Monday, November 2, 2015

Teori Modernitas

Teori Modernitas ini berusaha menjelaskan realitas sosial dunia modern

Teori Modernitas merupakan gugusan pemikiran untuk menjelaskan fenomena modernitas (dunia modern) yaitu suatu kondisi sosial yang bercirikan efisiensi, kecepatan, rasionalitas formal, praktis, cepat, instan, terstandard, serba uang, keterasingan pengalaman dan akhirnya (menjadi) tidak rasional yang terbalut rasionalitas. Tulisan ini berusaha memberi gambaran tentang Teori Modernitas yang disajikan secara ringkas, dengan bahasan tentang: Pengertian Modernitas,Karakteristik, Produk dan Dampak Modernitas, Pengertian Teori Modernitas, Analisis Menggunakan Teori Modernitas, dan Membaca Realitas Modern (Contoh Aplikasi Teori).



Pengertian Modernitas

Modernitas (modernity), atau “kemodernan”, atau merujuk pada kehidupan masyarakat modern, yaitu suatu masyarakat dengan keadaan sosial yang telah mengalami perubahan dan telah berbeda dari keadaan masyarakat sebelumnya yakni pada abad pertengahan. Modernitas ini muncul terdorong oleh perubahan pemikiran di bidang ilmu pengetahuan (revolusi ilmu pengetahuan), perubahan di bidang tata kelola ekonomi (revolusi industri Inggris) dan tata kelola sosial (revolusi Prancis). Perubahan-perubahan tersebut membawa konsekuensi kelahiran elemen-elemen modernitas: sains, teknologi, demokrasi dan kapitalisme[1]. Kondisi keberbedaan (dari masyarakat sebelumnya/ “pra-modern”) yang melambari pemahaman ‘modernitas; ini juga diberikan oleh Outhwaite yang menyebut ‘modernitas’ sebagai “konsep yang bertentangan”. Dikatakannya, modernitas ini mengambil makna dari hal-hal yang ditolaknya dan dari hal-hal yang didukungnya[2]. Pengertian ini mengisyaratkan adanya perubahan kontinyu pada masyarakat, yaitu perubahan dari masyarakat tradisional, kemudian “berevolusi” menjadi masyarakat industri dengan adanya revolusi industri yang segera dibarengi kemunculan masyarakat ekonomi kapitalis dalam konsepsi Marx.

Dengan mengumpulkan gagasan-gagasan modernitas dari Marx, Weber, Durkheim dan Simmel, dan dipadukan dengan pemikiran Outhwaite dan Donny Gahral Adian di atas, modernitas dapat diartikan suatu kondisi sosial yang telah berubah dan bertentangan dari kondisi sebelumnya dan perubahan itu ditentukan oleh ekonomi kapitalis (Marx), rasionalitas formal (Weber), solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif (Durkheim) serta dipenuhi oleh iklim ekslorasi potensi, besarnya pengaruh uang beserta akibat ikutannya terutama alienasi (Simmel).[3] Kondisi akumulatif yang seperti ini telah menjadikan masyarakatnya mengutamakan efisiensi, yang bermakna “cara terbaik untuk mencapai tujuan” dan itu berarti: cepat, praktis, tak jarang juga instan.

Karakteristik, Produk dan Dampak Modernitas

Karakter masyarakat modern, menurut Outhwaite, adalah masyarakat industrial dan ilmiah, berdasarkan filsafat rasionalisme dan utilitarianisme. Ia menolak kultur masa lalu, kultur yang tidak bisa dipahami. Modernitas selalu menatap masa depan[4]. Pandangan  Outhwaite tentang modernitas (masyarakat modern) sejalan dengan konsep dasar masyarakat yang berkarakter dinamis, senantiasa berubah. Karakter serba cepat dan instan berpadu dengan serba rasional (rasionalis) dan berdaya-guna (utilitarianis) yang didukung oleh teknologi (termasuk teknologi informasi) sebagai fasilitas penting masyarakat modern,  telah “sempurna” menjadikan masyarakat modern ini tergilas oleh “aturan modernitasnya sendiri” yang digambarkan oleh Anthony Giddens sebagai juggernaut (panser raksasa)[5] yang menggilas apa-apa yang di depannya termasuk kesadaran humanisme manusia dalam masyarakat modern tersebut tanpa dapat dikendalikan lagi sehingga disebut dunia yang tak terkendali (runaway world)[6].

Produk dan dampak modernitas adalah “hasil” perpaduan antara teknologi informasi dan rasionalitas (yang kemudian menjadi irrasional), yakni: masyarakat konsumtif, masyarakat cepat, instant, praktis, masyarakat virtual (online community) sebagai pribadi-pribadi yang “selfish” dan tampak “cuek” karena selalu fokus pada gadget-nya sendiri daripada kepada lingkungan sosialnya. Kondisi yang disebut terakhir ini memunculkan generasi yang “kesepian dalam keramaian” dan menghasilkan filosofi baru “mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat” akibat penggunaan gadget yang begitu khusyuk sehingga menyandera pikiran dan tindakan manusia modern serta mencerabut kesadaran humanisnya terhadap kehidupan sosial. Dunia yang dihuni oleh “manusia-manusia jenis baru” ini adalah “dunia yang sepi” (noiseless world) namun high product (efisien dan efektif) tetapi pada suatu ketika “noiseless technology of human-race habituation” ini akan mengendalikan kehidupan dan nasib manusia seperti yang digambarkan dalam film “The Net” yang dibintangi oleh Sandra Bullock, tentang kehidupan otomasi-terkendali-terkomputerisasi sehingga nasib manusia tergantung tombol dan bisa dipermainkan dalam hitungan menit! Mengerikan. Inilah salah satu contoh juggernaut gambaran Giddens.

Teori tentang Modernitas

Teori tentang modernitas adalah teori-teori sosial yang memberi penjelasan dan interpretasi umum tentang kekuatan-kekuatan sosial yang telah membentuk dunia modern, yakni pemikiran modern untuk memahami “dunia modern” yang berisi totalitas kekuatan-kekuatan yang bekerja dalam membentuk masyarakat modern[7]. Pemikiran ini tak lepas dari hakikat ilmu yang melekat dengan pembahasan terhadap konteks sosial. Dan ketika konteks sosialnya adalah “masyarakat modern”, maka teori sosial  yang relevan adalah “teori (sosial) tentang modernitas. Teori-teori tentang modernitas bersumber dari karya pemikir sosiologi dari klasik hingga modern seperti Marx, Weber, Durkheim, Simmel, Giddens, Beck, Baumans, Habermas dan Castells.

Modernitas, menurut Marx ditentukan oleh ekonomi kapitalis, sedangkan menurut Weber, rasionalitas formal. Adapun Durkheim, solidaritas organik dan pelemahan kesadaran kolektif. Sementara itu, Simmel memandang modernitas memberikan keuntungan karena memungkinkan untuk mengeksplorasi berbagai potensi dan kemampuan instrinsik manusia. Simmel juga mengajukan pemikiran tentang pengaruh uang beserta akibat ikutannya (terutama alienasi) dalam modernitas.

Anthony Giddens, menggambarkan modernitas (kehidupan modern) laksana sebuah panser raksasa (disebut “juggernaut”) yang terlepas dan tak terkendalikan lagi, untuk menggilas kehidupan manusia, sehingga menghasilkan “dunia yang tak terkendali” juga (runaway world). Gagasan ini sejalan dengan teori Strukturasi Giddens, yakni tentang ruang dan waktu dan juggernaut ini melebihi kekuasaan agent dalam mempengaruhi struktur.[8]. Giddens  mendefinisikan modernitas dilihat dari empat institusi mendasar yaitu: kapitalisme, industrialisme, kemampuan mengawasi (surveillance capacities), dan pengendalian atas alat-alat kekerasan, dengan memusatkan kajian pada negara-bangsa (nation-state). Dinamisme modernitas dari teori strukturasi Giddens, melalui tiga aspek: distanciation (pemisahan ruang dan waktu), disembedding (keterlepasan), dan reflexivity (refleksivitas). Ketiga aspek ini yang kemudian menyeret “manusia modern” menuju “keterasingan pengalaman” (sequestration of experience) yaitu suatu proses yang berkait dengan penyembunyian yang memisahkan rutinitas kehidupan sehari-hari dari fenomena-fenomena seperti kegilaan, kriminalitas, penyakit, kematian dan seksualitas. Keterasingan pengalaman ini sebagai akibat dari meningkatnya peran sistem abstrak dalam kehidupan sehari-hari.[9]

Ulrich Beck, mengusung gagasan tentang “masyarakat berisiko”, yakni “masyarakat baru” yang terlahir dari pelarutan masyarakat industri, atau yang disebut masyarakat dengan “tipe modernitas lain” (modernitas refleksif, reflexive modernity).[10]. Zygmunt Bauman,  mengajukan gagasan bahwa modern rasionalitas formal adalah holocaust atau pembunuhan massal (seperti pada zaman Nazi Hitler terhadap Yahudi) yakni “pembunuhan massal” melalui birokrasi rasional-modern (meminjam rasionalitas Weber) dan menggunakan kekuasaan. Ciri-ciri rasionalisasi yang sesuai dengan holocaust adalah irrasionalitas dari rasionalitas dan dehumanisasi[11]. Habermas, menyatakan bahwa modernitas sebagai “proyek yang belum selesai”.  Dan, Castells, berkontribusi dengan pemikirannya tentang informasionalisme dan masyarakat jaringan sebagai akibat dari revolusi teknologi informasi yang kemudian melahirkan “kultur virtual”, kultur virtualitas riil dan kapitalisme informasional. Castells menyebut bahwa di titik ini negara semakin tak berdaya dan tergantung pasar kapital global.[12]

Analisis Menggunakan Teori tentang Modernitas

Analisis menggunakan teori-teori tentang modernitas dapat digunakan sepanjang teori itu mampu menjelaskan realitas sosial yang bersangkutan. Modernitas, atau dunia  modern, memiliki karakter sebagaimana dideskripsikan di atas. Analisis terhadapnya seyogyanya memperhatikan karakter realitasnya. Dalam hal ini pemikiran F. Budi Hardiman dapat membantu membuka jalan. Dia mengajukan gagasan tentang corak-corak kesadaran yang terungkap dari studi tentang manusia modern, yang menurutnya lebih merupakan proses daripada esensi yang dialami dalam kesadaran manusia tersebut yakni individuasi, distansi, progress, rasionalisasi, dan sekularisasi.[13].  

Membaca Realitas Modern (Aplikasi Teori)

Satu contoh fenomena kehidupan (dunia) modern adalah dunia pergaulan sosial yang dipenuhi oleh penggunaan alat-alat teknologi informasi-komunikasi semacam komputer, laptop, internet, yang memungkinkan orang untuk berinteraksi dengan siapa saja di mana saja dan dari mana saja bahkan tanpa beranjak dari tempat tidurnya. Dan kemudian fungsi-fungsi ini diperkecil dalam bentuk perangkat jinjing-gerak (portable) berbentuk “hand-phone” (telepon genggam) dengan kemampuan jelajah internet (online) yang kemudian dikemas dalam teknologi android, blackberry, windows phone, iPad dsb, sehingga memungkinkan setiap orang untuk tetap  bergerak dan beraktivitas sosial selayaknya orang-orang “biasa” namun sesungguhnya mereka ini sedang “berinteraksi sosial” dengan “orang-orang nun jauh di sana”. Fenomena yang seringkali kita saksikan adalah anak-anak muda yang berkelompok dan sedang asyik memainkan gadget mereka. Walaupun mereka duduk berkelompok dan secara fisik berdekatan, namun sebenarnya mereka  tidak sedang berinteraksi dan bersosialisasi dalam kelompok itu, tetapi sedang berinteraksi dan bersosialisasi dengan orang-orang di tempat lain yang jauh jaraknya, tanpa ada batas wilayah dan bahkan negara. Mereka dekat, tetapi tidak saling interaksi. Dari habituasi semacam ini melahirkan “filosofi pergaulan modern” yang berbunyi “teknologi informasi itu mendekatkan yang jauh dan sekaligus menjauhkan yang dekat”. Dunia para “manusia modern” seperti ini adalah dunia yang sepi (noiseless world), dunia bisu. Penghuninya merasa sepi di tengah keramaian.

Produk modernitas (gadget online) telah membawa kemudahan, kepraktisan, kenyamanan, dan kecepatan. Intinya, memenuhi kriteria modernitas yang serba cepat dan rasional (Weber). Rasionalitas ini kemudian terganggu dengan adanya fenomena “mendekatkan yang jauh dan sekaligus menjauhkan yang dekat” tadi itu yang menyebabkan para manusia dalam masyarakat modern ini bergerak secara selfish. Inilah muncul irrasionalitas dalam rasionalitas. Anomali inilah juggernaut ilustrasi Giddens yang sedang menggilas para korbannya yakni “manusia rasional” yang tetap merasa rasional dan tetap tidak merasa terjajah ataupun terhegemoni oleh dominasi kultur modernitas yang tengah menyandera dan menindasnya dengan santun. Maka, muncullah kritik atas Teori Modernitas ini.*****


Bacaan lain:

No comments:

Post a Comment