Monday, November 2, 2015

Cultural Studies

Cultural Studies

 Pengertian Cultural Studies


Cultural studies, sebagaimana namanya, “studies” (kajian-kajian), bukan “cultural study” yang memuat makna “study” (kajian) yang bermakna tunggal, memuat pengertian kajian-kajian budaya dalam pengertian dan ruang lingkup yang luas dan multi, seperti dikatakan Stuart Hall, “cultural studies has multiple discourses”[1]. Ia memiliki daya jangkau  lintas disiplin ilmu, dan berusaha menjelaskan realitas sosial kontemporer dari berbagai disiplin ilmu tersebut. Cultural studies, yang muncul dari Universitas Birmingham (Inggris), -karenanya disebut “mazhab Birmingham”-, hendak menggugat pengkotak-kotakan ilmu yang masing-masingnya mengklaim kebenaran dengan versi keilmuannya masing-masing. Cultural studies hadir untuk mendamaikan klaim parsial tersebut dengan menghadirkan kajian-kajian lintas disiplin ilmu, inter dan multidisipliner dengan memasukkan teori dan metode dari berbagai disiplin ilmu yang dipandang strategis untuk lebih mampu menjelaskan realitas sosial maupun representasinya dalam kehidupan sosial kontemporer.



Kajian-kajian lintas disiplin tersebut dinamakan “budaya”, “kajian-kajian budaya” (cultural studies) karena “budaya” mengandung pengertian dan ruang lingkup yang luas, yang dalam hal ini “cultural studies” berbeda dari “the study of culture”[2]. Cultural studies adalah sebuah metode dan teori, dalam ranah paradigma kebudayaan (cultural paradigm)[3], sedangkan “the study of culture” adalah kajian tentang budaya. Budaya, seperti dinyatakan oleh Simon During dalam buku Cultural Studies: A Critical Introduction, bukanlah benda atau bahkan sistem, tetapi mengacu pada pengertian seperangkat transaksi, proses, mutasi, praktik, teknologi, institusi dan segala benda dan peristiwa yang diproduksi untuk menyatu dalam pengalaman hidup, makna-terberi (given meanings), dan nilai-nilai.

Culture is not a thing or even a system: it is a set of transactions, processes, mutations, practices, technologies, institutions, out of which things and events (such as movies, poems or world wrestling bouts) are produced, to be experienced, lived out and given meaning and value to in different ways within the unsystematic network of differences and mutations from which they emerged to start with. [4]

Di sini, cultural studies memandang budaya sebagai teks[5].  Pandangan ini mendapat penguatan dari Raymond Williams yang memaknai budaya (culture) sebagai pengalaman hidup, teks, praktik, makna-makna (meanings) yang dimiliki oleh dan telah menjadi aturan main di masyarakat. Selanjutnya Raymond Williams sebagaimana dikutip oleh Chris Barker dan Dariusz Galasinski, memaknai budaya sebagai “a whole way of life”, meliputi keseluruhan bentuk-bentuk signifikasi dalam makna-makna dan kondisi yang diproduksinya. Mengikut pandangan ini maka, cultural studies berkenaan dengan pemahaman terhadap dunia sehari-hari sebagai bagian dari budaya yang dicermati, yakni hal-hal yang biasa dilakukan, dirasakan, dibicarakan, didengar, dilihat dan dialami dalam kehidupan sehari-hari oleh orang kebanyakan. Ini yang menjadi salah satu ciri terpenting cultural studies. Atau menurut kata William,  cultural studies mengurusi kajian-kajian tentang “intersection of language, meanings and power”[6]. Sejalan dengan ini adalah pemikiran Stuart Hall yang memberikan pengertian cultural studies berkaitan dengan kekuasaan dan politik. Menurut Hall, sebagaimana dikutip Chris Barker, cultural studies merupakan suatu teori yang dibangun oleh para pemikir yang memandang produksi pengetahuan teoretis sebagai praktik politik. Dalam hal ini pengetahuan tidak pernah menjadi fenomena netral atau objektif, tetapi memiliki posisionalitas, tergantung dari posisi mana orang berbicara, kepada siapa dan untuk tujuan apa[7].

Ruang Lingkup Cultural Studies

Cultural studies memiliki ruang lingkup yang luas, dan secara konsisten senantiasa memberi perhatian pada masalah dan isu-isu kekuasaan, politik, ideologi, serta kebutuhan akan perubahan sosial[8].  


Ia hadir dalam kajian-kajian tentang produksi pengetahuan, praktik politik, serta berdiri di tengah pemaknaan, bahasa dan kekuasaan, dalam masyarakat kontemporer. Karenanya kajian cultural studies ini mengikuti karakter masyarakat kekinian, dan dalam ulasan Mudji Sutrisno dalam buku yang dieditorinya bersama Hendar Putranto, “Teori-Teori Kebudayaan”, mencakup kajian-kajian budaya sebagai kritik ideologi, masalah-masalah integrasi sosial, transformasi sosial, perilaku, budaya sebagai teks, yang membentang dari strukturalisme hingga post-strukturalisme, psikoanalisis dan post-modernisme[9]. Ulasan lain, dari Chris Barker misalnya, bukunya, Cultural Studies memuat bentangan ruang lingkup cultural studies yang lebih luas lagi  yakni kebudayaan, budaya massa (popular), ideologi, makna dan pengetahuan, linguistik, diskursus, post-modernisme, feminisme, politik, politik identitas, politik budaya, globalisasi, media, dan subkultur. Bentang ruang lingkup kajian cultural studies ini dapat dikatakan bahwa karakter cultural studies adalah bahwa ia meneliti atau mengkaji berbagai kebudayaan dan praktik budaya serta kaitannya dengan kekuasaan[10] dan produksi pengetahuan dalam arena dan konteks kebudayaan yang luas.

Dalam konteks kekuasaan, cultural studies menyingkap dimensi kekuasaan dan pengaruhnya terhadap berbagai bentuk kebudayaan dalam aspek sosial, ekonomi, politik dll[11]. Sama dengan critical theory (mazhab Frankfurt), cultural studies, atau dikenal juga sebagai mazhab Birmingham[12], merupakan pemikiran yang memuat perlawanan/ kritik terhadap budaya massa atau budaya pop (popular culture), dengan menggunakan studi budaya sebagai instrumen untuk melakukan perubahan progresif. Cultural studies menolak narasi besar universalisme seperti ditawarkan teori modernisasi, hal yang dikecam juga oleh teori kritis, menuju ke “narasi kecil” lokal. Ia mendekonstruksi (membongkar) aturan-aturan pengkotak-kotakan ilmiah konvensional lalu berusaha mendamaikan pengetahuan objektif dengan pengetahuan subjektif (intuitif)[13].
Cultural studies berusaha memahami realita budaya sekaligus mengubah struktur dominasi dan struktur masyarakat yang menindas dan bertujuan untuk merumuskan teori-teori sekaligus tindak praksis yang bersifat emansipatoris. Cultural studies tidak membahasakan kebudayaan yang terlepas dari konteks sosial politik, tetapi mengkaji masalah budaya dalam konteks sosial politik di mana kebudayaan itu tumbuh dan berkembang. Selanjutnya, ia melibatkan diri dalam pertimbangan moral, tindakan politik dan konstruksi sosial[14]. Dengan demikian karakteristik cultural studies tidak memiliki wilayah subjek kajian yang didefinisikan secara jelas, tetapi berpijak pada gagasan tentang budaya yang luas, untuk mempelajari berbagai macam praktik keseharian manusia. Karenanya, ia meliputi seluruh kajian pengetahuan. Keseluruhan struktur pengetahuan berikut relasinya dengan manusia dalam pandangan cultural studies ini sejalan dengan pemikiran post-modernisme bahwa pengetahuan memiliki karakter yang perspektival, dan menganggap tidak mungkin ada pengetahuan yang menyeluruh yang mampu menjelaskan karakter “objektif” dunia. Tetapi diperlukan berbagai sudut pandang atau kebenaran yang digunakan untuk menafsir eksistensi manusia yang kompleks dan heterogen[15].

Sebagaimana dideskripsikan di atas, bahwa cultural studies berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan sosial budaya kontemporer (post-modern), dengan karakter lintas disiplin dan cair yang dimilikinya, maka paradigma yang sesuai bagi cultural studies, dalam tulisan Akhyar Yusuf Lubis dalam bukunya “Dekonstruksi Epistemologi Modern”,  adalah paradigma teori kritis, dekonstruksi dan konstruktivisme. Paradigma konstruktivisme ini, menurut Lubis, adalah model berpikir yang melihat sosial budaya, dinamis, kontekstual, plural dan lokal (sama sekali bukan model berpikir positivis, universal, linear, dualis dan statis). Menurutnya, dalam paradigma konstruktivis, pengetahuan bukanlah pernyataan (klaim) tentang objek sejati, tetapi konstruksi interpretatif mengenai objek. Karena itu, paradigma konstruktivisme (seperti post-struktural dan post-modernisme) melihat klaim-klaim kebenaran teori lebih dilihat sebagai produksi kebenaran dalam permainan bahasa (language games) tertentu.  Karena itu, paradigma konstruktivis ini lebih tepat menggunakan metode hermeneutik dengan berbagai variannya[16].

Dari karakter inilah diketahui bahwa cultural studies ini merupakan bidang keilmuan yang multi dan lintas disiplin ilmu, memiliki ruang lingkup yang membentang dari budaya dalam kaitannya dengan kekuasaan dan politik, bahasa, komunikasi, jender, diskursus (wacana). Dengan demikian, metode dan teori yang digunakan dalam cultural studies bervariasi atau dengan kata lain, menggunakan berbagai pendekatan, metode dan teori dalam kombinasi yang mampu menjelaskan realitas sosial kontemporer.

_________________
Referensi yang digunakan dari Chris Barker, Chris Barker dan Dariusz Galasinski, Mark Bracher, Simon During, Stuart Hall, Akhyar Yusuf Lubis, Tony Myers, Slavoj Zizek, Paula Saukko, James Spradley, Yannis Stavrakakis, dan John Storey.

No comments:

Post a Comment