan kebenaran yang
bersifat konsensus-hipotetis yang terus berproses ke arah kebenaran yang
bersifat universal.
Tidak ada kebenaran “subjektivitas
murni” atau “objektivitas murni” yang berdiri sendiri dan saling mengabaikan.
Egoisme dan eksklusivisme sektoral harus ditinggalkan. Kebenaran yang berhubungan
dengan pengetahuan adalah kebenaran yang selalu berkaitan dengan pengetahuan
manusia, maka kebenaran itu selalu bersifat
subjektif, terbatas, dialogis
(diskursif), intersubjektif dan
berevolusi. Sedangkan kebenaran
bertegangan (tensional truth) sebagai ciri kebenaran dalam paham
sosio-epistemologi merupakan kebenaran
dialektis, sebagai kritik atas kebenaran rasional (selanjutnya ditulis pada bagian “Kritik Atas Ilmu”).
Kebenaran dialektis hadir dalam rangka memperdalam konsep kebenaran sektoral untuk memulihkan
kebuntuan dogmatisme, seperti dikatakan oleh Habermas yang dikutip Giddens,
kebenaran dalam sosio-epistemologi bukan tergantung pada objektivitas
pengalaman tetapi pada argumentasinya. Baginya, kebenaran dialektis terletak
pada pemahaman yang mendasar mengenai kepentingan manusia di dalam realitas
sosio-historisnya. (halm. 291-295), dan diperoleh kebenaran yang bersifat
universal sekaligus kontekstual (halm. 298).
Kedua, bagaimana mengenalkan dan mencapai
kebenaran? Kebenaran dalam sosio-epistemologi adalah kebenaran sebagai praxis, maka inti kebenaran ini
diperoleh melalui pertautan dialektis antara tuntutan kebenaran transenden
universal (mutlak) dan tuntutan kebenaran imanen yang bersifat
kontekstual-empiris. Yaitu pertautan dialektis antara gagasan-gagasan
empiris-positivis tentang kebenaran sebagai koherensi (persesuaian antar
gagasan) dengan gagasan dialektika mengenai kebenaran sebagai praxis atas realitas kehidupan
sosio-historis manusia yang dinamis. Sosio-epistemologi berusaha memperlihatkan
adanya kebenaran sebagai praxis yang
berdasar pada keputusan-keputusan pragmatis-intersubjektif (halm. 299), dan
berorientasi pada kepentingan praxis
manusia (halm. 300).
Yaitu diperoleh
dengan cara pertama, jalur penyelidikan
empiris, untuk menghasilkan jenis pengetahuan instrumental (menghasilkan jenis
pengetahuan teknis, enklaren/
menerangkan).
Kedua, jalur ilmu-ilmu
kemanusiaan, yakni praxis, melalui
penghayatan (erlebnis) internal
kognitif manusia atas realitas diri dan lingkungannya (verstehen, memahami). Dialektika ini tidak berhenti di sini.
Watloly melanjutkan “teka-teki”-nya dengan menghadirkan wacana kebenaran objektif (objective truth) yang dipandang sebagai objektivitas pengalaman manusia yang dinamis (halm. 330), karena objektivitas itu adalah hasil
konstruksi manusia (halm. 331). Tuntutan
objektivitas tidak diartikan sebagai sosok ego atomis yang mengabaikan
keterlibatan subjek dalam berbagai nilai dan kepentingan, tetapi objektivitas
sebagai suatu eksistensi terbuka yang berada sebagai objek pengetahuan (halm.
351). Di sini terasa sekali tantangan
bagi libido dialektika pembaca untuk meraih
kebenaran universal melalui pertarungan
beberapa kebenaran yang memang riil terjadi sebagai realitas sosial. Di sinilah
pentingnya buku ini menghadirkan teori sosial terutama teori kritis sebagai
tuntutan teoretis dan metodis untuk memahami realitas sosial untuk mencapai
validitas sosio-epistemologi (halm.357-372). Hal yang tidak dilakukan di buku
Jujun secara pejal dalam distribusi telaah atas teori-teori sosial, namun
sebatas memberi isyarat relasi ilmu pada konteks sosial kehidupan masyarakat modern
(buku Jujun, halm. 266).
Kritik Atas Ilmu
Karena berfilsafat adalah (berpikir
untuk) menemukan kebenaran, maka refleksi-sistematis pemikiran filsafati membawa
pada derajat keraguan (skeptisisme) tertentu untuk mencapai kebenaran (yang
bisa dianggap) universal. Bidang gerak filsafat
yang lebih luas daripada ilmu, dan ilmu itu menjadi objek kajian filsafat ilmu, maka, ilmu (science) pun tak luput dari incaran
filsafat ilmu untuk diberikan kritik. Bagaimana
kedua buku filsafat ilmu ini memberikan
kritik atas ilmu?
Jujun lebih menekankan pada gagasan
membangun ilmu pengetahuan. Ia memberikan pembedaan antara ‘pengetahuan’ (knowledge) dan ‘ilmu pengetahuan’ (science). Kritiknya, ada pada bangunan
sistem pengetahuan yang hidup di masyarakat yang dikatakannya tidak dapat
dikategorikan sebagai “ilmu” karena tidak didasarkan pada prosedur ilmiah dalam
memperolehnya tetapi atas dasar akumulasi pengalaman hidup saja (halm.108-109).
Karenanya, buku Jujun menekankan arti penting metode penelitian sebagai bagian
epistemologi ilmu. Rasionalitas dan berpikir ilmiah dan metode ilmiah menjadi amat penting. Dan untuk dapat melakukan
kegiatan berpikir ilmiah dengan baik, diperlukan
sarana berupa bahasa, logika, matematika,
dan statistika (halm. 167).
Sedangkan Watloly, sosio-epistemologi
memberikan kritik atas ilmu bertitik tolak dari ide dasar watak sosial yang
harus ada pada ilmu, yakni referensi sosial manusia dalam pengembangan dan
pembaruan pengetahuan atau teori pengetahuan dan keilmuan yang didorong
kesadaran kritis untuk mencairkan kebekuan “ideologis” (sikap memutlakkan diri
sendiri) dalam ilmu-ilmu serta tuntutan (klaim) pengetahuan (teori makro)
sektoral (teori mikro) dalam epistemologi modern (halm. 48-49).
Kritik sosio-epistemologi baik
struktur intelektual (isi dan cara berpikir) maupun skema metodik (cara kerja)
setiap cabang dan aliran pengetahuan modern mulai dari zaman Descartes (zaman
awal epistemologi modern) hingga Wittgenstein dan Ayer (zaman epistemologi
kontemporer) telah meletakkan tuntutannya yaitu tuntutan kebenaran,
objektivitas, validitas, metodis, logis, dan klaim teoretis yang bersifat
sektoral atas epistemologi itu sendiri (halm. 49).
Kritik sosio-epistemologi
(pengetahuan berwatak sosial) memiliki skema pemikiran yang bertegangan
dialektis, berwatak kritis terhadap ilmu. Pertama,
meletakkan asumsi teoretiknya pada realitas sosial empiris (naturalis)
bertujuan melakukan penelitian dan penetaan atas berbagai realitas sosial
(mekanisme sosial dan wacana sosial), sebagai faktor konstitutif (stock of knowledge). Ini disebut kritik imanen.
Kedua, mempertautkan filsafat
transendental dengan realitas sosial yang imanen. Bersifat dialektis. Bertujuan
mengangkat hasil pemetaan pertama (realitas sosial) dalam pendekatan filsafat
transendental (filsafat kritis/ rasional) guna melakukan kritik, pengujian,
pengkajian, debat, dialog, konseptualisasi, sistematisasi dan pewacanaan yang
membentuk dunia objektif bagi teori pengetahuan. Ini disebut kritik transenden (halm. 89-90). Kritik
imanen, diperkenalkan oleh Jurgen Habermas dan Steve Fuller. Fuller banyak
menyerang berbagai pandangan epistemologi yang bersifat normatif dan utopis
(“mengawang”) atau tanpa sasaran praxis
yang tegas. Sedangkan Habermas lebih menggunakan pendekatan dialektis sebagai
refleksi atau “kritik epistemologi”
terhadap teori-teori sosial. Dalam pandangan Habermas, telaah
sosio-epistemologi (filsafat pengetahuan) dilakukan dalam dua tataran, yakni pertama, melakukan kritik imanen (kritik teori sosial) untuk menemukan kondisi
sosio-historis dalam konteks tertentu yang memengaruhi pengetahuan manusia.
Kritik diarahkan kepada berbagai bentuk penindasan dogmatis, ideologis dan
teknologis yang menekan konfigurasi kehidupan sosial manusia atau masyarakat. Kedua, melakukan kritik transendental (kritik teori pengetahuan) untuk menemukan
syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek itu sendiri.
Telaah sosio-epistemologi dengan ini
berusaha mengatasi “saintisme” atau “positivisme” yang begitu kuat menguasai
alam pengetahuan dewasa ini (halm. 94-95).
Sosio-epistemologis, tetap teguh dalam tataran filosofis (sebagai sebuah
filsafat pengetahuan), dengan ciri berpikir yang dibangun di atas fondasi
tegangan dialektis, melakukan kritik epistemologis terhadap teori-teori
pengetahuan dan teori-teori sosial (halm. 98-99), berusaha membangun hubungan
dialektis antara teori dan praxis
antara pengembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan masyarakat (halm. 102).
Watak dialektika emansipatoris
sosio-epistemologi (bukan dialektika materialis) dan penuntunan pada praxis dari sosio-epistemologi membawa
pencerahan keilmuan dan berimplikasi pada tuntutan teoretis dan metodis sebagai
validitas sosio-epistemologi itu sendiri dan pembaruan atas teori-teori sosial
modern mengenai perkembangan masyarakat, yaitu teori rasionalisasi masyarakat
dan teori modernisasi masyarakat (halm. 373).
Apa yang disebut teori sosial modern, dalam pandangan
sosio-epsitemologi harus dikritik karena teori-teori tersebut telah meletakkan
pandangannya yang sempit atau yang disebut Max Horkheimer, social discrimination, yang menurutnya telah menghadirkan konflik
dan cara berpikir ideologis di dalam pemikiran para filsuf dan pemikir
ideologis modern. Teori sosial tersebut juga telah meletakkan sebuah ontologi
mengenai realitas sosial yang partikular dan terisolasi, bukan realitas sosial
sebagai sebuah ontologi yang utuh dan bereksistensi (halm. 373-374).
Teori-teori sosial disebutkan telah melepaskan hakikat perkembangan
masyarakat dari realitas permasalahannya yang utuh dan kompleks. Perkembangan
masyarakat dipandang sebagai hal yang bersifat
teknologis, terbukti dengan pola yang digunakannya yaitu reduksi, institusionalisasi dan objektivikasi
masyarakat. Tujuannya agar realitas sosial dan perkembangan (modernisasi)
masyarakat dapat dimanipulasi menurut hukum perkembangan yang bersifat
teknologis dan ekonomis sebagaimana yang mereka kehendaki.
Watak teori sosial ini harus
direvolusi atau diubah, karena masyarakat dengan ciri sosialnya yang dinamis
dan penuh daya misteri selalu berkembang dalam realitasnya yang bersifat
kompleks, holistik, bebas, dan berubah-ubah (halm. 375). Kritik dilakukan juga
atas teori modernisme yang gagal akibat keangkuhan rasionalisme modernnya
(halm. 375, 378), untuk membangun pembaruan “rasionalisasi perkembangan
masyarakat” (halm. 381, 398-402) dengan
mengembangkan konsep praxis (halm.
395).
Pembaruan terhadap teori modernisasi
(halm. 402 – 407) terasa direkomendasikan sosio-epistemologi ini disamping juga
usulan pembaruan terhadap paradigma materialisme sejarah Karl Marx yang
menurutnya harus diganti dengan paradigma komunikasi (halm. 427).
Membangun Sikap Ilmiah, Moral dan Sosial
Sebagai review-banding terakhir,
filsafat ilmu disamping melakukan pembahasan mengenai ilmu itu sendiri
(pembahasan sebelumnya), juga terkait dengan aspek kehidupan manusia berikut
manusianya. Filsafat ilmu haruslah memiliki dimensi-afektif pada manusianya
(dimensi aksiologis dari filsafat ilmu), yakni membangun sikap ilmiah dan
moral. Bagaimanakah kedua buku ini
membangun sikap ilmiah dan moral?
Jujun menampilkan pesan-pesan membangun
sikap ilmiah dan moral ini secara menyebar dan embedded
dalam topik-topik bahasan. Membaca buku Jujun dengan sabar dan tidak
tergesa-gesa akan menemukan pesan-pesan ini. Aspek rasionalitas, akal sehat
yang ditekankan Jujun jelas memesankan keharusan rasionalitas sebagai sikap
ilmiah yang harus dibangun (halm 50-53, 109, 111-112). Sikap ilmiah berikutnya yang dipesankan untuk
dibangun adalah berpikir yang berdasarkan penalaran
(halm. 43), cara berpikir ilmiah
(halm. 46-48), mencintai kebenaran,
karena kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu (halm. 50) dan kebenaran
diperoleh melalui kegiatan berpikir
ilmiah dan mendasarkan diri pada metode
ilmiah (halm. 119-140, 165-169) dengan menggunakan instrumen penelitian dan
penulisan ilmiah (halm. 307-363). Sedangkan pada aspek moral, Jujun menegaskan pada bagian bahasan “ilmu dan moral” (halm.
229) dengan mencontohkan “munculnya ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan
keserakahan”, buku ini me-wanti-wanti masalah
moral terkait pembelajaran suatu ilmu. Disebutkan adanya keterkaitan antara
ilmu dan moral, yakni bahwa ilmu harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia (halm. 235). Moral juga
terkait dengan upaya manusia mendapatkan dan mempertahankan kebenaran, dengan
konsekuensi apapun agar ilmuwan terhindar dari prostitusi intelektual (halm.
236). Moralitas sosial dari ilmu
adalah tanggungjawab sosial ilmuwan. Sikap
sosial ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang
dilakukan (halm. 239).
Jujun mempertegas aspek moral ini
dengan memunculkan kisah-kisah moralitas di balik aktivitas keilmuan, misalnya
kisah nuklir dan pilihan moral (halm. 246-252). Lebih luas, aspek sosial ilmu
dipesankan buku Jujun untuk pengembangan kebudayaan (halm. 261), yang kemudian
dilakukan melalui strategi pendidikan (halm. 263), karenanya, ilmu,
mengharuskan kita untuk memusatkan perhatian pada nilai-nilai yang relevan
dengan masyarakat modern (halm. 266). [Baca: Van Peursen, Strategi Kebudayaan].
Buku ini juga memesankan khusus
untuk konteks Indonesia yakni ilmu untuk pengembangan kebudayaan nasional
(halm. 272), yaitu dengan mengembangkan ilmu
sebagai cara berpikir (halm. 273), dan ilmu
sebagai asas moral (halm. 274), untuk memunculkan nilai-nilai ilmiah dalam
pengembangan kebudayaan nasional (halm. 275). Dan untuk mengoperasionalkan
gagasan-gagasan moral dan sosial tersebut, diperlukan perangkat untuk
mengomunikasikan ilmu berupa bahasa (halm. 301-302).
Pesan-pesan membangun sikap ilmiah,
moral dan sosial secara jelas diberikan oleh Watloly dengan lebih menekankan
pada konteks sosial dan praxis
sebagai “andalan” sosio-epistemologi. Sikap ilmiah yang dipesankan buku ini
(mengikut watak sosialnya) adalah melampaui
“kesekedaran minimalis” seperti berpikir ilmiah, logis, skeptis dsb itu,
namun lebih memiliki rasa dan keberanian menggugat tradisi teori-teori sosial
modern yang disebut oleh Max Horkheimer sebagai ilmu yang memiliki social discrimination, menyimpan konflik
pemikiran (halm. 374).
Pesan-pesan sikap ilmiah – moral –
sosial buku Watloly ini sangat luas mengingat keluasan jangkauan daya jelajah
dan kekuatan karakter sosio-epistemologi ini. Namun ada beberapa yang paling
penting yang bisa dituliskan, yaitu:
(1) mengajarkan keterbukaan dan rendah hati serta tidak sombong karena
watak sosio-epistemologis yang memandang kebenaran yang dicarinya sebagai
sebuah kebenaran yang bersifat subjektif,
terbatas, dialogis (diskursif), intersubjektif dan berevolusi, serta anggapan tidak ada kebenaran tunggal-mutlak yang
angkuh tetapi bersifat majemuk,
hipotetis, konsensus, dan bertegangan (negosiatif) yang kesemuanya itu
memerlukan pertautan secara humanis-emansipatoris dengan dialog atau disebut
“dialektis emansipatoris”. Ini menuntut keterbukaan dan kesediaan berdialog
dengan menanggalkan keangkuhan-intelektual dan egositas ilmuwannya (mengajari rendah hati serta tidak sombong);
(2) mengajarkan sikap humanis,
empati dan menghargai kemanusiaan, karena terbawa karakter praxis dari sosio-epistemologi (penghargaan pada perspektif manusia
atau masyarakat dalam pengembangan keilmuan);
(3) open-mind, kebebasan berpikir
dan pro-perubahan dan pemahaman multikultural, yang terbentuk dari karakter
dialektis emansipatoris sosio-epsitemologi (halm. 393);
(4) sikap kritis positif terhadap
rasio dan ilmu pengetahuan (halm.392);
(5) sikap konstruktif-aktif dan
responsif yang terbawa dari karakter rasionalisasi perkembangan masyarakat (halm.
388);
(6) selalu kritis terhadap teori dan
terbuka pada pembaruan teori (halm. 408);
(7) produktif keilmuan dan dinamis,
yang terbawa dari sifat sosio-epistemologi yang menguatamakan perspektif kerja
dan perspektif komunikasi (halm. 422-423); dan
(8) tanggungjawab budaya dan
kemanusiaan yang lebih luas, karena sosio-epistemlogi membuka ruang kesadaran
praktis moral (halm. 424) untuk rasionalisasi masyarakat dalam paradigma
komunikasi dalam teori sosial untuk menjadi ajang pertautan dan pengembangan
daya kognisi serta kreativitas budaya masyarakat (halm. 427). Revolusi
intelektual ilmuwan sangat terasa dalam buku ini. Terasa lebih tajam, berani
dan menggugah relung kesadaran.
Kesimpulan
1. Misi keilmuan kedua buku filsafat ilmu (Jujun dan
Watloly) memiliki kesamaan yakni sama-sama memandang filsafat sebagai cara
berpikir, dan filsafat ilmu adalah hakikat pemikiran radikal untuk menelaah
ilmu. Namun keduanya berbeda cara penyampaiannya dan cara pandang pada filsafat
ilmu, yang mana buku Jujun memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari
epsitemologi (filsafat pengetahuan), sedangkan buku Watloly menempatkan
epistemologi (filsafat pengetahuan) sebagai basis kajian, dengan menautkannya
dengan konteks sosial masyarakat (praxis), karenanya dinamakan filsafat
ilmu yang berwatak sosial.
2. Dalam memahami filsafat ilmu, didapatkan melalui
pemahaman hakikat ilmu pengetahuan, dan mengantarkan pada pemahaman
pengetahuan, sumber pengetahuan, posisi manusia (masyarakat) dalam dinamika
konteks sosial dan revolusi keilmuan yang tak pernah berhenti. Kedua buku
menyadari hakikat ini, namun penekanan lebih terasa pada buku Watloly yang
mendasarkan pada pemikiran dialektis-emansipatoris yang tidak hanya memahami
ilmu dalam pisau bedah filsafat ilmu saja, tetapi melanjutkan telaah kritisnya pada
dataran teori-teori sosial modern.
3. Kebenaran, adalah tujuan pencarian filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu, melakukan kajian terhadap ilmu dalam rangka mencapai kebenaran.
Dalam membaca dan memaknai kebenaran, terdapat perbedaan cara pandang dalam
proses menuju penemuan kebenaran universal. Buku Jujun lebih memunculkan
kebenaran rasionalis dengan mencontohkan teori kebenaran koherensi,
korespondensi dan konsistensi. Sedangkan Watloly memandang proses humanis yang
menghargai indigenasi (kebenaran sektoral, endogen) yang berorientasi praxis, memunculkan kebenaran dialektis
sebelum mencapai konsensus akan kebenaran universal.
4. Kritik atas ilmu, kedua buku sama-sama mengupayakannya
namun lebih menonjol dan atraktif pada buku Watloly yang melakukan kritik akan
sifat dan esensi ilmu hingga teori sosial yang dianggapnya kurang berwatak
sosial, sehingga perlu dibongkar dan diganti dengan ilmu yang berkarakter
sosial, praxis dan berparadigma
komunikasi sehingga tercapai apa yang disebut “rasionalisasi masyarakat”.
Sedangkan buku Jujun melakukan kritik atas sistem pengetahuan pra-ilmiah untuk
tujuan membangun ilmu pengetahuan dan bermuara pada membangun kebudayaan.
5. Membangun sikap ilmiah, moral dan sosial. Kedua buku
menunjukkan misi yang sama (dengan watak masing-masing). Buku Jujun memberi
pesan-pesan sikap ilmiah dan sikap moral dan sosial dengan penekanan pada
rasionalitas dan kebenaran rasional sebagai sikap ilmiah serta memesankan sikap
moral dan sosial yang produktif bagi pembangunan kebudayaan. Corak positivistik
terasa pada buku Jujun namun juga kritis dan peduli konteks sosial dan
kebudayaan. Sedangkan buku Watloly dengan andalan sosio-epistemologi-nya,
melampaui sikap ilmiah, lebih berbicara kekritisan ilmu dan mengutamakan praxis untuk “proyek humanistik”
rasionalisasi masyarakat. [Baca: Jurgen Habermas, Rasionalisasi Masyarakat].
Dari deskripsi dan
kesimpulan, untuk menunjukkan perbandingan kedua buku (Jujun dan Watloly) saya ilustrasikan sebagai berikut:
Perbandingan Kajian Filsafat Ilmu Jujun Surasumantri dan
Sosio-Epistemologi Aholiab Watloly
Kriteria
|
Buku Jujun Suriasumantri (Filsafat
Ilmu)
|
Buku Aholiab Watloly (Sosio-Epistemologi)
|
Misi keilmuan
|
-
Filsafat sebagai cara berpikir.
-
Filsafat ilmu merupakan cabang
epistemologi (filsafat pengetahuan).
|
- Filsafat sebagai cara berpikir.
- Epistemologi (filsafat pengetahuan) sebagai basis pemikiran.
|
Pendekatan
|
Saintis, positivistik
|
Reflektif, kritis
|
Penjelasan hakikat ilmu
|
Membangun ilmu
|
Mengritik ilmu untuk pembaruan ilmu
|
Landasan epistemologis
|
Linier
|
Dialektis-emansipatoris
|
Sumber pengetahuan
|
Pengalaman empiris, dengan metode ilmiah
|
Indigenasi, praxis.
|
Subjek ilmu
|
Ilmuwan
|
Masyarakat
|
Tujuan ilmu
|
Pembangunan kebudayaan
|
Rasionalisasi masyarakat
|
Praxis ilmu pengetahuan
|
Menggali pengalaman empiris dan memaknai secara metodologis
|
Memahami hakikat ilmu pengetahuan dari perspektif masyarakat.
|
Ciri kebenaran
|
Rasionalitas
|
Dialektis-bertegangan
|
Membaca kebenaran
|
Mutlak
|
Dialektis, konsensus, praxis.
|
Kritik atas ilmu
|
Membangun ilmu
|
Kritik atas teori sosial, pembaruan ilmu
|
Membangun sikap ilmiah, moral dan sosial
|
Rasionalitas, metode ilmiah, membangun kebudayaan
|
Kritis, kesadaran praxis,
rasionalisasi masyarakat.
|
No comments:
Post a Comment