Sunday, November 1, 2015

Perayaan Gerebek Besar di Lamongan

Tradisi Perayaan Gerebek Besar Di Lamongan Sebagai Perayaan Spiritual Dan Politik


Setiap Bulan Dzulhijjah khususnya malam tanggal 10 kalender Hijriyah  umat islam memperingati Hari Raya Idul Adha atau    masyarakat setempat menyebutnya Hari Raya Besar. Dan masyarakat Lamongan biasa menyelenggarakan Gerebek Besar dengan berarak-arakan keliling kota menabuh beduk sambil membaca takbir mengumandangkan kebesaran Tuhan. Ada rombongan berjalan kaki, ada yang naik sepeda, ada pula yang membawa mobil baik terbuka maupun tertutup. Pada kendaraan terbuka biasanya diisi pula dengan romongan pemusik tabuh-tabuhan seperti Bedug dan Rebana serta sound system atau pengeras suara. Kemeriahan tersebut tidak semata-mata merayakan idul adha namun juga merayakan hari jadi kota lamongan, yakni hari di mana seorang tokoh utusan Sunan Giri yang mengatur dan mengembangkan kota Lamongan di lantik menjadi Adipati pertama Kadipaten  Lamongan bergelar Rangga. Rangga Hadi dikenal juga sebagai Mbah Lamong.


I. PENDAHULUAN
 I.A.      DATA GEOGRAFIS, KLIMATOLOGIS, DAN KARAKTERISTIK WILAYAH DAN PENDUDUK
Letak geografis Kabupaten Lamongan berada antara 6 51`54” dan 7 23’ 6’’ lintang selatan dan antara 112 4’44’’ dan 112 33’12’’ garis bujur timur.[1]
Luas wilayah Kabupaten lamongan 1.812,8 km2 atau 181.280.300Ha, atau sama dengan 3,78% luas wilayah propinsi Jawa Timur. Sebagian wilayah terdiri atas dataran rendah dan bonorowo serta sebagian lagi dataran tinggi sekitar 100 m dari permukaan laut. Struktur tanah sebagian besar terdiri dari jenis alufial, grumosal, dan meditean coklat.
Batas-batas wilayah kabupaten lamongan antara lain:
  • Sebelah utara               : laut jawa
  • Sebelah timur              : Kabupaten Gresik
  • Sebelah barat               : Kabupaten Bojonegoro dan Tuban
  • Sebelah selatan            : Kabupaten Mojokerto dan
Jombang
Secara topografi, wilayah kabupaten lamongan cenderung cekung di tengah dan tinggi di bagian utara dan selatan. Wilayah kabupaten lamongan  yang kemiringan tanahnya lebih dari 15 derajat sekitar 6%. Sedangkan selebihnya adaah dataran dengan tingkat kemiringan kurang dari 15 derajat. Dengan kata lain, sekitar 70% luas wilayah mempunyai tingkat kemiringan 0-2 derajat dan cenderung landai.
Bila dilihat dari kondisi klimatologis, Kabupaten Lamongan terletak di bawah equator dan mempunyai iklim tropis yang terbagi dalam dua musim. Musim hujan mulai Oktober sampai dengan April dan musim kemarau April sampai Oktober. Diantara dua musim tersebut terdapat musim peralihan atau pancaroba yakni April/Mei dan Oktober/ Nopember.
Curah hujan di Kabupten Lamongan rata-rata lebih kurang 1.400 mm/tahun, sehingga Lamongan termasuk daerah yang bercurah hujan rendah.
Secara karakteristik, wilayah kabupaten lamongan di bedakan dalam tiga bagian:
  • Bagian tengah selatan merupakan daerah dataran rendah yang relative agak subur.  Bagian ini membentang dari kecamatan Kedungpring, Babat, Sugio, Sukodadi, Pucuk, Lamongan,Tikung, Deket, Sarirejo, dan Kembangbahu
  • Bagian selatan dan Utara merupakan pegunungan kapur berbatu dengan tingkat kesuburan tanah sedang. Bagian ini mulai dari Kecamatan Bluluk, Mantup, Sambeng, Ngimbang, Sukorame, Modo, Brondong, Paciran, dan Solokuro.
  • Bagian tengah utara merupakan wilayah bonorowo yang termasuk daerah rawan banjir. Bagian ini membentang mulai Kecamatan Sekaran, Maduran, Laren, Karanggeneng, Kaitengah, Turi, Karangbinangun, dan Glagah.

Jumlah penduduk Kabupaten Lamongan tahun 2004 adalah 1.244.812 jiwa dengan kepadatan rata-rata 676jiwa/km2 serta sebagian besar yakni 99,63% beragama islam. Sebagian besar bersuku jawa yang pada umumnya tinggal di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani dan buruh tani. Karena dulunya tantangan alam cukup berat, disisi lain lokasinya dekat dengan Surabaya, medorong terbentuknya lapisan masyarakat pedagang yang ulet, baik sebagai pedagang bakulan, makanan, industri kecil dan kerajinan maupun jasa masyarakat.[2]
Orang lamongan mempunyai semangat gotong royong dan etos kerja yang tinggi, bersifat terbuka, serta rela berkorban demi kepentingan orang banyak serta mempunyai toleransi tinggi  selalu memelihara kerukunan dalam suasana ketentraman dan kedamaian[3].
Secara administrative pemerintahan, Kabupaten  Lamongan terdiri dari 27 kecamatan, 12 kelurahan, dan 462 Desa.

I. B.     NAPAK TILAS SEJARAH KABUPATEN LAMONGAN
           
Dalam buku-buku sejarah Kabupaten Lamongan diyakini bahwa Kabupaten Lamongan memiliki sejarah kemasyarakatan yang sangat kuno semenjak pra sejarah. Hal ini dibuktikan dengan temuan benda-benda berupa kapak corong, candrasa dan gelang-gelang di Desa Mantup Kecamatan Mantup yang berarti wilayah Lamongan telah dihuni manusia sejak masa prasejarah. Bukti lainnya ditemukan nekara perunggu, manik-maik kaca, lempengan emas, benda-benda besi, gerabah, tulang binatang, dan lainnya yang diyakini sejarawan berasal dari masa perundagian di Desa Kradenanrejo Kecamatan Kedungpring.
Seiring dengan waktu pengaruh Hindu pun agaknya cukup luas. Arca Lingga dan Yoni ditemukan di wilayah Lamongan sebanyak 7 buah tersebar di wilayah Kecamatan Lamongan, Paciran, Modo, Sambeng,  Kembangbahu, dan Sugio. Sedangkan prasasti dari masa Majapahit sebanyak 43, 39 diantaranya diguris diatas batu dan yang 4 buah diguris di lempengan tembaga yang disimpan di Musium Nasional Jakarta. Sebaran prasasti tersebut adalah 2 buah di ngimbang, 2 buah di Mantup, 7 buah di Modo, 8 buah di Ngimbang, 9 buah di Sambeng, 6 buah di Bluluk, 2 buah di Sugio, 1buah di Deket, 1 buah di Turi, 1 buah di Sukodadi, 1 buah di Babat, 1 buah di Brondong, dan 2 buah di Paciran.[4] Diyakini pada abad XIV Lamongan ada pada wilayah kekuasaan Majapahit.
Pada masa perkembangan islam seiring dengan surutnya kerajaan Majapahit. Para penyebar agama islam diidentifikasi masyarakat sebagai para Wali yang berarti orang yang taat pada Alloh dan terpelihara dari maksiat.  Terkait dengan penyebar agama islam ini ditemukan sedikitnya 8 makam kuno antara lain:
  1. Makam Sunan Drajat di Desa Drajat Kecamatan Paciran.
  2. Makam Mbah Deket atau Sunan Lamongan di Desa deket Kecamtan Deket.
  3. Makam Mbah Lamong di Kota Lamongan yang oleh masyarakat diyakini sebagai makam Rangga Hadi.
  4. Makam Raden Nur Rahmat di Desa Sendang Duwur Kecamatan Paciran.
  5. Makam Pangeran Sedamargi di Mantup.
  6. Makam Panembahan Agung Singadipuro di Dusun Badu kecamatan Pucuk.
  7. Makam Mbah Barang di Desa Baturono Karangbinangun.
  8. Makam Mbah Santri di Tenggulun Paciran.
Namun diantara kedelapan tokoh yang makamnya di mulyakan masyarakat Lamongan tiga tokoh yang ajaran-ajaran beserta peninggalan-peninggalannya yang masih lekat dengan masyarakat Lamongan. Yakni Sunan Drajat, Raden Nur Rahmat, dan Mbah Lamong atau Rangga Hadi.

I. B. 1. Sunan Drajat
Penyebar islam yang paling terkenal di lamongan adalah Sunan Drajat yang termasuk dalam jajaran wali songo yang termasyhur di kalangan masyarakat islam jawa.  Bernama kecil Syarifudin atau Raden Qosim. Masyarakat juga mengenalnya dengan nama Masih Munat. Beliau Putra Sunan Ampel yang terkenal cerdas. Setelah menimba ilmu agama beliau mengambil desa Drajat Kecamatan paciran sebagai tempat tinggal dan pusat dakwah islam. Sunan drajat sangat memperhatikan kesejahteraan masyarakat sekitar dan memilih berdakwah dengan tindakan-tindakan sosial.
Ajarannya yang masih diingat secara turun temurun dan menjadi landasan filosofis perjuangannya adalah: “Menehono teken marang wong kang wuto, menehono mangan marang wong kang luwe, menehono busono marang wong kang wudo, menehono ngiyub marang wong kang kudanan” yang artinya “ berikan tongkat bagi orang yang buta, berikan makan bagi orang yang lapar, berikan pakaian bagi orang yang telanjang, dan berikan tempat berteduh bagi orang yang kehujanan”. Maknanya adalah supaya para pengikutnya sebagai pejuang agama agar memberikan sesuatu sesuai kondisi yang diberi. Memberi petunjuk bagi orang yang buta hati dan nalarnya, berusaha menyejahterakan rakyatnya yang miskin, mengajarkan kesusilaan kepada orang yang tak tahu malu, dan memberikan perlindungan kepada orang-orang yang menderita.
Sunan Drajat berafiliasi pada Demak dan memperoleh hak otonom atas wilayah Drajat serta memperoleh gelar Sunan mayang Madu dari Raden fatah, Sultan Demak I.
Peninggalan Sunan Drajat tersimpan rapi dalam Musium Sunan Drajat. Gamelan Singo Mengkok sekaligus menciptakan tembang macapat yakni tembang pangkur yang kepanjangan dari pangudi isine Qur`an atau memahami isi Al qur`an. Pangkur sendiri adalah bahasa jawa kuno yang berarti pejabat kerajaan yang bertugas mengawasi rakyat maupun pejabat kerajaan lain agar mentaati aturan kerajaan.  Memegang kendali perdikan  selama 36 tahun[5].

I. B. 2 Raden Nur Rahmat
            Disebelah barat Desa Drajat ada makam dan masjid peninggalan Raden Nur Rahmat, putra Raden Abdul Qohar, murid Sunan Drajat yang diambil menantu oleh tumenggung sedayu. Karenanya masyarakatnya mengenalnya sebagai Pangeran Sendang. Ia berusaha keras memisahkan wilayah utara lamongan tersebut dari kekuasaan Kalinyamat (Mantingan-Jepara). Usaha tersebut dilambangkan dalam cerita keberhasilan Raden Nur Rahmat memindahkan Masjid Kalinyamat ke desanya dalam satu malam, dan didirikan diatas bukit Amitunon.
Yang menarik dari masjid tersebut adalah bentuk kepala barong yang disimpan di atas langit-langit di bawah puncak atau mustaka masjid.  Benda tersebut hanya diperlihatkan pada saat hari raya kupatan atau enam hari sesudah idul fitri. Bentuk serupa tersebut juga terdapat di Musium Radyapustaka Surakarta. Diduga bentuk kepala barong itu berasal dari ujung haluan perahu yang mengangkut masjid tersebut dari Mantingan Jepara.

I. B.3 Rangga Hadi
            Keberadaan Rangga Hadi di Lamongan adalah wujud eksistensi Kesunanan Giri sebagai penguasa politik dan panutan spiritual yang mengatur tata pemerintahan di Lamongan. Ia mendapatkan gelar Rangga dari Sunan Giri II dalam perjalanannya yang kedua mencari tempat bernama kenduruan. Selengkapnya adalah sebagai berikut.
Setelah wafatnya  Raden Ainul Yakin, Sunan Giri I pada tahun 1506 tugas kesunanan di lanjutkan Sunan Dalem yang bergelar Sunan Giri II.  Ialah yang menugaskan muridnya yang bernama Hadi disamping untuk menyebar luaskan agama islam juga untuk menyusun masyarakat dan pemerintahan yang bersendikan ajaran islam. Hadi disertai rombongan pengawal, pembantu, dan perbekalan secukupnya.

Rombongan tersebut menyusuri kali lamong, sebuah sungai yang cukup besar, yang bersumber di gunung pandan dan bermuara di laut Gresik disebelah selatan Kesunanan Giri, yang sekarang bernama Desa Segoromadu. Hadi mengingat pesan Sunan Giri agar datang dan bermukim di suatu tempat yang berbentuk “kali gunting” atau sungainya bercabang dua yang bernama Kenduruan. Karenanya ketika rombongan berlayar ini jalur purbakala Majapahit-Tuban sampailah di lereng Kendeng yang letaknya agak berada di ketinggian. Disitu telah berdiri Kampung yang pada malam hari menghembuskan aroma harum bunga-buangaan karenanya daerah tersebut dinamai Puncakwangi. Sampai sekarang tetap bernama desa Puncakwangi di Kecamatan Babat.  Disebelah utaranya terdapat sungai bercabang yang sekarang terkenal sebagai Bengawan Solo dengan percabangan sungainya yang sekarang sudah tidak ada lagi.  Karenanya Rangga Hadi dan rombongannya mengira telah sampai di tempat yang dimaksudkan oleh Sunan Giri.  Mereka kemudian menetap di sana, menjalankan tugas menyebarluaskan ajaran islam, menyusun masyarakat dan pemerintahan bersendi agama islam, serta membangun pemukiman baru membabat alas yang dinamai Babat. Saat ini menjadi Kelurahan babat, ibukota Kecamatan Babat.
Lambat laun perkampungan baru tersebut berkembang pesat dan menjadi ramai. Susunan pemerintahan dan masyarakatnya tertata dengan baik dan teratur. Masjid-masjid dan langgar-langgar mengumandangkan dakwah islam.  Kesulitan-kesulitan ditangani dengan ulet dan sungguh-sungguh. Pedagang-pedagang dari daerah selatan (Ploso, Bluluk, Modo), dari daerah Barat (Rajekwesi, Baureno), dan dari daerah utara  (Tuban, Palang), berdatangan di tempat pemukiman baru baik lewat darat maupun sungai.

Hal penting yang dilupakan Hadi adalah melaporkan setiap perkembangan wilayah baru tersebut pada Sunan Giri. Sampai akhirnya datanglah utusan Sunan Giri yang memerintahkan Hadi mempertanggung jawabkan hasil-hasil perintah Sunan Giri. Ternyata setelah melapor, Sunan Giri tidak menyetujui wilayah Babat sebagai kaligunting yang dimaksud Sunan Giri. Namun demikian Sunan Giri menghargai hasil karya Hadi dan berpesan bahwa tempat yang sudah dikembangkan tersebut tidak akan dilupakan karena mungkin dikemudian hari akan menjadi tempat penting pemerintahan atau dibidang perdagangan. Karenanya masyarakat Babat percaya bahwa disuatu saat kelak daerah Babat akan menjadi Ibukota kabupaten.

Setelah menghadap Sunan Giri, untuk kedua kalinya Rangga Hadi berangakat mencari suatu wilayah bernama Kenduruan di belahan barat wilayah kekuasaan Sunan Giri. Ia diberi wewenang untuk memimpin wilayah Kenduruan yang hendak dituju tersebut. Ia juga diberi kewenangan memimpin seribu pasukan dalam rangka menuju tempat tersebut. Upacara Pelantikan dilaksanakan sebelum keberangkatan kedua ini dihadiri oleh Sunan Bonang.

Perjalanan yang kedua dimulai dengan menyusuri Kali Lamong kearah barat. Beberapa persinggahan perjalan kedua ini antara lain pertama, desa Pamotan kecamatan Sambeng. Disana singgah sebentar dan mengislamkan wilayah tersebut. Perjalanan dilanjutkan kearah utarasampai di wilayah bernama Gondang yang sekarang ini wilayah kecamatan Sugio.  Wilayah tersebut kekurangan air. Lalu Rangga Hadi mengutus pengawalnya (belakangan diberi gelar Ki Kudosari yang berarti orang yang bekerjacepat dan cermat)  menghadap Sunan Giri untuk meminta nasehat. Oleh Sunan Giri diberi Tombak agar ditancapkan dalam tanah dan berpesan agar memperdalam bermunajat (semedi penuh kepasrahan) pada Allah SWT.  Dengan takjub Rangga Hadi melaksanakan dan mendapati air yang mengalir makin lama makin besar dan menjadi telaga/sendang.  Penduduk setempat menjadi hormat dan taat pada Rangga Hadi.  Sedangkan pusaka tombak ditambah tameng diberikan pada mbok rondo Gondang. Sampai hari ini pusaka tersebut disimpan keturunan Sunan Giri di Gondang[6]

Perjalanan dilanjutkan ke Timur dan singgah di Desa Mantup yang sekarang tetap bernama Mantup ibukota Kecamatan Mantup.  Sama halnya dengan Sugio, wilayah inipun kekurangan air. Kembali Rangga Hadi mengutus Ki Kudosari menghadap ke Sunan Giri.  Ki Kudosari kembali  dengan membawa Tombak dari Sunan Giri dengan pesan yang sama. Dengan cara yang serupa muncullah telaga Mantup yang mengairi kebutuhan penduduk setempat bahkan di masa Belanda sumber air ini mengairi masyarakat kota pula. Tombak itu diberikan pada Mbok rondo Mantup yang sepeninggalnya dikubur bersama Mbok Rondo yang sekarang makamnya terkenal dengan sebutan Makam Buntel.
Perjalanan di lanjutkan ke uatara mencari daerah bernama Kenduruan. Tibalah rombongan yang ternyata daerah tersebut dipimpin oleh seorang Kenduru, sehingga disebut Kenduruan. Daerah ini terletak di pusat kota. Segeralah misi dilaksanakan Rangga Hadi. Tempat tinggal Rangga Hadi disebut Keranggan, lalu sesudah Rangga Hadi diangkat menjadi Tumenggung pindah ke sebuah tempat yang kemudian disebut Tumenggungan.

I. C.     ASAL USUL NAMA LAMONGAN
Dua wujud fisik yang bisa jadi asal penelusuran nama Lamongan yakni pertama, kali lamong dan yang kedua, makam mbah lamong.  Kali lamong saat ini menjadi daerah perbatasan antara Lamongan, Mojokerto, mengalir ke timur yang bermuara di desa Segoromadu kabupten Gresik yang dulunya adalah pusat Kesunanan Giri. Meskipun Kali Lamong dulunya adalah rute perjalanan Ronggo Hadi, namun lokasinya jauh dari Lamongan yang saat itu dikembangkan Rangga Hadi.
Sedangkan makam Mbah Lamong diyakini adalah Rangga Hadi atau Tumenggung Surajaya. Dan yang kedua inilah yang lebih banyak dipercaya ahli sebagai asal usul Lamongan. Pertanyaannya adalah mengapa Rangga Hadi mendapat sebutan Mbah Lamong?.  Maka ada dua cara untuk menelusurinya yakni kesejarahan dan pengetahuan bahasa (etimologi).

Dalam sejarahnya terdahulu tidak ada pedukuhan, kampung, atau sejenisnya bernama Lamongan.  Namun jelas nama-nama tempat di Lamongat terkait dengan tokoh yang ada di wilayah tersebut sebagaimana ketika Rangga Hadi mencari tempat bernama Kenduruan ternyata adalah tempat yang dipimpin seseorang bernama Kenduru, kemudian nama tempatnya adalah Kenduruan. Lalu tempat tinggal Rangga menjadi Keranggan dan setelah menjadi tumenggung pindah ketempat baru yang kemudian bernama Tumenggungan.  Jadi nama Lamongan diyakini erat kaitannya dengan Mbah Lamong yang menilik argumentasi diatas tempat/wilayahnya bernama Lamong-an atau Lamongan.
Dalam tinjauan etimologi, kata Lamong berasal dari kata “LA” dan “MONG”.  “LA”  berasal dari bahasa Kawi (Jawa Kuno) artinya baik, sedangkan “MONG” berasal dari kata “NGEMONG” dalam bahasa Kawi  yang berarti mengasuh.  Jadi LAMONG berarti pamong yang baik.

Terkait dengan tinjauan etimologi ini, Rangga Hadi atau Tumenggung Surajaya yang makamnya kemudian terkenal sebagai makam Mbah Lamong mendapat sebutan demikian sebab selama hidupnya telah menjadi pamong atau pemimpin yang baik.  Dengan kata lain, wilayah tersebut bernama Lamongan sebab wilayah yang menjadi kekuasaan sekaligus tempat tinggal Mbah Lamong pada abad ke XVI Masehi. Sebagai sebutan sebuah wilayah, sejak masa Rangga Hadi hingga saat ini masih bernama Lamongan.

II.                PERAYAAN GEREBEK BESAR

Magnis Suseno membagi pandangan dunia Jawa menjadi empat lingkaran bermakna[7] . Lingkaran pertama bersifat ekstrovert, yang intinya adalah sikap terhadap dunia luar yang dialami sebagai kesatuan nominus antara alam, masyarakat dan alam adikodrati yang keramat, yang wujudnya lebih kuat dipedesaan dan atau dalam lapisan masyarakat buta huruf, yang oleh Geertz[8] sementara disebut agama abangan. Lingkaran kedua memuat penghayatan kekuasaan politik sebagai ungkapan alam nominus. Lingkaran ketiga, berpusat pada pengalaman tentang keakuan sebagai jalan ke persatuan dengan nominus, yang oleh Geertz disebut sebagai agama priayi. Lingkaran keempat yakni penentuan semua lingkaran pengalaman oleh Yang Ilahi atau Takdir.
Sebagai sebuah kebudayaan, perayaan Gererbek Besar telah memiliki wujud-wujud gejala kebudayaan. Kebudayaan memiliki tiga wujud sebagai gejalanya yakni:
  1. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, dan peraturan, dan sebagainya.
  2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktifitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat.
  3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.[9]
Ide-ide, gagasan-gasan, memberi jiwa dalam masyarakat serta tidak berdiri sendiri meainkan saling terkait satu sama lainnya.  Para ahli sosiologi dan antropologi menyebutnya sebagai system budaya atau cultural system.

Dalam konteks pandangan keagamaan yang adikodrati dan penghayatan kekuasaan politik, perayaan Gerebek Besar di Kabupaten Lamongan merepresentasikan hal tersebut. Disamping sebagai perayaan spiritual dogmatis sebagai ajaran agama, Gerebek Besar adalah momen politik dimana dalam sejarah kota Lamongan Penobatan Tumenggung Lamongan pertama Yakni Rangga Hadi atau Mbah Lamong dilaksanakan oleh Sunan Giri II. Ia dianugerahi gelar Tumenggung Surajaya. Di era Kesunanan Giri, riyoyo besar adalah momen berkumpulnya seluruh poemimpin wilayah di bawah kekuasaan Kesunanan Giri untuk berkonsolidasi, melaporkan perkembangan wilayah masing-masing, serta meminta nasehat/kebijaksanaan Sang Sunan dalam rangka pengembangan agama dan tata pemerintahan mauapun perluasan wilayah. Acara tersebut disebut Pasowanan Agung.  Ada kesatuan penghayatan antara  agama sebagai spiritualitas dan kekuasaan politik.

Gerebek Besar atau perayaan besar dilaksanakan pada hari raya iedul adha atau yang biasa disebut orang jawa sebagai riyoyo besar.  Dimulai dari depan Masjid Agung yang berlokasi diseberang barat alun-alun sebagaimana konsep ketatanegaraan islam jawa. Setelah masyarakat berkumpul kiai sesepuh akan memberikan wejangan-wejangan di dampingi Bupati dan Wakil Bupati. Wejangan berupa ungkapan syukur atas hari raya idul adha atau idul kurban yang jatuh pada 10 Dzulhijjah kalender hijriyah. Masyarakat biasa menyebutnya hari raya besar/riyoyo besar. Besar berarti agung. Dan yang juga disyukuri adalah bahwa kota Lamongan didirikan menurut kalender hijriyah bertepatan dengan riyoyo besar yakni 10 Dzulhijjah[10]. Dari sejak dikukuhkan Sunan Giri dengan Tumenggung Surajaya sebagai `bupati`nya hingga masa terkini dengan Bupati yang hadir pada forum tersebut, kabupaten Lamongan mendapatkan banyak berkah dari Alloh SWT, Tuhan yang maha kuasa.

Setelah itu dimulai berkeliling kota dengan mengumandangkan takbir mengelilingi kota.  Warga yang berpartisipasipun beragam caranya mengekspresikan rasa syukur tersebut dengan mengikuti arak-arakan berkeliling kota.  Ada rombongan yang berjalan kaki, mengendarai sepeda motor, mobil, maupun kendaraan terbuka dengan seperangkat alat musik tabuh seperti rebana danbedug beserta pengeras suara atau sound system.

Tempat-tempat bersejarah yang akan dilewati adalah pertama, Kenduruan. Yakni tempat yang diamanatkan pada Rangga Hadi oleh Sunan Giri untuk dicari dan dikembangkan. Ternyata tempat tersebut dipimpin seseorang bernama Kenduru sebagaimana dijelaskan diatas. Berasal dari kata Kenduru-an. Kedua, Keranggan yakni tempat tinggal Rangga Hadi pada saat memulai pengembangan wilayah lamongan. Ketiga, Tumenggungan yakni tempat berpindahnya Rangga Hadi yang telah bergelar Tumenggung Surajaya. Berasal dari kata Tumenggung-an.

Kesatuan ide/gagasan atau filosofi , tindakan berpola, dan benda-benda yang terangkum dalam perayaan Gerebek Besar di Kabupaten Lamongan jelas adalah sebuah Kebudayaan sebagaimana yang dikatakan Koentjaraningrat. Jelas pula bahwa dalam perayaan ini memiliki kesatuan  dimensi spiritual dan dimensi kekuasaan politik.  Yakni spiritualitas ajaran islam dan kekuasaan Kesunanan Giri pada awalnya hingga berkembang saat ini.masyarakat lamongan sendiri terkenal sebagai masyarakat yang agamis.

Meskipun secara formalnya, Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan menyelenggarakan peringatan formal berupa upacara dan mengunjungi makam-makam pendiri Lamongan berdasarkan kalender masehi yakni 26 Mei, masyarakat Lamongan tetap memperingati Gerebek Besar dengan filosofi pendirian Kabupaten Lamongan.

III.             PENUTUP
Sebagai sebuah perayaan, Gerebek Besar di Kabupaten Lamongan mempunyai filosofi mendalam  dan makna kesejarahan yang panjang kebelakang. Kesatuan antara Hari Raya Idul Adha atau Hari Raya Kurban dimana umat islam menyembelih hewan ternak berupa kambing, sapi, dan lainnya sebagai ajaran agama islam  dan ungkapan syukur atas didirikannya kota Lamongan sebagai wilayah Kadipaten oleh Kesunanan Giri dengan Rangga Hadi yang bergelar Tumenggung Surajaya. Rangga Hadi inilah yang terkenal dengan sebutan Mbah Lamong.

Nilai spiritualitas keagamaan dan ketata pemerinatahan dan politik yang menjadi satu kesatuan adalah khas islam jawa. Masyarakat Lamongan yang terkenal religius memang punya kesejarahan tata pemerintahan yang bersendi agama sehingga wajar jika karakteristik masyarakatnya pun demikian.

DAFTAR REFERENSI

1. Aneka Data Potensi Kabupaten Lamongan, diterbitkan pemerintah Kabupaten Lamongan, 2004
2. Potensi Ekonomi Dan Peluang Bisnis Di Kabupaten Lamongan, diterbitkan pemerintah Kabupaten Lamongan 2005
3.Lamongan Memayu Raharjaning Praja, terbitan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, 1992.
4. Magnis Suseno, Franz Von, 1988, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar dan Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
5. Geertz, Clifford. 1992a. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisisus.
6. Kontjaraningrat, Pengantar Antropoogi, Jakarat, Rieneka Cipta, 2002.
7. Naskah hari jadi Lamongan, terbitan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, 1987
8. Wawancara dengan Ketua Yayasan Keluarga Sunan Giri.

[1] Aneka Data Potensi Kabupaten Lamongan, diterbitkan pemerintah Kabupaten Lamongan, 2004
[2] Potensi Ekonomi Dan Peluang Bisnis Di Kabupaten Lamongan, diterbitkan pemerintah Kabupaten Lamongan 2005
[3] Ibid.
[4] Lamongan Memayu Raharjaning Praja, terbitan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, 1992. hal 20.
[5] Naskah hari jadi Lamongan, Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, 1984
[6] wawancara dengan ketua yayasan keluarga Sunan Giri.
[7] Magnis Suseno, Franz Von, 1988, Etika Politik, Prinsip-Prinsip Moral Dasar dan Kenegaraan Modern, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
[8] Geertz, Clifford. 1992a. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisisus
[9] Kontjaraningrat, Pengantar Antropoogi, Jakarat, Rieneka Cipta, 2002. hal 186-187.
[10] Naskah hari jadi Lamongan, terbitan Pemerintah Daerah Kabupaten Lamongan, 1987
__________________

Ditulis oleh: Mar'atul Makhmudah
 
Bacaan lain:
Adat Perkawinan Lamongan: Perempuan Melamar Laki-Laki
Wayang Dalam Budaya Jawa
Jaran Bodhak: Simbol Eksistensi Diri Orang Pinggiran
Memahami Realitas Sosial Tanpa Prasangka: Fenomenologi
 

No comments:

Post a Comment