Thursday, November 5, 2015

Filsafat Ilmu dan Sosio-Epistemologi



Filsafat Ilmu dan Sosio-Epistemologi

Pertautan antara Filsafat Ilmu (FI) dan Sosio Epistemologi (SE) –keduanya adalah kajian filsafat ilmu- melahirkan pemahaman filsafat ilmu yang lebih menggerakkan. Filsafat, yang berada di dataran tinggi ide, pemikiran, “berada di angkasa” dan sulit membumi, karena memang berurusan dengan dataran pemikiran radikal, menemui kesadaran sosialnya pada pertemuannya dengan sosio-epistemologi, yang membuka kesadaran ilmu pengetahuan berbasis “rasio sosial” guna menghadirkan ilmu pengetahuan sebagai “proyek pembaruan” bagi nilai guna keadaban, humanisasi dan emansipasi untuk merespons kehidupan sosial yang dinamis. Maka sintesis FI-SE ini lebih menggugah “pembangunan ilmu” pada praxis: konteks sosial dan humanitas-emansipasi.
 
Tulisan ini bersumber dari dua buku filsafat ilmu karya Jujun S. Suriasumantri, yang berjudul “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer”, dalam tulisan ini disebut “Jujun”. Dan buku karya Aholiab Watloly, berjudul “Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial”, dalam tulisan ini disebut “Watloly”. Mempelajari dialog antara keduanya akan memberi asupan nutrisi bagi pemikiran filsafat ilmu yang mendasari aktivitas keilmuan dan berperilaku sosial. 

Kedua buku ini menyajikan filsafat ilmu dengan ceruk kedalaman (niche) masing-masing, namun saling melengkapi dan mengenergi. Jujun menawarkan pemahaman dasar namun luas dengan membuka jalur pemikiran untuk memasuki filsafat ilmu, melalui pengenalan dasar hakikat ilmu dengan pemahaman ontologis (objek telaah ilmu), epistemologis (cara mendapatkan ilmu pengetahuan) dan aksiologis (kemanfaatan ilmu pengetahuan). Sedangkan Watloly menawarkan visi baru hakikat pengetahuan dan keilmuan serta “pembangunan ilmu” pada konteks sosial dan humanitas-emansipasi, yakni pengenalan sketsa penalaran sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial). Ia menukikkan filsafat ilmu pada arena penjelajahan ilmu pengetahuan berbasis “rasio sosial” guna menghadirkan ilmu pengetahuan sebagai “proyek pembaruan” bagi nilai guna keadaban, humanisasi dan emansipasi untuk merespons kehidupan sosial yang dinamis. Inilah Sosio-Epistemologi: Membangun Pengetahuan Berwatak Sosial.

Sosio-epistemologi (filsafat pengetahuan) ini mendayai teori kritis hingga kritik atas teori pengetahuan dan tuntutan-tuntutan metodologis. Hal ini dimaksudkan untuk pembaruan teori dan perkembangan rasionalisasi masyarakat, dengan melakukan kritik atas teori sosial modern yang menurut Max Horkheimer, telah melakukan social discrimination, membawa konflik cara berpikir ideologis dalam pemikiran filsuf dan pemikir ideologis modern! Sangat menggugah dimensi kesadaran keilmuan kontekstual-humanistik dan yang lebih menarik, menyediakan perangkat operasional filsafati, teori dan metodik secara lebih jelas, pejal dan menantang.

Kedua buku tersebut sama-sama menawarkan misi berpikir filsafat ilmu, tetapi keduanya berbeda dalam pendekatan untuk membangun pemahaman dan penjelajahan konseptual dari apa yang disebut “cara berpikir filsafati” dan “cara berpikir ilmiah”. Jika buku Jujun memberi “gambaran umum”, maka buku Watloly menyelami secara holistik relung epistemologis ilmu pengetahuan dengan menunjukkan kehadiran teori-teori sosial dari positivis sampai teori kritis, dan dihubungkan dengan struktur rasionalitas masyarakat yang terinstitusionalisasi melalui kebudayaan.

Agar lebih mudah, kandungan kedua buku tersebut saya sajikan dalam sistematika:

Pendahuluan: Misi Keilmuan
Apa misi keilmuan kedua buku tersebut.

Membangun Pemahaman Filsafat Ilmu
Bagaimana kedua buku ini membangun pemahaman filsafat ilmu sebagai dasar berpikir bagi aktivitas keilmuan.

Membaca Kebenaran
Bagaimana kedua buku ini membaca kebenaran

Kritik Atas Ilmu
Pemosisian kajian filsafat ilmu oleh kedua buku

Membangun Sikap Ilmiah, Moral dan Sosial
Membuka sisi aksiologi

Kesimpulan.



__________________________
Pendahuluan: Misi Keilmuan

Pertama yang bisa dikatakan adalah bahwa daya jelajah dalam persoalan filsafat ilmu kedua buku sama-sama luas tetapi ada kekhasan dalam penekanan isi, gagasan utama dan penjelas serta gaya penyampaian, sehingga misi keilmuan keduanya walaupun sama-sama mengupayakan pengenalan kerangka berpikir filosofis akan hakikat ilmu, masing-masing memiliki titik tekan dan daya tekan yang khas. Buku Jujun menjelajah pemahaman filsafat ilmu mulai dari dasar berpikir dan bertanya untuk mendapatkan jawaban. Buku ini mengenalkan alur-alur berpikir dalam kegiatan keilmuan dan menerapkannya pada masalah-masalah praktis dalam kehidupan (halm. 13). Pengenalan filsafat sebagai cara berpikir untuk kegiatan keilmuan, merupakan dasar yang sangat penting bagi pembelajar ilmu. Setelah pemahaman dasar-dasar pengetahuan dan pemahaman filsafat ilmu buku ini membawa pembaca pada misi yang lebih luas yakni pemahaman ilmu dalam konteks kebudayaan hingga penggunaan dalam struktur bahasa serta pada aspek aplikatif yakni pada bidang penelitian dan penulisan ilmiah.

Jujun memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah), yang ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hakikat ilmu yaitu (1) objek apa yang ditelaah ilmu; (2) pertanyaan tentang bagaimana proses dan cara memperoleh ilmu pengetahuan; dan (3)  pertanyaan untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan. Pertanyaan terkait kelompok pertanyaan pertama disebut landasan ontologis ilmu; kelompok kedua adalah epistemologis; dan kelompok ketiga adalah aksiologis. (halm. 33-34). Pengenalan pemahaman filsafat ilmu dengan mengemukakan dasar-dasar ontologis-epistemologi-aksiologis merupakan dasar pengetahuan yang kokoh untuk membentuk alur kegiatan berpikir melalui penalaran (halm. 42 – 49), memahami sumber pengetahuan (halm. 50-54), pencarian kebenaran, struktur pengetahuan ilmiah (halm. 141-161), berpikir ilmiah (halm. 165-225), hingga tanggungjawab sosial ilmuwan (halm. 237-245). Misi yang lebih luas dari buku Jujun ini adalah membawa pemahaman ilmu dalam konteks pengembangan kebudayaan. Jujun memandang ilmu sebagai bagian dari pengetahuan dan pengetahuan merupakan unsur dari kebudayaan (halm. 272). Karenanya, kajian buku ini mementingkan juga pada usaha meningkatkan peranan ilmu sebagai sumber nilai yang mendukung kebudayaan (nasional), dengan mengoperasikan gagasan (1) ilmu sebagai cara berpikir, yakni berpikir ilmiah untuk mendapatkan kebenaran ilmiah; (2) ilmu sebagai asas moral, yakni meninggikan kebenaran dan pengabdian secara universal; (3) nilai-nilai ilmiah sebagai pengembang kebudayaan (halm. 273-280). Akhirnya, misi keilmuan buku Jujun menegaskan peranan ilmu pengetahuan dan sains (dengan membedakan ‘ilmu pengetahuan’ dan ‘pengetahuan’) pada dataran aplikatif sebagai muara ke dunia nyata, yakni penjelasan buku ini tentang struktur penelitian dan penulisan ilmiah (halm 307-363). Buku ini cukup menjangkau kebutuhan dasar hakikat ilmu mulai pemahaman dasar hingga aplikatif bahkan lebih luas, pada konteks kebudayaan.

Setelah membaca buku Jujun ini dan berlanjut ke buku Watloly, ditemukan sebuah napas, semangat dan rasa baru akan hakikat ilmu pengetahuan dan eksistensi ilmu pengetahuan dalam konteks sosial, rasio sosial dan kebudayaan dalam sajian yang lebih tegas dan menonjol. Visi baru proyek pemikiran filosofis (epistemologis yang mencair) dari buku Watloly, dirancang melalui pengenalan sketsa penalaran sosio-epistemologis untuk terus menyapa realitas sosial yang selalu mengalir dengan aneka kepentingan untuk dikritisi dan dimaknai bagi kehidupan itu sendiri. Intinya buku ini  memuat misi pengantaran filsafati ke dalam berbagai diskursus, konstruksi pemikiran, debat, komunikasi dan konsensus pemikiran demi kepentingan praxis (kemanusiaan dan kemasyarakatan).

Artinya, sosio-epistemologi tawaran Watloly ini menempatkan pengetahuan dan keilmuan dalam sebuah tataran pertautan filosofis dan praxis untuk kepentingan manusia (halm. 8). Landasan ontologis – epistemologis – aksiologis beserta elaborasinya, jika di buku Jujun kita berkenalan dengan gaya populer dengan contoh-contoh keseharian, di buku Watloly kita berkenalan dengan elaborasi dengan sajian teoretikal yang lebih padat. Buku Watloly memulai dengan pemahaman ‘pengetahuan’ yang dipandang sebagai sebuah konstruksi sosial (social constructed), sedangkan unsur-unsur, nilai-nilai kemanusiaan dan sosial budaya menjadi bibit, pupuk serta perangsang atau pendorong pertumbuhan pengetahuan (halm. 21).

Ruang penjelajahan pengetahuan dilakukan berdasarkan prinsip sosiologi pengetahuan. Artinya konstruksi pengetahuan merupakan pengkajian yang  mendalam tentang hasil kreasi manusia atau masyarakat, dan menggunakan indigenisasi sebagai pendekatan sosio-epistemologi yang menguak sisi-sisi endogen (dari dalam) masyarakat, atau memahami hakikat pengetahuan dari perspektif masyarakat (halm. 41). Kekhasan ini yang berbeda dari penjelasan dalam buku Jujun. Buku Jujun juga mengakui masyarakat sebagai “sumber pengetahuan” dalam pengertian masyarakat sebagai tempat keberadaan masalah atau gejala yang ingin dicari jawabannya dan masyarakat berupaya mencari jawabannya dengan ‘metode pencarian jawaban’ ala masyarakat seperti metode coba-coba (try and error), penafsiran, pengalaman (common sense). Sistem pengetahuan milik masyarakat yang mewujud dalam “local genius”, “local wisdom” diakui sebagai sumber pengetahuan dalam buku Jujun, namun dianggap memiliki kelemahan karena tidak bersandar pada cara berpikir ilmiah (berdasar akal sehat, rasionalitas).

Di sinilah pentingnya ilmu, yang mencoba menafsirkan gejala alam dengan mencoba mencari penjelasan tentang berbagai kejadian (buku Jujun halm. 107-113). Di sinilah diakui metode ilmiah (metode penelitian) dalam rangka “mencari jawaban yang benar” atas suatu masalah atau gejala. Diperlukan “intervensi” metode ilmiah untuk “mengakomodasi” sistem pengetahuan masyarakat (yang tidak ilmiah tadi) dalam rangka mencari kebenaran. Biar nyambung, gitu.

Sedangkan dalam buku Watloly, anasir sistem pengetahuan tadi dipandang sebagai sebuah kontribusi dari masyarakat baik yang berupa tata pikir yang bersifat harian maupun pengetahuan lokal (local knowledge) yang pra-ilmiah, dalam rangka mengembangkan sistem pengetahuan yang memadai bagi kepentingan kemanusiaan dan kemasyarakatan (buku Watloly halm. 41-42), karena pengetahuan dipandang sebagai  konstruksi sosial, sehingga pengetahuan yang khas manusia adalah produk pertukaran antar manusia atau antar subjek berdasarkan kaidah logis dan etis dalam konteks historisnya (halm. 21). Dalam hal ini buku Watloly membawa misi penghadiran “pengetahuan yang khas manusia” atau pengetahuan seorang manusia dalam konteks sosialnya yang khas, sehingga penjelajahan revolusi keilmuan dalam konteks historisnya dengan mengelaborasi teori-teori sosial yang hadir sebagai penjelas realitas sosial (konstruksi teoretis) yang mengiringi kegiatan berpikir filsafati. Dimulai dari rentang waktu ketika muncul logika alam, yang memunculkan teori-teori positivistik yang empiris, hingga penjelajahan teori kritis (buku Watloly halm. 49-75).  

Elemen kesadaran kritis yang ditawarkan Watloly ini juga sangat membedakan dari Jujun. Kesadaran kritis dalam sosio-epistemologi mengemban tugas pembebasan, dan karenanya, setiap individu bebas memformulasikan pikiran atau jawabannya atas setiap realitas permasalahan yang dihadapi. Masyarakat  ditempatkan sebagai subjek yang bertautan (dialektis) dengan kesadaran sesaat, kesadaran palsu dan struktur-struktur pengetahuan maupun struktur sosialnya (halm. 76).  Fondasi dialektika sosio-epistemologi ini membuka cakrawala penjelajahan tanpa batas akan pemikiran keilmuan berbasis (pemikiran) filsafat (kebenaran), mengandaikan teori pengetahuan dan keilmuan yang berkekuatan refleksi-aksi (lingkaran praxis) yang membuka ruang dialog bebas sebagai jembatan menuju humanisasi. (halm.79). 

Ia tidak berhenti pada pencarian legitimasi empiris (dunia realitas sosial), namun lebih jauh, dengan tetap berada pada dataran filosofis dan pada tegangan dialektis, sosio-epistemologi sebagai filsafat pengetahuan, hendak meneguhkan dirinya pada posisi kritik atas keilmuan dan  keberadaan. Ia berpandangan bahwa pengetahuan bukan sekedar refleksi atas realitas sebab kebenaran pengetahuan lebih mengandung kepentingan-kepentingan yang lebih mendasar. (halm. 99).

Untuk itu, sosio-epistemologi merancang pangkalan pemikiran (basis penalaran) dalam 5 teori dasar: teori konsensus, teori dialektika, teori logika diskursif, teori emansipasi dan teori komunikasi rasional (halm. 102-115). Buku Jujun tidak memiliki term ini tetapi “hanya” memberikan hembusan pemikiran ilmiah-metodik dalam kemasan populer.

Karenanya dapat dikatakan bahwa (misi) buku Watloly ini merupakan penjabaran tingkat lanjut, eksplisit dan pejal dari (misi) buku Jujun yang implisit, dengan kontekstualitas yang lebih nyata, dinamis, operasional, dan humanis-emansipatif. Hadirnya penjelasan teori-teori sosial mulai positivistik hingga teori kritis (halm. 117 – 251) menandai revolusi epistemologis dan munculnya benih-benih pemikiran sosio-epistemologis menunjukkan posisi kajian sosio-epistemologi dalam dataran hakikat ilmu serta keseriusan dan kesadaran (dan upaya penyadaran) dari buku Watloly ini akan konteks peradaban dan kebutuhan mendesak “penghidupan-pendayaan ilmu pengetahuan” dalam struktur kebudayaan. 

Dan, pembangunan masyarakat pun didasarkan pada landasan sosio-epistemologi yang dibangun melalui hubungan dialektis antara teori dan praxis. Inilah misi sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial!).

Membangun Pemahaman Filsafat Ilmu

Bagaimana kedua buku ini membangun pemahaman filsafat ilmu? Filsafat ilmu adalah kegiatan berpikir radikal dan menyeluruh untuk mencapai hakikat kebenaran atas sesuatu, demi ilmu itu sendiri dan demi kemanusiaan (tercermin dalam buku Jujun dan  Watloly). Bagaimana mencapai pemikiran radikal, menyeluruh dan kritis melalui pemahaman hakikat ilmu (objek kajian filsafat ilmu adalah ‘ilmu’) dan pemahaman dimensi ontologis-epistemologis-aksiologis ilmu, memerlukan “serangkaian laku” yang terdistribusi dalam batang tubuh sebuah buku.

Kedua buku ini menawarkan “rangkaian laku” yang berbeda, dengan sentuhan rasa yang juga berbeda walaupun memiliki tujuan yang sama. Perbedaan yang ternyatakan itu merupakan kenikmatan-tersambung, dari buku Jujun yang meraba hakikat ilmu dalam basis rasa naluriah yang tersaji dalam “narasi alamiah” (ketika membaca buku Jujun, terasa tekstur dataran alamiahnya dalam penjelasan hakikat ilmu sekaligus merasakan “kehadiran” Jujun yang humoris-kritis) hingga ke buku Watloly yang terasa lebih bersuara, penuh aktualisasi dari padatan-padatan gagasan hakikat ilmu secara eksplisit sambil mengupas teori-teori sosial yang lahir dari kegiatan filsafat ilmu hingga memunculkan gagasan tentang kebenaran, praxis, tuntutan teoretis-metodis dan rasionalisasi masyarakat.

Kenikmatan-tersambung akan kesadaran hakikat ilmu ini terasa pada buku Watloly pada bagian pembahasan proyek sosio-epistemologi pada dataran teori-teori sosial (halm. 117-153) dan mulai menaik pada teori kritis sebagai peletak dasar bangunan filsafat sosio-epistemologi (halm. 155 – 196) dan masa pematangan sosio-epistemologi dalam pembaruan teori kritis (halm. 197-232) dan mencapai puncak kenikmatan pada bahasan inti argumen sosio-epistemologi sebagai program teori (halm. 233 – 251), sebagai program kritik atas teori pengetahuan (halm. 253 – 275). Puncak kenikmatan ini tertahan sebentar pada bahasan yang mempertanyakan posisi sosio-epistemologi sebagai teori pengetahuan ataukah teori sosial mengingat keakraban sosio-epistemologi ketika mengupas teori sosial (halm. 277 – 287).

Namun karakter epistemologis yang tetap menenggerkan kajian sosio-epistemologi pada wilayah filsafat diperoleh penegasan pada bagian ini juga, yang disebutkan bahwa sosio-epistemologi sebagai kritik rasio modern memiliki daya pembaruan tuntutan rasio dan membangun rasionalitas secara utuh dan mendasar hingga mencapai hakikat kebenaran (halm. 278 – 328). Jelaslah posisi sosio-epistemologi “di atas” teori sosial, sehingga memunculkan tuntutan objektif dalam sosio-epistemologi dan tuntutan teoretis-metodis sebagai validitas dalam sosio-epistemologi (halm. 329-372). Kelegaan ini membawa kenikmatan lanjutan yang terus membumbung namun berhati-hati ketika meniti “objektivitas” atau “kebenaran objektif” dalam debat tentang objektivitas dalam keilmuan sosial yang memunculkan paradigma penyangkalan (falsification) Karl R. Propper dan paradigma objektivitas Thomas S. Kuhn dan Drucker. Objektivitas ini bersanding dengan watak praxis sosio-epistemologi sehingga tetap tidak meninggalkan objektivitas dan tidak mematikan praxis yaitu melalui komunikasi rasional.

Tampaklah bahwa buku Jujun dalam membangun pemahaman filsafat ilmu dengan menampilkan contoh-contoh pengalaman budaya atau menggali pengalaman masyarakat untuk dibahas dalam koridor keilmuan dan diberi makna, hal yang menunjukkan pemahaman yang mendarah-daging dari seorang Jujun akan hakikat ilmu, dan itu disuguhkan dalam kemasan bahasa populer. Enak dicerna namun memerlukan kesabaran dalam memahami isinya dan mempertautkannya dengan nilai-nilai filsafat ilmu dan pengenalan pemikiran logis, penalaran dan metodologis yang terkandung di dalamnya. Jika kurang sabar, maka bangunan makna filsafat ilmu yang tersembunyi dan implisit dalam timbunan peristiwa keseharian akan kurang tergali. Namun bangunan pemahaman filsafat ilmu yang ditawarkan Jujun sangat mendasar dan mencerahkan, hingga penyadaran akan pentingnya berpikir ilmiah-metodik dalam memahami dan memecahkan masalah (bahasan tentang metode  ilmiah), bahasa dan konteks budaya.

Sedangkan Watloly, hantaran pemahaman filsafat ilmu lebih menampilkan padatan-padatan keilmuan sehingga gagasan filsafat ilmu lebih tampak nyata melalui gugusan teori-teori sosial yang dimaknai berdasarkan pemikiran sosio-epsitemologi.  Bedanya lagi, pemahaman filsafat ilmu buku Watloly menampilkan visi baru atau “pendekatan berparadigma baru” dalam istilah Fritjof Capra, atau “visi baru tentang realitas”, memiliki jangkauan pemahaman holistik yang memuat inti filosofis dengan menunjukkan bahwa teori pengetahuan dan keilmuan harus berorientasi pada pengenalan realitas diri manusia dan dirinya sendiri untuk menuju proses humanisasi diri dan sesama melalui tindakan pendidikan secara sadar (buku Watloly, halm. 58-62).  

Membaca Kebenaran

Bagaimana kedua buku ini membaca kebenaran? Ujung pencarian filsafat adalah kebenaran. Ujung pencarian ilmu adalah kebenaran. Filsafat ilmu membaca dan menemukan kebenaran melalui serangkaian pemikiran, metode dan pendekatan. Bagian ini memaksudkan dua hal, yaitu pertama, membaca kebenaran itu sendiri, yakni tentang bagaimana buku ini memaknai ‘kebenaran’; dan kedua, menggapai kebenaran, yakni tentang bagaimana buku ini mengantarkan pada kebenaran atau membawa pembaca pada penyimpulan-penyimpulan akan nilai-nilai kebenaran. Buku Jujun dan Watloly menampilkan wajah khas masing-masing.

Jujun, melalui contoh-contoh keseharian menampilkan unsur-unsur kebenaran yang digali dari pengalaman empiris manusia dan masyarakat. Sebuah hantaran pemahaman yang menarik. Pembaca bisa langsung belajar dan berpraktik, misalnya menganalisis adakah unsur-unsur kebenaran yang terkandung dalam kalimat, tutur, ungkapan, peristiwa dan situasi sosial atau budaya tertentu. Dari pengalaman-pengalaman empiris, buku Jujun kemudian menarik pengalaman empiris tersebut pada pemaknaan yang bersandar pada metode ilmu untuk menyuguhkan arti ‘kebenaran’ yang didefinisikan dan digolong-golongkan, sehingga kita mengenal (1) teori kebenaran koherensi, yaitu kebenaran yang bersumber dari koherensi dan konsistensi dengan pernyataan sebelumnya; (2) teori kebenaran korespondensi, yaitu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut; dan (3) teori kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis (halm. 56 – 59). Selanjutnya paham kebenaran dalam buku Jujun diperkenalkan secara menyebar dalam bahasan-bahasan epistemologi (cara mendapatkan pengetahuan yang benar), yang terdistribusi dalam bahasan “jarum sejarah pengetahuan (halm. 101-103), pengetahuan  (halm 104 -118), metode ilmiah (halm. 119-140).

Jujun mengajari berpikir ilmiah untuk mencapai kebenaran. Dan cara-cara berpikir ilmiah (metode ilmiah) juga tergambar dalam bahasan struktur pengetahuan ilmiah (halm. 141 – 162), sarana berpikir ilmiah (halm. 165-170). Pada aspek kedua, tentang bagaimana mengenalkan pembaca pada anasir kebenaran, buku Jujun melakukan penjelajahan pengalaman empiris manusia (masyarakat), kemudian ditafsir dengan pendekatan metodologis untuk menguji bahwa pengalaman empiris tersebut memenuhi kaidah kebenaran atau tidak, yakni dengan parameter kelogisan, masuk akal, akal sehat, rasionalitas (halm. 111-112) melalui serangkaian metode ilmiah (halm. 113 – 140).

Jujun menekankan arti penting metode ilmiah (halm. 165-169) sebagai proses penemuan pengetahuan (menemukan kebenaran) dan mengomunikasikan penemuan ilmiah tersebut kepada masyarakat ilmuwan (“menguji dan mempertanggungjawabkan temuan kebenaran” untuk menuju “kebenaran yang lebih teruji”). Sebagai penguat piranti metodik keilmuan (mesin pencari kebenaran), buku Jujun mengungkap struktur pengetahuan ilmiah yang memuat konsep tentang pengetahuan, ilmu, teori, yang disebut memiliki keumuman (universalitas) yang tinggi (halm. 141-147); dan penelitian sebagai sarana untuk menemukan pengetahuan baru (halm. 159).

Jika buku Jujun memaknai dan menggapai kebenaran secara “jalur tunggal” dan agak “doktriner” (melalui metode ilmiah), maka buku Watloly, dengan konsep utama sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial), memaknai kebenaran dengan pendekatan dan jalur yang berbeda sehingga aroma kebenarannya pun terasa berbeda walaupun berujung sama: kebenaran. Memang, kebenaran dalam  kajian sosio-epistemologi (buku Watloly) menjadi tema sentral dan tujuan pengetahuan, dan menurutnya pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran (halm. 288). Dan sosio-epistemologi memaknai dan menyikapi kebenaran secara “berbeda”, sesuai dengan watak sosialnya, namun dilakukan secara kritis dan optimis.

Baginya, pertama,  kebenaran tetap menjadi tuntutan bagi manusia berbudaya, di tengah rumitnya kebenaran. Sosio-epistemologi mendekati tuntutan kebenaran ini, dari sisi pengetahuan, yakni kebenaran pengetahuan adalah kebenaran dalam batas kemanusiaan manusia, sehingga meniscayakan kebutuhan akan keterbukaan dialog dan komunikasi.

Kedua, kebenaran tidak bersifat tunggal, tetapi bersifat majemuk, hipotetis, konsensus, dan bertegangan  (negosiatif). Kemajemukan sifat kebenaran berarti bahwa realitas kebenaran yang dihadapi dalam sosio-epistemologi bukanlah realitas kebenaran bendawi yang statis, tunggal, terisolir, tetapi kebenaran itu berhubungan dengan dunia realitas kemanusiaan yang kaya, dinamis, berkembang dan penuh daya misteri. Kebenaran bersifat hipotetik,  karena tidak ada kebenaran yang memutlakkan diri secara sepihak dan mengklaim diri sebagai yang benar satu-satunya dan terlepas dari yang lain. Ada kepentingan kemanusiaan dalam situasi kehidupan praxis yang dinamis dan berubah-ubah. Konsensus, karena hakikat kebenaran walau bersifat mutlak, tidak terisolasi dari kehidupan manusia yang majemuk dan komunikatif. Sosio-epistemologi berusaha mengembangkan tuntutan kebenaran yang bersifat konsensus-hipotetis yang terus berproses ke arah kebenaran yang bersifat universal.

Tidak ada kebenaran “subjektivitas murni” atau “objektivitas murni” yang berdiri sendiri dan saling mengabaikan. Egoisme dan eksklusivisme sektoral harus ditinggalkan. Kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan adalah kebenaran yang selalu berkaitan dengan pengetahuan manusia, maka kebenaran itu selalu bersifat subjektif, terbatas, dialogis (diskursif), intersubjektif dan berevolusi. Sedangkan kebenaran bertegangan (tensional truth) sebagai ciri kebenaran dalam paham sosio-epistemologi merupakan kebenaran dialektis, sebagai kritik atas kebenaran rasional (selanjutnya ditulis pada bagian “Kritik Atas Ilmu”).

Kebenaran dialektis hadir dalam rangka memperdalam konsep kebenaran sektoral untuk memulihkan kebuntuan dogmatisme, seperti dikatakan oleh Habermas yang dikutip Giddens, kebenaran dalam sosio-epistemologi bukan tergantung pada objektivitas pengalaman tetapi pada argumentasinya. Baginya, kebenaran dialektis terletak pada pemahaman yang mendasar mengenai kepentingan manusia di dalam realitas sosio-historisnya. (halm. 291-295), dan diperoleh kebenaran yang bersifat universal sekaligus kontekstual (halm. 298).

Kedua, bagaimana mengenalkan dan mencapai kebenaran? Kebenaran dalam sosio-epistemologi adalah kebenaran sebagai praxis, maka inti kebenaran ini diperoleh melalui pertautan dialektis antara tuntutan kebenaran transenden universal (mutlak) dan tuntutan kebenaran imanen yang bersifat kontekstual-empiris. Yaitu pertautan dialektis antara gagasan-gagasan empiris-positivis tentang kebenaran sebagai koherensi (persesuaian antar gagasan) dengan gagasan dialektika mengenai kebenaran sebagai praxis atas realitas kehidupan sosio-historis manusia yang dinamis. Sosio-epistemologi berusaha memperlihatkan adanya kebenaran sebagai praxis yang berdasar pada keputusan-keputusan pragmatis-intersubjektif (halm. 299), dan berorientasi pada kepentingan praxis manusia (halm. 300).

Yaitu diperoleh dengan cara pertama, jalur penyelidikan empiris, untuk menghasilkan jenis pengetahuan instrumental (menghasilkan jenis pengetahuan teknis, enklaren/ menerangkan).

Kedua, jalur ilmu-ilmu kemanusiaan, yakni praxis, melalui penghayatan (erlebnis) internal kognitif manusia atas realitas diri dan lingkungannya (verstehen, memahami). Dialektika ini tidak berhenti di sini. Watloly melanjutkan “teka-teki”-nya dengan menghadirkan wacana kebenaran objektif (objective truth) yang dipandang sebagai objektivitas pengalaman manusia yang dinamis (halm. 330), karena objektivitas itu adalah hasil konstruksi manusia (halm. 331). Tuntutan objektivitas tidak diartikan sebagai sosok ego atomis yang mengabaikan keterlibatan subjek dalam berbagai nilai dan kepentingan, tetapi objektivitas sebagai suatu eksistensi terbuka yang berada sebagai objek pengetahuan (halm. 351).  Di sini terasa sekali tantangan bagi libido dialektika pembaca untuk meraih kebenaran universal melalui pertarungan beberapa kebenaran yang memang riil terjadi sebagai realitas sosial. Di sinilah pentingnya buku ini menghadirkan teori sosial terutama teori kritis sebagai tuntutan teoretis dan metodis untuk memahami realitas sosial untuk mencapai validitas sosio-epistemologi (halm.357-372). Hal yang tidak dilakukan di buku Jujun secara pejal dalam distribusi telaah atas teori-teori sosial, namun sebatas memberi isyarat relasi ilmu pada konteks sosial kehidupan masyarakat modern (buku Jujun, halm. 266).

Kritik Atas Ilmu

Karena berfilsafat adalah (berpikir untuk) menemukan kebenaran, maka refleksi-sistematis pemikiran filsafati membawa pada derajat keraguan (skeptisisme) tertentu untuk mencapai kebenaran (yang bisa dianggap) universal. Bidang gerak filsafat yang lebih luas daripada ilmu, dan ilmu itu menjadi objek kajian filsafat ilmu, maka, ilmu (science) pun tak luput dari incaran filsafat ilmu untuk diberikan kritik. Bagaimana kedua buku filsafat ilmu ini  memberikan kritik atas ilmu?

Jujun lebih menekankan pada gagasan membangun ilmu pengetahuan. Ia memberikan pembedaan antara ‘pengetahuan’ (knowledge) dan ‘ilmu pengetahuan’ (science). Kritiknya, ada pada bangunan sistem pengetahuan yang hidup di masyarakat yang dikatakannya tidak dapat dikategorikan sebagai “ilmu” karena tidak didasarkan pada prosedur ilmiah dalam memperolehnya tetapi atas dasar akumulasi pengalaman hidup saja (halm.108-109). Karenanya, buku Jujun menekankan arti penting metode penelitian sebagai bagian epistemologi ilmu. Rasionalitas dan berpikir ilmiah dan metode ilmiah menjadi amat penting. Dan untuk dapat melakukan kegiatan berpikir ilmiah dengan baik,  diperlukan sarana berupa bahasa, logika, matematika, dan statistika (halm. 167).

Sedangkan Watloly, sosio-epistemologi memberikan kritik atas ilmu bertitik tolak dari ide dasar watak sosial yang harus ada pada ilmu, yakni referensi sosial manusia dalam pengembangan dan pembaruan pengetahuan atau teori pengetahuan dan keilmuan yang didorong kesadaran kritis untuk mencairkan kebekuan “ideologis” (sikap memutlakkan diri sendiri) dalam ilmu-ilmu serta tuntutan (klaim) pengetahuan (teori makro) sektoral (teori mikro) dalam epistemologi modern (halm. 48-49).

Kritik sosio-epistemologi baik struktur intelektual (isi dan cara berpikir) maupun skema metodik (cara kerja) setiap cabang dan aliran pengetahuan modern mulai dari zaman Descartes (zaman awal epistemologi modern) hingga Wittgenstein dan Ayer (zaman epistemologi kontemporer) telah meletakkan tuntutannya yaitu tuntutan kebenaran, objektivitas, validitas, metodis, logis, dan klaim teoretis yang bersifat sektoral atas epistemologi itu sendiri (halm. 49).

Kritik sosio-epistemologi (pengetahuan berwatak sosial) memiliki skema pemikiran yang bertegangan dialektis, berwatak kritis terhadap ilmu. Pertama, meletakkan asumsi teoretiknya pada realitas sosial empiris (naturalis) bertujuan melakukan penelitian dan penetaan atas berbagai realitas sosial (mekanisme sosial dan wacana sosial), sebagai faktor konstitutif (stock of knowledge). Ini disebut kritik imanen.

Kedua, mempertautkan filsafat transendental dengan realitas sosial yang imanen. Bersifat dialektis. Bertujuan mengangkat hasil pemetaan pertama (realitas sosial) dalam pendekatan filsafat transendental (filsafat kritis/ rasional) guna melakukan kritik, pengujian, pengkajian, debat, dialog, konseptualisasi, sistematisasi dan pewacanaan yang membentuk dunia objektif bagi teori pengetahuan. Ini disebut kritik transenden (halm. 89-90). Kritik imanen, diperkenalkan oleh Jurgen Habermas dan Steve Fuller. Fuller banyak menyerang berbagai pandangan epistemologi yang bersifat normatif dan utopis (“mengawang”) atau tanpa sasaran praxis yang tegas. Sedangkan Habermas lebih menggunakan pendekatan dialektis sebagai refleksi atau “kritik  epistemologi” terhadap teori-teori sosial. Dalam pandangan Habermas, telaah sosio-epistemologi (filsafat pengetahuan) dilakukan dalam dua tataran, yakni pertama, melakukan kritik imanen (kritik teori sosial) untuk menemukan kondisi sosio-historis dalam konteks tertentu yang memengaruhi pengetahuan manusia. Kritik diarahkan kepada berbagai bentuk penindasan dogmatis, ideologis dan teknologis yang menekan konfigurasi kehidupan sosial manusia atau masyarakat. Kedua, melakukan kritik transendental (kritik teori pengetahuan) untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan pengetahuan dalam diri subjek itu sendiri.

Telaah sosio-epistemologi dengan ini berusaha mengatasi “saintisme” atau “positivisme” yang begitu kuat menguasai alam pengetahuan dewasa ini (halm. 94-95).  Sosio-epistemologis, tetap teguh dalam tataran filosofis (sebagai sebuah filsafat pengetahuan), dengan ciri berpikir yang dibangun di atas fondasi tegangan dialektis, melakukan kritik epistemologis terhadap teori-teori pengetahuan dan teori-teori sosial (halm. 98-99), berusaha membangun hubungan dialektis antara teori dan praxis antara pengembangan ilmu pengetahuan dan kepentingan masyarakat (halm. 102). Watak dialektika emansipatoris sosio-epistemologi (bukan dialektika materialis) dan penuntunan pada praxis dari sosio-epistemologi membawa pencerahan keilmuan dan berimplikasi pada tuntutan teoretis dan metodis sebagai validitas sosio-epistemologi itu sendiri dan pembaruan atas teori-teori sosial modern mengenai perkembangan masyarakat, yaitu teori rasionalisasi masyarakat dan teori modernisasi masyarakat (halm. 373).

Apa yang disebut teori sosial modern, dalam pandangan sosio-epsitemologi harus dikritik karena teori-teori tersebut telah meletakkan pandangannya yang sempit atau yang disebut Max Horkheimer, social discrimination, yang menurutnya telah menghadirkan konflik dan cara berpikir ideologis di dalam pemikiran para filsuf dan pemikir ideologis modern. Teori sosial tersebut juga telah meletakkan sebuah ontologi mengenai realitas sosial yang partikular dan terisolasi, bukan realitas sosial sebagai sebuah ontologi yang utuh dan bereksistensi (halm. 373-374).

Teori-teori sosial disebutkan  telah melepaskan hakikat perkembangan masyarakat dari realitas permasalahannya yang utuh dan kompleks. Perkembangan masyarakat dipandang sebagai hal yang bersifat  teknologis, terbukti dengan pola yang digunakannya yaitu reduksi, institusionalisasi dan objektivikasi masyarakat. Tujuannya agar realitas sosial dan perkembangan (modernisasi) masyarakat dapat dimanipulasi menurut hukum perkembangan yang bersifat teknologis dan ekonomis sebagaimana yang mereka kehendaki.

Watak teori sosial ini harus direvolusi atau diubah, karena masyarakat dengan ciri sosialnya yang dinamis dan penuh daya misteri selalu berkembang dalam realitasnya yang bersifat kompleks, holistik, bebas, dan berubah-ubah (halm. 375). Kritik dilakukan juga atas teori modernisme yang gagal akibat keangkuhan rasionalisme modernnya (halm. 375, 378), untuk membangun pembaruan “rasionalisasi perkembangan masyarakat”  (halm. 381, 398-402) dengan mengembangkan konsep praxis (halm. 395).

Pembaruan terhadap teori modernisasi (halm. 402 – 407) terasa direkomendasikan sosio-epistemologi ini disamping juga usulan pembaruan terhadap paradigma materialisme sejarah Karl Marx yang menurutnya harus diganti dengan paradigma komunikasi (halm. 427).

Membangun Sikap Ilmiah, Moral dan Sosial

Sebagai review-banding terakhir, filsafat ilmu disamping melakukan pembahasan mengenai ilmu itu sendiri (pembahasan sebelumnya), juga terkait dengan aspek kehidupan manusia berikut manusianya. Filsafat ilmu haruslah memiliki dimensi-afektif pada manusianya (dimensi aksiologis dari filsafat ilmu), yakni membangun sikap ilmiah dan moral. Bagaimanakah kedua buku ini membangun sikap ilmiah dan moral?

Jujun menampilkan pesan-pesan membangun sikap ilmiah dan moral ini secara menyebar dan embedded dalam topik-topik bahasan. Membaca buku Jujun dengan sabar dan tidak tergesa-gesa akan menemukan pesan-pesan ini. Aspek rasionalitas, akal sehat yang ditekankan Jujun jelas memesankan keharusan rasionalitas sebagai sikap ilmiah yang harus dibangun (halm 50-53, 109, 111-112).  Sikap ilmiah berikutnya yang dipesankan untuk dibangun adalah berpikir yang berdasarkan penalaran (halm. 43), cara berpikir ilmiah (halm. 46-48), mencintai kebenaran, karena kebenaran adalah pernyataan tanpa ragu (halm. 50) dan kebenaran diperoleh melalui kegiatan berpikir ilmiah dan mendasarkan diri pada metode ilmiah (halm. 119-140, 165-169) dengan menggunakan instrumen penelitian dan penulisan ilmiah (halm. 307-363). Sedangkan pada aspek moral, Jujun menegaskan pada bagian bahasan “ilmu dan moral” (halm. 229) dengan mencontohkan “munculnya ilmu ekonomi yang tidak mengajarkan keserakahan”, buku ini me-wanti-wanti masalah moral terkait pembelajaran suatu ilmu. Disebutkan adanya keterkaitan antara ilmu dan moral, yakni bahwa ilmu harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat manusia (halm. 235). Moral juga terkait dengan upaya manusia mendapatkan dan mempertahankan kebenaran, dengan konsekuensi apapun agar ilmuwan terhindar dari prostitusi intelektual (halm. 236). Moralitas sosial dari ilmu adalah tanggungjawab sosial ilmuwan. Sikap sosial ilmuwan adalah konsisten dengan proses penelaahan keilmuan yang dilakukan (halm. 239).

Jujun mempertegas aspek moral ini dengan memunculkan kisah-kisah moralitas di balik aktivitas keilmuan, misalnya kisah nuklir dan pilihan moral (halm. 246-252). Lebih luas, aspek sosial ilmu dipesankan buku Jujun untuk pengembangan kebudayaan (halm. 261), yang kemudian dilakukan melalui strategi pendidikan (halm. 263), karenanya, ilmu, mengharuskan kita untuk memusatkan perhatian pada nilai-nilai yang relevan dengan masyarakat modern (halm. 266). [Baca: Van Peursen, Strategi Kebudayaan].

Buku ini juga memesankan khusus untuk konteks Indonesia yakni ilmu untuk pengembangan kebudayaan nasional (halm. 272), yaitu dengan mengembangkan ilmu sebagai cara berpikir (halm. 273), dan ilmu sebagai asas moral (halm. 274), untuk memunculkan nilai-nilai ilmiah dalam pengembangan kebudayaan nasional (halm. 275). Dan untuk mengoperasionalkan gagasan-gagasan moral dan sosial tersebut, diperlukan perangkat untuk mengomunikasikan ilmu berupa bahasa (halm. 301-302).

Pesan-pesan membangun sikap ilmiah, moral dan sosial secara jelas diberikan oleh Watloly dengan lebih menekankan pada konteks sosial dan praxis sebagai “andalan” sosio-epistemologi. Sikap ilmiah yang dipesankan buku ini (mengikut watak sosialnya) adalah melampaui “kesekedaran minimalis” seperti berpikir ilmiah, logis, skeptis dsb itu, namun lebih memiliki rasa dan keberanian menggugat tradisi teori-teori sosial modern yang disebut oleh Max Horkheimer sebagai ilmu yang memiliki social discrimination, menyimpan konflik pemikiran (halm. 374).

Pesan-pesan sikap ilmiah – moral – sosial buku Watloly ini sangat luas mengingat keluasan jangkauan daya jelajah dan kekuatan karakter sosio-epistemologi ini. Namun ada beberapa yang paling penting yang bisa dituliskan, yaitu:

(1) mengajarkan keterbukaan dan rendah hati serta tidak sombong karena watak sosio-epistemologis yang memandang kebenaran yang dicarinya sebagai sebuah kebenaran yang bersifat subjektif, terbatas, dialogis (diskursif), intersubjektif dan berevolusi, serta anggapan tidak ada kebenaran tunggal-mutlak yang angkuh tetapi bersifat majemuk, hipotetis, konsensus, dan bertegangan  (negosiatif) yang kesemuanya itu memerlukan pertautan secara humanis-emansipatoris dengan dialog atau disebut “dialektis emansipatoris”. Ini menuntut keterbukaan dan kesediaan berdialog dengan menanggalkan keangkuhan-intelektual dan egositas ilmuwannya (mengajari rendah hati serta tidak sombong);

(2) mengajarkan sikap humanis, empati dan menghargai kemanusiaan, karena terbawa karakter praxis dari sosio-epistemologi (penghargaan pada perspektif manusia atau masyarakat dalam pengembangan keilmuan);

(3) open-mind, kebebasan berpikir dan pro-perubahan dan pemahaman multikultural, yang terbentuk dari karakter dialektis emansipatoris sosio-epsitemologi (halm. 393);

(4) sikap kritis positif terhadap rasio dan ilmu pengetahuan (halm.392);

(5) sikap konstruktif-aktif dan responsif yang terbawa dari karakter rasionalisasi perkembangan masyarakat (halm. 388);

(6) selalu kritis terhadap teori dan terbuka pada pembaruan teori (halm. 408);

(7) produktif keilmuan dan dinamis, yang terbawa dari sifat sosio-epistemologi yang menguatamakan perspektif kerja dan perspektif komunikasi (halm. 422-423); dan

(8) tanggungjawab budaya dan kemanusiaan yang lebih luas, karena sosio-epistemlogi membuka ruang kesadaran praktis moral (halm. 424) untuk rasionalisasi masyarakat dalam paradigma komunikasi dalam teori sosial untuk menjadi ajang pertautan dan pengembangan daya kognisi serta kreativitas budaya masyarakat (halm. 427). Revolusi intelektual ilmuwan sangat terasa dalam buku ini. Terasa lebih tajam, berani dan menggugah relung kesadaran.

Kesimpulan
1.    Misi keilmuan kedua buku filsafat ilmu (Jujun dan Watloly) memiliki kesamaan yakni sama-sama memandang filsafat sebagai cara berpikir, dan filsafat ilmu adalah hakikat pemikiran radikal untuk menelaah ilmu. Namun keduanya berbeda cara penyampaiannya dan cara pandang pada filsafat ilmu, yang mana buku Jujun memandang filsafat ilmu sebagai bagian dari epsitemologi (filsafat pengetahuan), sedangkan buku Watloly menempatkan epistemologi (filsafat pengetahuan) sebagai basis kajian, dengan menautkannya dengan  konteks sosial masyarakat (praxis), karenanya dinamakan filsafat ilmu yang berwatak sosial.

2.     Dalam memahami filsafat ilmu, didapatkan melalui pemahaman hakikat ilmu pengetahuan, dan mengantarkan pada pemahaman pengetahuan, sumber pengetahuan, posisi manusia (masyarakat) dalam dinamika konteks sosial dan revolusi keilmuan yang tak pernah berhenti. Kedua buku menyadari hakikat ini, namun penekanan lebih terasa pada buku Watloly yang mendasarkan pada pemikiran dialektis-emansipatoris yang tidak hanya memahami ilmu dalam pisau bedah filsafat ilmu saja, tetapi melanjutkan telaah kritisnya pada dataran teori-teori sosial modern.

3.     Kebenaran, adalah tujuan pencarian filsafat dan ilmu. Filsafat ilmu, melakukan kajian terhadap ilmu dalam rangka mencapai kebenaran. Dalam membaca dan memaknai kebenaran, terdapat perbedaan cara pandang dalam proses menuju penemuan kebenaran universal. Buku Jujun lebih memunculkan kebenaran rasionalis dengan mencontohkan teori kebenaran koherensi, korespondensi dan konsistensi. Sedangkan Watloly memandang proses humanis yang menghargai indigenasi (kebenaran sektoral, endogen) yang berorientasi praxis, memunculkan kebenaran dialektis sebelum mencapai konsensus akan kebenaran universal.

4.    Kritik atas ilmu, kedua buku sama-sama mengupayakannya namun lebih menonjol dan atraktif pada buku Watloly yang melakukan kritik akan sifat dan esensi ilmu hingga teori sosial yang dianggapnya kurang berwatak sosial, sehingga perlu dibongkar dan diganti dengan ilmu yang berkarakter sosial, praxis dan berparadigma komunikasi sehingga tercapai apa yang disebut “rasionalisasi masyarakat”. Sedangkan buku Jujun melakukan kritik atas sistem pengetahuan pra-ilmiah untuk tujuan membangun ilmu pengetahuan dan bermuara pada membangun kebudayaan.

5.     Membangun sikap ilmiah, moral dan sosial. Kedua buku menunjukkan misi yang sama (dengan watak masing-masing). Buku Jujun memberi pesan-pesan sikap ilmiah dan sikap moral dan sosial dengan penekanan pada rasionalitas dan kebenaran rasional sebagai sikap ilmiah serta memesankan sikap moral dan sosial yang produktif bagi pembangunan kebudayaan. Corak positivistik terasa pada buku Jujun namun juga kritis dan peduli konteks sosial dan kebudayaan. Sedangkan buku Watloly dengan andalan sosio-epistemologi-nya, melampaui sikap ilmiah, lebih berbicara kekritisan ilmu dan mengutamakan praxis untuk “proyek humanistik” rasionalisasi masyarakat. [Baca: Jurgen Habermas, Rasionalisasi Masyarakat].


Dari deskripsi dan kesimpulan, untuk menunjukkan perbandingan kedua buku (Jujun dan Watloly)  saya ilustrasikan sebagai berikut:

Perbandingan Kajian Filsafat Ilmu Jujun Surasumantri dan Sosio-Epistemologi Aholiab Watloly

Kriteria
Buku Jujun Suriasumantri (Filsafat Ilmu)

Buku Aholiab Watloly               (Sosio-Epistemologi)
Misi keilmuan
-        Filsafat sebagai cara berpikir.
-        Filsafat ilmu merupakan cabang epistemologi (filsafat pengetahuan).
-    Filsafat sebagai cara berpikir.
-    Epistemologi (filsafat pengetahuan) sebagai basis pemikiran.
Pendekatan
Saintis, positivistik
Reflektif, kritis
Penjelasan hakikat ilmu
Membangun ilmu
Mengritik ilmu untuk pembaruan ilmu
Landasan epistemologis
Linier
Dialektis-emansipatoris
Sumber pengetahuan
Pengalaman empiris, dengan metode ilmiah
Indigenasi, praxis.
Subjek ilmu
Ilmuwan
Masyarakat
Tujuan ilmu
Pembangunan kebudayaan
Rasionalisasi masyarakat
Praxis ilmu pengetahuan
Menggali pengalaman empiris dan memaknai secara metodologis
Memahami hakikat ilmu pengetahuan dari perspektif masyarakat.
Ciri kebenaran
Rasionalitas
Dialektis-bertegangan
Membaca kebenaran
Mutlak
Dialektis, konsensus, praxis.
Kritik atas ilmu
Membangun ilmu
Kritik atas teori sosial, pembaruan ilmu
Membangun sikap ilmiah, moral dan sosial
Rasionalitas, metode ilmiah, membangun kebudayaan
Kritis, kesadaran praxis, rasionalisasi masyarakat.

  

No comments:

Post a Comment