Monday, November 2, 2015

Fenomenologi Husserlian

Fenomenologi Husserlian

Teori fenomenologi ini digunakan mengiringi teori Konstruksi Sosial Atas Realitas (Social Construction of Reality) yang bersifat “netral” karena berbasis pengetahuan dan konstruksi subjek, untuk lebih memberikan acuan pemikiran netral dan natural untuk menjembatani secara metodik dalam hal menjelaskan fenomena sosial. Fenomenologi sesuai untuk menjelaskan fenomena ini karena, pertama, diperlukan pendekatan yang naturalis terkait penjelasan atas fenomena, yang berarti bahwa objek-objek bersifat independen dari subjek pengetahuan dan memiliki hukum-hukumnya secara objektif di luar kesadaran[1]. Naturalisme objek diperlukan dalam pengamatan untuk memahami fenomena secara apa adanya. Kedua, bahwa objek tersebut menyimpan makna yang dapat memberitahu kita secara apa adanya atau sebagai objek itu sendiri (back to the things themselves)[2]  tanpa adanya prasangka atau prakondisi atau prakonsepsi dari pengamat atau peneliti sehingga bisa mengganggu keaslian makna yang hendak dipancarkan oleh fenomena tersebut. Kedua anasir tersebut merupakan ciri khas fenomenologi yang diperkenalkan oleh Edmund Husserl. 



Selanjutnya, pemaknaan objek atau sesuatu sebagai sesuatu itu sendiri, membentuk relasi eksistensi diri dengan realitas-dunia (life-world) yang dari sini menggugah kapasitas kesadaran peneliti untuk mampu memaknai fenomena. Cara pandang fenomenologi adalah membaca fenomena sebagaimana adanya “genuine”, atau, dalam pengalaman keseharian yang memiliki makna kontributif dengan karakter kedalaman yang unik dan khas[3], sehingga fenomena itu memberitahu kepada peneliti tentang dirinya (menyingkap) dengan tanpa prasangka[4], atau yang disebut Husserl “vorfinden” (to find before oneself)[5].

Fenomenologi, sebagaimana dikenalkan oleh Edmund Husserl, merupakan gerakan pemikiran filsafat (cara berpikir) untuk memahami fenomena (penampakan)[6], yang kemudian, dari gerakan filsafat, fenomenologi dapat dimaknai sebagai sebuah teori dan juga metode. Hal ini dapat dirunut dari pernyataan Husserl, bahwa hal yang paling penting adalah  mengembangkan suatu metode yang akurat sehingga mampu mendorong para filsuf dan ilmuwan untuk mencapai “sesuatu itu sendiri” (things themselves)[7]. Dan, “sesuatu itu sendiri” itu tak lain adalah dasar-dasar pengertian tentang “fenomena”, yang dimulai dengan pemahaman terhadap “dunia kehidupan yang secara langsung kita alami” atau yang oleh Husserl disebut “lebenswelt”. Pemahaman terhadap lebenswelt ini diperoleh dengan metode “reduksi” dan memahami karakter dasar kesadaran yaitu “intensionalitas” dan “intersubjektivitas”[8]. Sebelum melanjutkan jabaran tentang fenomenologi Husserlian perlu dideskripsikan tentang “fenomena”. Selanjutnya, bahasan fenomenologi lebih mengemukakan fenomenologi sebagai teori dan metode. Fenomena, berasal dari kata dalam bahasa Yunani, phainomenon (phainomai, menampakkan diri), sehingga fenomenologi adalah ilmu tentang apa yang menampakkan diri ke pengalaman subjek[9].

Fenomena, berarti segala sesuatu yang menyingkapkan-diri atau sesuatu yang memberikan-dirinya dalam ketersingkapannya yang khusus[10]. Maka, fenomenologi, adalah metode untuk menangkap fenomena, atau metode untuk melihat segala sesuatu yang memberikan-dirinya (self-given) menurut cara keterberiannya masing-masing yang khas dan singular/ perspectival (its manner of givenness).  Kuncinya, terletak pada: cara-bagaimana sesuatu itu memberikan-dirinya/ menyingkapkan-dirinya; atau dengan kata lain: cara-berada dari sesuatu [11]. Lantas, bagaimana “sesuatu” itu dapat memberikan-dirinya menurut cara keterberiannya masing-masing, atau secara “apa adanya”, sehingga “sesuatu” itu “mewujud” atau “meng-ada” (being)? Supaya “sesuatu” (fenomena) itu dapat   memberikan-dirinya apa adanya tanpa ada prasangka, pra-konsepsi yang mencemari “wujud keasliannya”, maka fenomenologi Husserlian memberikan cara yakni menangguhkan atau “menempatkan di dalam kurung” segala konstruksi pengetahuan yang melekat dalam cara berpikir kita dan selalu kita andaikan tentang sesuatu itu, untuk kemudian dari titik tanpa pengandaian (presuppositionless) itu kita dapat melihat sesuatu itu sebagai sesuatu itu sendiri, bukan konstruksi pengetahuan kita tentang sesuatu itu. Metode ini oleh Husserl disebut “epoche”[12]. Di sini, fenomenologi hendak memprovokasi kesadaran kita dengan memalingkan pengamatan dari dunia-keseharian yang artifisial, kembali kepada dunia-kehidupan yang mendasar, fundamental dan transendental[13].

Prinsip fenomenologi Husserl adalah pada kemampuan manusia untuk memaknai hidupnya dengan bersikap tepat di hadapan realitas[14]. Dan, realitas itu bersifat transenden, artinya melampaui daya jangkau persepsi dan pemahaman manusia, atau bersifat tidak terbatas. Sifat transenden realitas ini membuat dunia-kehidupan (lebenswelt) selalu memberikan kemungkinan pemaknaan yang tidak terbatas[15]. Inter-relasi sosial dalam fenomenologi dimaknai sebagai perjumpaan antar subjektivitas yang masing-masing aktor membawa subjektivitasnya masing-masing atau kesadarannya masing-masing, dalam intensional yang sama. Bentuk cara-berada (meng-ada) atau relasi intensional di antara subjek yang sama sekaligus berbeda, relasi timbal balik yang melaluinya tidak lagi terdapat perbedaan antara subjek-objek, yang oleh Husserl dinamakan “intersubjektivitas”. Relasi intersubjektivitas ini merupakan dasar pemahaman terhadap dunia. Ia mengkonstitusikan pemahaman kita dalam horizon pra-refleksivitas yang tidak terbatas[16]. Intersubjektivitas yang terjadi dalam temporalitas tertentu ini memicu kesadaran dan melampaui kesadaran diri sendiri secara intensif yang tidak memiliki cukup akses sehingga memunculkan “kesadaran lain”, dan orang lain (The Others) dan “subjektivitas yang asing” yang kemudian mewujud menjadi “sumber dari segala jenis realitas transenden lainnya”. Hal ini mentransformasi seluruh kategori pemahaman dan pengalaman kita akan realitas. Intersubjektivitas ini melahirkan penegasan diri, yang oleh Husserl disebut “ego-transendental”, yang merupakan momen refleksi diri personal. Inilah rasionalitas kesadaran. Ia sebenarnya tidak benar-benar rasional objektif, tetapi mengandaikan berbagai hal yang tidak disadari[17]. Kekuatan kesadaran manusia terletak pada daya kapasitas / daya aktif-agresif yang dimilikinya[18].

Kesadaran inilah yang menjadi proyek besar fenomenologi. Kesadaran muncul dari relasi intensional yang memberi makna pada “lebenswelt” (life-world) tempat manusia hidup dengan segala pengalaman hidup dan perasaannya, merupakan momen-afeksi atau kepedulian yang memperlihatkan keterlibatan atau cara-berada (meng-ada) kita yang mendasar dengan realitas atau yang dalam bahasa fenomenologi disebut sebagai “ada-di-dalam-dunia” (being-in-the-world). Momen-afeksi atau kepedulian atau kesadaran ini adalah penghayatan hidup (vivacity), yakni menghayati bahwa sesuatu itu dipahami sebagai sesuatu itu sendiri; atau membiarkan peristiwa itu bercerita kepada kita apa adanya dan memberikan kesadaran kepada kita tentangnya hingga mencapai “ego-transendental” dan bahkan “kesadaran yang lain”. Inilah sebabnya  analisis fenomenologi selalu mengambil posisi atau “perspektif orang pertama” (first person perspective)[19], karena seluruh pengalaman dan pemahaman akan realitas dimungkinkan dari diri sendiri dan refleksi diri.

Momen-afeksi dan penegasan diri yang muncul dalam “first person perspective” ini bagi fenomenologi menjadi awal dari seluruh aktivitas budaya dan kebudayaan. Dengan menegaskan-diri manusia menjadi dirinya sendiri, dan dengan menjadi dirinya sendiri manusia “merawat jiwanya”, merawat dunianya, sesamanya (otentisitas)[20]. Rumusan “merawat jiwa” ini mendapat tempat tersendiri dalam kajian fenomenologi Patocka, seorang penganut fenomenologi Husserlian, yang menganggap problem “penyingkapan-diri”  atau “pemberian-diri” sebagai sesuatu yang bermakna (showing in itself). Bagi Patocka, penegasan-diri, penyingkapan-diri selalu memuat dimensinya yang mendua/ ganda (double meanings), yang mana kemenduaan atau kegandaan cara-berada manusia ini karena digerakkan oleh suatu gerak di dalam dirinya. Gerak yang menggerakkan itu (auto-kineton) tidak lain adalah jiwa (soul). Bagi Patocka kekhasan jiwa telah menetapkan dasar bagi seluruh peradaban manusia berikutnya[21]. Gerak mendua jiwa ini dalam pembacaan Patocka berasal dari sifat alamiah jiwa itu sendiri, dan dalam jawaban untuk bertanggungjawab atas jiwanya, atas sesamanya dan atas dunianya, dan dalam jawaban itulah terletak inti kebebasan manusia[22]. Politik (polis), dalam pembacaan Patocka, adalah sebuah wilayah yang di dalamnya jiwa manusia memberikan-diri melalui berbagai caranya yang beragam (self-given in its varieties of manner of givenness).

Sedangkan para fenomenolog lain seperti Mead dan Schutz  berasumsi bahwa dunia kehidupan adalah dunia kehidupan sehari-hari, lingkungan total pengalaman individu, yang mau tidak mau adalah ditentukan secara biografis. Dunia telah ditentukan apa adanya yang di dalamnya para individu berupaya merealisasikan sasaran sasaran obyektif. Husserl dan Merleau Ponty menekankan adanya hubungan kesadaran antara subyek dan dunianya yang bersifat prarefleksi. Artinya mendahului segala refleksi dan kesadaran pada taraf eksistensi. Dalam bahasa Husserl yang lain disebut sebagai reduksi yakni kembali pada dunia pengalaman.

Pengalaman adalah tanah dimana dapat bertumbuh segala macam kebenaran, se-individual apapun dalam fenomenologi. Begitu pula dalam ilmu pengetahuan. Pengalaman pra ilmiah dan ilmu pengetahuan dapat lebih jelas kita lihat jika kita memahami paham-paham seperti ruang dan waktu. Ilmu pengetahuan hanya mengenal ruang obyektif atau geometris yang homogen dan bukannya ruang antropologis dimana kita sungguh-sungguh berada. Dimensi-dimensi ruang obyektif dapat diukur satu dengan lainnya secara eksakta namun bukan ruang yang sesungguhnya kita tempati. Ruang obyektif ini tidak lain adalah suatu obyektifikasi dari ruang yang kita hayati yakni ruang sesungguhnya (atau ruang antropologis), sehingga bagi ilmu pengetahuan, ruang yang abstrak adalah adalah ruang antropologis dimana kita berada sesungguhnya. Demikian pula waktu. Waktu geometris adalah waktu yang diukur dengan titik-titik dalam jam yang diputari jaum-jarumnya. Sedangkan waktu antropologis adalah waktu kehadiran sebagai subyek yang pada saat bersamaan masih menahan waktu lampau (retention)  dan mendahului masa depan (protention). Karenanya, fenomenologi melihat ilmu pengetahuan tidak bisa terlepas dari pengalaman pra ilmiah, meskipun seorang ilmuan melakukan obyektifikasi sebab realitas obyektif yang diandaikan dan diolah ilmu pengetahuan berdasar pada realitas alami sehari-hari.

Fenomenologi Husserl membawa agenda pertama, interaksi intersubjektif sebagai hal sentral pada konstitusi realitas sosial; kedua, menekankan resiprositas sebagai bangunan konstitusi dari intersubjektivitas. Dalam konteks ini individual dapat dilihat sebagai agen yang “mengonstitusi” atau terkonstitusi oleh” partisipasi mereka dalam komunitas di bawah batasan-batasan rekognisi timbal balik. Pandangan ini tidak bermakna atomistik, yang membiarkan identitas individual terkonstitusi secara intersubjektif, ia tetap individualistik hingga ia memasuki entitas kolektif. Pada level epistemologi, hal ini memunculkan dasar-dasar metodologi individualisme pada level normatif hal ini melahirkan tata sosial deliberatif dan legitimasi politik yang bersandar pada prinsip-prinsip moral resiprositas dan tanggungjawab yang setara.

Sebagai metode, fenomenologi telah dapat dikatakan sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan mengenai sifat-sifat alami kesadaran dan jenis-jenis khusus pengetahuan orang pertama, melalui bentuk-bentuk intuisi. Untuk ini Husserl menjelaskan bahwa fenomena adalah realitas yang esensi, dan pengamatan adalah aktivitas spiritual, sedangkan substansi adalah konkret yang menggambarkan isi dan struktur realitas dan bisa dijangkau. Metode fenomenologi dapat dirunut dari ajaran Husserl tentang epoche, intersubjektivitas, intensionalitas dan reduksi, yang kemudian dikembangkan dan disempurnakan oleh Schutz. Walaupun Husserl adalah orang pertama yang mengajarkan dan meletakkan dasar pemikiran fenomenologi secara filsafati dan teori, namun Schutz-lah sebagai penjembatan pemikiran Husserl secara metodik untuk mengoperasionalkan fenomenologi dalam penelitian ilmu sosial. Itulah sebabnya dalam pembahasan metodologi fenomenologi, Schutz mendapat prioritas yang utama. Selain itu, melalui Schutz-lah pemikiran-pemikiran Husserl yang dirasakan abstrak pada masa itu dimengerti. Schutz mengawali pemikirannya dengan mengatakan bahwa obyek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap realitas. Jadi sebagai peneliti sosial, kitapun harus membuat interpretasi terhadap realitas yang diamati. Orang-orang saling terikat satu sama lain ketika membuat interpretasi ini. Tugas peneliti sosial-lah untuk menjelaskan secara ilmiah proses ini.***

Bacaan lain:
 

No comments:

Post a Comment