Monday, November 2, 2015

Memformulasikan Negosiasi Partai Politik Dalam Bingkai Komunikasi Politik Efektif

Memformulasikan Negosiasi Partai Politik Dalam Bingkai Komunikasi Politik Efektif
Wawan E. Kuswandoro

Tulisan ini diturunkan untuk “menyambut pemilu legislatif 2019″. Menyambut kehadiran partai-partai politik dalam kompetisi politik yang akan menentukan arah biduk pengelolaan negara ini melalui peran partai politik. Ke mana dan bagaimana partai politik akan memerankan fungsinya dalam pengelolaan negara, mempengaruhi kebijakan negara, dsb. 

Bagaimana partai politik memiliki daya dan kemampuan elektoral dan mampu eksis baik secara institusional maupun substansial fungsional? Bagaimana partai politik memenangkan kompetisi politik ini dengan memenangi hati pemilih yang memilihnya? Dan menjadi pendukung setianya? Bagaimana berkompetisi antar partai politik memperebutkan pemilih? Menjadikan swing voters menjadi pemilih tetap? Yang paling akhir ini yang sulit. Perlu bahasan tersendiri. Bagaimana partai politik mengenal masyarakatnya? Dan bagaimana pula masyarakat itu kini? Akan membutuhkan banyak tulisan untuk menjelaskan ini. Dan benarkan bahwa di mata (calon) pemilih, partai politik itu ibarat komoditas yang terjajar di etalase politik yang siap dipilih oleh para calon pemilih yang “lewat”? Mirip pengunjung mall yang melihat etalasi produk, kemudian memutuskan untuk membeli, atau berlalu sambil tersenyum? Lantas, bagaimana partai politik menyikapi situasi seperti ini? Tulisan ini merupakan salah satu ungkapan saja dari sekian banyak cara yang dapat digunakan untuk merebut minat dan hati pemilih. Tulisan ini membahas “negosiasi partai politik”.

Negosiasi partai politik dengan tokoh masyarakat atau pemuka masyarakat yang biasanya merupakan “panutan” (patron) dari sekian warga masyarakat (klien). Negosiasi antar partai politik, fraksi, dan dengan alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat (DPR/D), dsb.

Mengapa negosiasi? Setiap orang bernegosiasi setiap hari (Fisher and Ury, 1991: xvii). Dan partai politik membutuhkannya. Untuk  kelangsungan hidupnya. Untuk membangun jaringan pendukung dan pemberi suara kepadanya.

Negosiasi adalah perangkat teknis, sebuah penjabaran dari komunikasi secara praktikal. Ia mencerminkan karakter komunikasi. Target negosiasi, terutama oleh partai politik, mencerminkan framing politik dalam komunikasi politik suatu partai politik. Tulisan ini merupakan framing atau pembingkaian (juga pemosisian) negosiasi dalam praktik komunikasi politik efektif, dari pemaknaan baik secara filosofis maupun praktikal tentang komunikasi politik, yang darinya ditarik ke dataran yang lebih praktikal-instrumental yakni “negosiasi” dan “teknik negosiasi”. Namun tulisan ini lebih memesankan penekanan pada bobot komunikasi efektif, sebagai landasan agar melahirkan negosiasi yang lebih jelas, terarah dan targetis. Karenanya, teknik negosiasi yang “mengarah pada tujuan komunikasi politik” juga ter-setting dan sesuai. Penting untuk diketahui dan dipahami para elit dan fungsionaris partai politik.

Sebagai sebuah ujung proyektil komunikasi politik yang efektif, negosiasi  yang efektif harus memperhatikan karakteristik lawan, sumberdaya lawan, dan lingkungan yang mendukung suksesnya negosiasi. Tulisan ini bermaksud memicu formulasi negosiasi efektif yang bersandar pada komunikasi politik efektif. Agar lebih mudah, pemikiran ini disajikan dalam sistematika berikut: I. Komunikasi Politik Efektif, berisi pokok-pokok pikiran tentang pengertian, ruang lingkup komunikasi politik; distorsi komunikasi; mengenali elit (aktor komunikasi politik dan negosiator) dan karakteristiknya; analisis situasi elit; dan mengenali karakteristik masyarakat (komunikan dan “lawan” negosiasi); II.  Negosiasi Dalam Bingkai Komunikasi Politik, berisi pemahaman negosiasi dalam konteks komunikasi politik; III. Memformulasikan Negosiasi Efektif, berisi langkah-langkah negosiasi; IV. Kesimpulan; dan V Rekomendasi.

Komunikasi Politik Efektif


Komunikasi memiliki arti pertukaran pesan verbal maupun non verbal antara si pengirim pesan dengan si penerima pesan untuk mengubah tingkah laku. Menurut pengertian yang diberikan oleh Arni Muhammad (1992) ini, maka komunikasi politik sangat penting diperhatikan oleh para elit politik, dan para komunikator. Elit politik sangat mempengaruhi kebijakan yang akan dibuat untuk masyarakat banyak. Oleh karena itu, komunikasi elit politik perlu diperhatikan karena sangat berpengaruh pada penyampaian pesan kepada pihak lain yakni sesama partai politik, organisasi sosial, tokoh masyarakat dan masyarakat luas. Apabila penyampaian pesan itu salah akan mengakibatkan persepsi yang salah juga pada “lawan komunikasinya”.  Pemahaman kedua bersumber dari pemikiran Gabriel Almond (1976:167), yang menyatakan bahwa semua bentuk interaksi manusia melibatkan komunikasi. Media massa seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah ikut mempengaruhi struktur komunikasi dalam masyarakat. Menurutya, ada lima struktur komunikasi yaitu pertama, kontak tatap muka informal yang muncul terpisah dari struktur masyarakat. Kedua, struktur sosial tradisional seperti hubungan keluarga dan keagamaan. Ketiga, struktur politik “output” (keluaran) seperti legislatif dan birokrasi. Keempat, struktur “input” (masukan) termasuk misalnya serikat buruh dan kelompok kepentingan dan partai-partai politik. Kelima, media massa. Almond menilai, kontak informal dalam sistem politik manapun tidak bisa disepelekan. Riset ilmuwan sosial telah membuktikan bahwa saluran informal menjadi sistem komunikasi paling berkembang. Ia menyebutkan, studi media massa dan opini publik, Katz dan Lazarsfled (1955) menemukan bahwa media massa tidak membuat pengaruh langsung atas kebanyakan individu. Media massa berperanan sebatas memopulerkan citra diri seseorang, namun itu tidak cukup. Sebuah pandangan sinis menyatakan bahwa seorang tokoh atau seorang pemimpin (elit) tidaklah lahir dari iklan, namun dari pergaulan social yang berkualitas dengan massa rakyat.
Sedangkan Mochtar Pabottingi (1993) menguraikan dalam prosesnya komunikasi politik sering mengalami empat distorsi. Pertama, distorsi bahasa sebagai topeng. Ia memberikan contohnya dengan melihat bagaimana orang mengatakan alis “bagai semut beriring” atau bibir “bak delima merekah”. Uraian itu menunjukkan sebuah euphemisme. Oleh sebab itulah, bahasa yang menampilkan sesuatu lain dari yang dimaksudkan atau berbeda dengan situasi sebenarnya, bisa disebut seperti diungkapkan Ben Anderson (1966), “bahasa topeng”. Kedua, distorsi bahasa sebagai proyek lupa. Manusia makhluk yang memang pelupa. Namun demikian dalam konteks politik kita membicarakan lupa sebagai sesuatu yang dimanipulasikan. Ternyata seperti diulas Pabottinggi, “lupa dapat diciptakan dan direncanakan bukan hanya atas satu orang, melainkan atas puluhan bahkan ratusan juta orang”. Selanjutnya Pabottinggi membuat pendapat lebih jauh bahwa dengan mengalihkan perhatian seorang atau ratusan juta orang, maka massa bisa lupa. Bahkan lupa bisa diperpanjang selama dikehendaki manipulator. Di sini tampak distorsi komunikasi ini bisa parah jika sebuah rejim menghendaki rakyatnya melupakan sejarah atau membuat sejarah sendiri untuk melupakan sejarah pemerintahan sebelumnya. Distorsi ketiga adalah, distorsi bahasa sebagai representasi. Jika dalam distorsi topeng keadaan sebenarnya ditutupi dan dalam distorsi lupa berbicara soal pengalihan sesuatu, maka distorsi ketiga ini terjadi bila kita melukiskan sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Dalam literatur diplomasi, lazim dikenal: “katakanlah sejujurnya namun jangan apa adanya”. Yang terakhir adalah distorsi bahasa sebagai ideologi. Distorsi keempat inilah yang paling berbahaya. Sedikitnya dua alasan mengapa distorsi ideologi itu rawan. Pertama, setiap ideologi pada dasarnya memang sudah bersifat distortif. Kedua, distorsi ideologi sangat lihai menggunakan ketiga jenis distorsi lainnya.

Mengenali Elit Sebagai Komunikator dan Negosiator

Dari sisi kepentingan partai politik, komunikasi politik melibatkan aktivitas politik dengan sesama partai politik, kelompok lain di parlemen (komisi, fraksi, dsb) maupun dengan organisasi sosial dan tokoh masyarakat dan masyarakat luas (calon pemilih). Ini semua diperlukan untuk dipahami oleh elit politik dan elit partai. Elit politik sebagai bagian dari pemerintah harus memiliki hubungan yang harmonis dan dinamis dengan kelompok massa, karena dengan terwujudnya hubungan yang harmonis dan dinamis maka komunikasi antara elit politik dengan khalayak (rakyat) dapat berjalan lancar sehingga kebijakan yang akan dikeluarkan oleh elit politik tidak akan merugikan masyarakat (rakyat).

Komunikasi politik melibatkan para elit baik sebagai komunikator maupun komunikan. Dan komunikasi politik dari partai politik banyak berhubungan dengan para elit baik elit politik maupun elit sosial (termasuk elit agama). Maka untuk mendukung komunikasi politik yang efektif, perlu mengenali karakteristik elit lebih dahulu, untuk mempermudah pengenalan formulasi negosiasi yang efektif. Dalam pengenalan karakteristik elit ini, pemikiran Gaetano Mosca menarik untuk disimak. Mosca menyatakan bahwa elit berusaha bukan hanya mengangkat dirinya sendiri di atas anggota masyarakat lainnya, tetapi juga mempertahankan statusnya terhadap massa dibawahnya, melalui para “sub-elit” yang terdiri dari kelompok besar dari seluruh kelompok menengah yang baru, aparatur pemerintahan,  administrator lainnya, termasuk ilmuwan dan kaum intelektual. Ia juga membuat klasifikasi elit politik dalam dua golongan yaitu pertama, elit politik yang memerintah yang terlibat secara langsung dan tidak langsung dalam pemerintahan; dan kedua, elit yang tidak memerintah yang merupakan sisa yang besar dari seluruh elit. Kedua elit tersebut masing-masing memiliki kepentingan yang berbeda dalam usaha mereka menguasai dan mempengaruhi massa.

Analisis Situasi Elit Sebagai Aktor Utama Komunikasi Politik dan Negosiasi

Tipe-tipe elit dalam berkomunikasi disesuaikan dengan sistem politik yang dianut oleh negara dimana elit tersebut berada. Untuk Indonesia paling tidak kita sedikit mempunyai gambaran atau paling tidak sudah meraba-raba seperti apa tipe elit yang memimpin Indonesia. Dengan pola seperti itu, akan terlihat bagaimana proses komunikasi politik berlangsung, baik proses komunikasi secara vertikal yakni antara masyarakat dengan elit politik mapun proses komunikasi secara horisontal yakni antara elit politik dengan elit politik yang berada dalam struktur politik. Oleh karena banyaknya tipe-tipe elit yang memimpin suatu pemerintahan, maka juga akan berpengaruh pada bagaimana para elit politik menyampaikan pesan pada khalayak (rakyat) sebagai kelompok mayoritas dalam kata lain bagaimana komunikasi antara elit dan massa.

Analisis Situasi 1: Elit Politik dalam Sistem Komunikasi Politik di Indonesia

Sistem komunikasi politik kita secara vertikal terdiri dari elit politik, media massa dan masyarakat; masing-masing merupakan subsistem yang berfungsi selaku sumber (komunikator), saluran dan khalayak penerima (komunikan). Dan suatu proses yang dikenal sebagai umpan balik (feed back). Di negara – negara totaliter dengan pola komunikasi satu kepada semua, proses komunikasi politik berlangsung dimana elit politik sebagai sumber pesan-pesan politik (komunikator politik) yang berada pada posisi aktif, sementara media massa sebagai saluran bagi setiap pesan politik dan masyarakat sebagai khalayak penerima pesan yang berada pada posisi pasif. Pesan-pesan/ informasi politik secara berkesinambungan datang dari elit politik dari media massa dan masyarakat, secara mutlak harus mentaati dan menerimanya. Dengan demikian proses komunikasi berlangsung dari atas ke bawah. Proses umpan balik juga ada yakni dalam bentuk persetujuan (semu) masyarakat terhadap apa yang datang dari atas. Sedangkan pesan maupun informasi politik hampir sepenuhnya bersifat agitatif dan propaganda. Jadi para elit politik itu bertindak sebagai agitator dan propagandis, sedangkan media massa berfungsi sebagai sarana propaganda politik. Sebagai komunikator, elit politik mengerahkan pengaruhnya ke dua arah yaitu menentukan alokasi ganjaran (imbalan dan hukuman, atau reward and punishment) dan mengubah atau mencegah perubahan struktur sosial/ politik yang ada.

Sedangkan pada negara demokratis dengan pola komunikasi satu kepada satu, proses komunikasi berlangsung secara vertikal dan horisontal. Di Indonesia, pola komunikasi satu kepada yang satu lainnya hanya berlangsung pada situasi-situasi tertentu dan relatif masih berlangsung antara elit politik dengan anggota masyarakat, elit dengan elit yang lain secara individual maupun kelompok, serta antar masyarakat dengan masyarakat lainnya secara individual maupun kelompok. Secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan politik masih didominasi elit politik. Selain itu media massa tidak bisa memanfaatkan sedikit kebebasan yang dimilikinya tetap untuk menangkap dan meyebarkan pembicaraan politik tersebut.

Analisis Situasi 2: Peran Elit Politik dalam Komunikasi Politik Indonesia

Elit politik dalam komunikasi politik memiliki peranan yang dominan, terutama yang menyangkut pada propaganda politik. Pesan-pesan politik dibuat atau direkayasa sedemikian rupa untuk membentuk opini masyarakat. Beberapa bentuk perekayasaan opini masyarakat misalnya; kasus kebulatan tekad, masalah suksesi, keterbukaan, demokrasi, rekruitmen politik dan retorika-retorika politik lainnya yang berbau propaganda. Peranan lain elit politik sebagai komunikator politik adalah sebagai usaha transformasi politik serta kedudukan media massa sebagai sarananya sangat menentukan kelangsungan proses komunikasi politik yang ada sehingga stabilitas politik dapat terwujud karena pada negara yang sedang berkembang seperti  Indonesia yang sasaran pembangunannya dibidang politik, stabilitas ekonomi dan politik merupakan suatu kebutuhan mutlak.
Oleh karena masih lemahnya peranan masyarakat sebagai sumber informasi politik dalam bentuk aspirasi-aspirasi politik, keengganan politik dari para elite politik untuk mendengarkan dan menerima aspirasi-aspirasi masyarakat mengakibatkan kebijakan yang diambil oleh elit politik tidak memihak pada masyarakat. Oleh sebab itu hal ini harus diakhiri demi terwujudnya komunikasi yang berkembang secara sehat dan dinamis. Keengganan elit politik untuk mendengarkan aspirasi masyarakat menyebabkan elit politik tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya sebagai komunikator politik. Hal ini di karenakan elit politik juga memiliki posisi strategis dalam pemerintahan, ada pemikiran yang muncul di kalangan elit politik apabila mendengarkan aspirasi masyarakat akan mengakibatkan posisi birokratnya menjadi terancam. Elit politik berada dalam keadaan dilematis, apabila ia menerima aspirasi masyarakat sementara ia tidak sanggup melakukan koreksi dan penyesuaian terhadap kebijakan yang dikeluarkan oleh atasan mengakibatkan elit politik bersikap mendua alias “bunglon” terhadap suatu kebijakan yang dibuat atasannya dan terhadap aspirasi masyarakat yang ia terima. Dalam posisi tersebut bukan berarti elit politik tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya dengan baik, itu bisa saja terwujud asalkan ada beberapa faktor yang memungkinkan elit politik untuk berperan, antara lain:
  1. Adanya iklim politik yang terbuka dan demokratis. Sehingga memberikan rasa sejuk dan aman untuk melakukan tugas dan kepemimpinan.
  2. Adanya peraturan dan kebijakan politik yang memungkinkan elite politik bisa menciptakan dan mengembangkan gagasan, prakarsa, dan kreativitas masyarakat.
  3. Adanya dukungan dan antisipasi masyarakat terhadap kebijakan dan peluang yang diberikan oleh pemerintah berupa pengembangan kualitas diri dan profesional.

Mengenali Masyarakat Sebagai Komunikan (“Lawan” Negosiasi)

Jika kita coba klasifikasikan rakyat (masyarakat pemilih), maka akan lahir sedikitnya tiga kategorisasi berdasarkan wilayah dan dua kelompok berdasarkan konsep Clifford Geertz. Berdasarkan daerah akan tampak wilayah desa, wilayah transisi dan wilayah perkotaan. Pemilih di desa memiliki karakteristik tertentu seperti agamis, berfikir sederhana, setia kepada tokoh lokal dan berbicara sederhana mengenai kebutuhan dalam masyarakatnya.Sedangkan pemilih kota lebih kritis, rasional, pragmatis dan kadang-kadang apatis. Kalau konsep Geertz itu dijadikan sebuah cara meraba alam pikiran pemilih, barangkali secara antropologis memang ada yang santri dalam arti mendalami Islam serta melaksanakannya. Di samping itu ada pula kelompok masyarakat yang pengetahuannya tidak begitu mendalam atau terpengaruh oleh ajaran lain sehingga pendalamannya kurang. Akibatnya, timbul sikap-sikap yang cenderung tidak dekat dengan Islam atau bahkan mungkin bertentangan. Pakar komunikasi Dan Nimmo (1989) melukiskan lebih jauh lagi tentang pemilih ditinjau dari perspektif orientasi komunikasinya. Pemberi suara pertama ia kategorikan sebagai pemilih yang rasional. Ciri-cirinya antara lain, selalu mengambil putusan bila dihadapkan pada alternatif, memilih alternatif dan menyusun alternatif. Kelompok pemilih kedua, pemberi suara yang reaktif. Mereka biasanya memilih berdasarkan karakter yang sudah ia miliki apakah itu agama, sosio-ekonomi dan tempat tinggal. Ia hanya mereaksi terhadap kampanye yang dibawakan partai. Selanjutnya Dan Nimmo menggolongkan para pemilih dalam kategori ketiga yakni pemberi suara yang responsif. Ia mengutip ilmuwan politik Gerald Pomper yang menggambarkan karakter pemilih seperti itu. Menurut dia, jika pemilih reaktif itu tetap, stabil dan kekal maka karakter pemilih responsif adalah impermanen, berubah, mengikuti waktu, peristiwa politik dan pengaruh yang berubah-ubah terhadap pilihan para pemberi suara.

Kelompok terakhir adalah pemberi suara yang aktif. Individu yang aktif, kata Dan Nimmo, menghadapi dunia yang harus diinterpretasikan dan diberi makna untuk bertindak, bukan hanya lingkungan pilihan yang telah diatur sebelumnya. Tampaknya golongan ini kecil sekali dan diantaranya mungkin para aktivis partai itu sendiri, keluarga, kerabat dan sahabatnya. Di sinilah kepiawaian partai dituntut. Mereka harus mampu mengidentifikasi kebutuhan masyarakat yang dihadapinya sehingga mampu memberikan solusi bagi kemajuan mereka. Partai tidak hanya membela basis ideologis dan program perjuangannya tapi lebih penting lagi bisa memberdayakan masyarakat yang jadi pemilihnya. Peluang bagi partai-partai baru, mereka berpeluang menjadi partai yang jadi panutan, tidak hanya tokoh-tokoh puncaknya tapi juga aktivis yang langsung terjun ke masyarakat. Dalam kaitan dengan krisis ekonomi belakangan ini, partai politik dituntut untuk memberikan solusi realitis bagi masyakarat. Kehadiran partai yang solusional merupakan bentuk komunikasi politik dan negosiasi yang efektif. Sejalan dengan ini Pabottingi menyarankan bagaimana agar komunikasi politik itu bisa berlangsung dewasa. Pertama, berpikir secara multiparadigma. Kedua, menyadari adanya ruang-ruang permasalahan politik dimana perbedaan pandangan akan selalu ada. Ketiga, harus saling memandang tanpa finalitas penilaian. Tiga pendekatan itu tampaknya relevan dengan keterlibatan banyak partai dalam menyongsong pemilu mendatang (2019). Dengan kata lain inklusifisme, sebagai warga Indonesia (one nation) harus disertakan dalam paradigma berpikir.

Negosiasi Dalam Bingkai Komunikasi Politik
Negosiasi (politik) adalah komunikasi untuk meyakinkan lawan agar memenuhi keinginan komunikator (negosiator). Strategi yang efektif untuk meyakinkan lawan bahwa misinya adalah hal rasional dan untuk kepentingan semua adalah dengan berpijak pada dasar komunikasi politik dan mengenali kondisi lawan. Karenanya, perlu ”packaging” terhadap pesan yang hendak disampaikan dan harus jelas pula sasarannya. Packaging disini maksudnya bagaimana kebijakan politik negosiator itu mampu disampaikan kepada lawan dengan isi, medium dan kredibilitas dan public trust yang dibutuhkan.

Memformulasikan Negosiasi Efektif
Negosiasi adalah proses komunikasi antara dua orang atau lebih, sebuah pertandingan, kompromi, upaya menekan kuasa, proses yang berjalan kompleks dan berimbang. Ia , adalah cara untuk mendapatkan yang diinginkan.  Negosiasi tidak diperlukan manakala, pertama, persetujuan atau kesepakatan bukanlah tujuan yang ingin dicapai oleh para pihak. Kedua, Salah satu atau kedua belah pihak berniat untuk merugikan atau menghancurkan pihak lain satu pihak mempunyai kekuasaan yang terbatas atau tidak mempunyai kekuasaan sama sekali untuk mewakili kelompoknya dalam negosiasi (Arbono Lasmahadi, 2005). Dalam negosiasi, terdapat kemungkinan (1) Kedua belah pihak berada pada posisi yang sama-sama kalah (lose-lose solution); (2) Ada pihak yang menang dan saat yang bersamaan ada pihak yang kalah situasi ini disebut jalan keluar kalah-menang (win-lose solution); (3) Kedua belah pihak sama-sama mendapatkan keuntungan (seri) namun tujuan dan kepentingannya bersifat terbatas (limited win-win solution); (4) Kedua belah pihak sama-sama mendapatkan tujuan dan kepentingan. Jalan keluar ini biasa disebut menang-menang (win-win solution). Secara umum ada 2 model negosiasi yaitu:
  1. Negosiasi kompetitif, yakni untuk menang sebesar-besarnya, untuk kepentingan sendiri, terkait kekuasaan, dicirikan dengan upaya untuk memenangkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan orang lain. Negosiasi model ini juga kerap disebut sebagai model negosiasi distributif karena berbagai macam kepentingan dari para pihak berusaha untuk didapatkan sebesar besarnya, sekalipun pihak lain hanya menerima bagian yang sedikit jumlahnya. Model negosiasi ini lebih merepresentasikan negosiasi kepentingan kepentingan yang terkait dengan kekuasaan. Sejumlah perilaku yang mengindikasikan model negosiasi kompetitif adalah sebagai berikut:
-       Debat tawar menawar. Para pihak dalam hal ini selalu berdebat untuk mempertahankan kepentingannya sehingga tidak bisa beranjak dari posisinya sebagai pihak yang mendebat lawan.
-       Terdapat pengajuan ancaman dan tekanan. Perundingan dilakukan dengan memprediksi konsekuensi konsekuensi buruk akibat perundingan sehingga memberikan ancaman ancaman dan tekanan saat perundingan berlangsung.
-       Akomodatif. Perundingan dilakukan dengan menerima pihak lain, tetapi dengan syarat tertentu atau menerima pihak lain dengan syarat syarat tertentu pula.

  1. Negosiasi kolaboratif, berciri kerjasama, mencari kesamaan kepentingan/tujuan, berpikir positif dan kreatif. Negosiasi kolaboratif menekankan pada aspek kerjasama atau kooperatif perundingan. Dalam model ini peserta perundingan berusaha memperbanyak peluang kerjasama memperluas kesamaan kesamaan kepentingan secara bersama sama. Sejumlah perilaku yang mengindikasikan model negosiasi kolaboratif antara lain adalah sebagai berikut:
-       Para pihak berusaha menemukan alternatif alternatif penyelesaian akhir (kesepakatan).
-       Debat dilakukan untuk menyelesaikan masalah, meminta penjelasan, klarifikasi, mengajukan pendapat dan mengakui posisi posisi pihak lain.
-       Para pihak berpikir positif dan kreatif, serta berusaha memberikan informasi tentang masalah yang dipersoalkan.
-       Selain itu para pihak juga mengidentifikasi masalah masalah untuk diselesaikan secara adil dan menerima usulan usulan pihak pihak yang berunding untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

Langkah-langkah Negosiasi
-  Persiapan negosiasi
-  Mengindetifikasi evaluasi alternatif
-  Mengidentifikasi kepentingan
-  Membuka negosiasi
-  Memulai proses negosiasi
-  Mengetahui zone tawar-menawar
-  Menciptakan kesepakatan yang saling menguntungkan
-  Membangun kesepakatan dan menutup negosiasi

Trik Negosiasi
  1. Jika pihak lawan lebih kuat: BATNA (Best Alternative to a Negotiate Agreement/Alternatif Terbaik Dalam Menghasilkan Persetujuan). Kreatif mencari pilihan-pilihan alternatif
  2. Jika pihak lawan tidak mau menggunakan prinsip negosiasi: Melanjutkan negosiasi dengan menerapkan prinsip prinsip yang ada. Menerapkan pola ’jujitsu’ untuk membawa pihak lain kembali ke jalur negosiasi. Menoloak posisi tawar mereka. Memakai one-text approach, yaitu dengan menghadirkan pihak ketiga dalam perundingan.
  3. Jika pihak lawan menggunakan cara kotor/ curang: Mengungkapkan trik kotor dan curang yang diterapkan pihak lawan. Membakukan aturan main bersama dengan disertai sanksi.

Kesimpulan
  1. Komunikasi politik sebagai landasan negosiasi, perlu dirumuskan dengan tepat definisi dan targetnya, karena menentukan metode dan hasil negosiasinya.
  2. Komunikasi politik dan negosiasi yang efektif memperhatikan karakteristik lawan dan lingkungan (habitat) lawan.
Rekomendasi
  1. Elit partai politik sangat perlu memahami komunikasi politik dan negosiasi yang efektif.
  2. Partai politik perlu mengenali karakter masyarakatnya agar dapat merumuskan langkah komunikasi politik dan negosiasi yang efektif.

Referensi
Kuswandoro, Wawan E. Demokrasi Lokal. Surabaya: Insecs Publishing, 2008.
___________________. Negotiation and Lobbying Skills. Hand-out Pelatihan, 2012.
___________________. Komunikasi Politik: Tantangan Bagi Partai Politik. Materi Pelatihan Komunikasi Politik Partai Politik, Institute for Social Education and Cultural Studies, 2008.
Muhammad, Arni. Komunikasi, Jakarta: Bumi Aksara, 1992.
Pabottingi, Mochtar, “Komunikasi Politik dan Transformasi Ilmu Politik” dalam Indonesia dan Komunikasi Politik, Maswadi Rauf dan Mappa Nasrun (eds). Jakarta: Gramedia, 1993.
__________________________
Bacaan lain:
Bagaimana Partai Politik Melakukan “PDKT” Pada Masyarakat Calon Pemilih?
Bagaimana Partai Politik Memenangi Hati Masyarakat Pemilih?
Bagaimana Menjadikan Pemilih Labil (Swing Voters) Menjadi Pemilih Setia?
Mengenal Masyarakat Pemilih
Mengelola Partai Politik Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah
Menakar Kemampuan Elektoral Partai Politik Pasca Pemilu Legislatif 2014
Menakar Daya Survivalitas Partai Politik
Mengenal Pelembagaan Partai Politik
Adakah Partai Politik di Indonesia?
Mendesain Pembangunan Politik Berbasis Partai Politik Sehat: Sebuah Gagasan Utopis?

No comments:

Post a Comment