Merawat dan Meruwat Nasionalisme Kita
Refleksi Hari Soempah Pemoeda: Pesan Bagi Generasi Yang Masih Mau
Wawan E. Kuswandoro
Membicarakan isu nasionalisme dalam suasana dalam negeri yang kurang
nyaman ini sungguh tak nyaman pula. Mirip perut lapar mau mengeluh
lapar di dapur yang gaduh dan sibuk mengusir tikus dan kecoa. Rasanya
seperti tak patut. Nasionalisme, benarkah telah ‘hidup enggan mati tak
mau’, setidaknya sedang meluntur bersama hiruk pikuk nasional bersamaan
dengan arus deras globalisasi yang mengaburkan batas-batas satuan
kebudayaan dalam sebuah Negara-bangsa? Benarkah sentimen nasionalisme
tidak lagi relevan dengan konteks modernisasi yang meniscayakan
kepentingan individu? Perubahan social telah terjadi, dan sebaiknya
disikapi secara tepat. Pelestarian nasionalisme, memerlukan formula
tepat pula.
Sebagian orang memandang pesimis dan mengkhawatirkan kelanjutan
nasionalisme warga negeri ini terutama di kalangan generasi muda. Benarkah?
Memang
perlu dibuktikan dengan parameter jelas, akan tetapi jika dianggap
sebagai warning system bagi kelanjutan NKRI, ada baiknya kita
menengok kembali kabar nasionalisme dan integritas yang kini agaknya
telah menjadi topik yang kurang menarik untuk dibicarakan, kalah populer
dengan isu-isu politik praktis, pemilukada, korupsi, kasus hukum,
dollar meroket, dsb. Topik nasionalisme sama redupnya dengan topik-topik
integritas, juga Pancasila. Padahal, isu nasionalisme amat penting bagi
kelangsungan hidup negara dan rakyat. Melestarikan ajaran nasionalisme
dari masyarakat multikultur dengan sentimen etnisitas dan ikatan
primordial yang masih cukup kuat memang tidak mudah. Ditambah isu
kedaerahan yang makin menguat bersamaan derasnya gerakan desentralisasi
berbalut jargon kemandirian daerah, pemilukada, makin mendekatkan pada
isu kelokalan dan menjauhkan pada isu yang dipandang sebagai “urusan
nasional”. Nasionalisme, mau tidak mau dipandang sebagai isu berlevel
nasional, berurusan dengan keutuhan dan ketahanan negara, dan itu domain
pemerintah pusat. Orang semakin enggan bicara isu ini ketika mereka
pada saat yang sama juga merasakan kekecewaan ketika menyaksikan
kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat pemerintah. Dalam pengertian
masyarakat umum, para pelaku korupsi, dipandang sebagai orang yang tidak
cinta Negara, tidak punya jiwa nasionalisme! Lha kalau pejabat saja
tidak berjiwa nasionalis, buat apa rakyat biasa harus berjiwa
nasionalis? Asumsi di atas memang perlu dibuktikan, namun ada gejala
alienasi (keterasingan) terhadap isu nasionalisme terutama di kalangan
generasi muda. Saya tidak yakin jika jiwa nasionalisme telah luntur,
hanya terasing dan kurang terstruktur saja, karena perubahan social dan
budaya yang terbawa arus globalisasi dan modernisasi.
Nasionalisme Prosedural vs Substansial
Mari kita tengok beberapa fenomena yang
berada di atmosfer nasionalisme, sebelum kita menjustifikasi sebagai
gejala eksistensi atau kelunturan nasionalisme. Baiknya kita kenali
symptom (gejala) yang terjadi di masyarakat. Apakah sebenarnya
nasionalisme itu? Apakah seperti selalu menyukai dan menyanyikan
lagu-lagu nasional, hafal nama-nama pahlawan, hafal teks Proklamasi,
selalu menggunakan istilah dan bahasa Indonesia, suka lagu Indonesia,
anti lagu asing, dsb? Dalam konteks yang agak “modern”, apakah yang
selalu bercita rasa Indonesia mulai dari penggunaan nama-nama orang yang
dirasa mengindonesia, memakai barang buatan Indonesia, makan makanan
asli Indonesia, selalu berada di tanah Indonesia, selalu menyanyikan
lagu Indonesia Raya pada setiap acara resmi, gemar membawa-bawa bendera
Merah Putih ke mana-mana termasuk ketika menjadi supporter sepak bola,
mengenakan kaos “Garuda di Dadaku” dan selalu berharap tim Indonesia
menang serta marah besar ketika timnas kalah, bahkan sangat marah ketika
membaca berita wilayah Indonesia masuk peta negara lain kemudian
ramai-ramai membuat dukungan di situs jejaring social untuk mencaci-maki
negara tetangga? Semangat pembelaan terhadap Indonesia memang kentara
pada aksi tersebut. Lantas coba kita tengok, pada saat yang bersamaan,
kita menyaksikan konflik dan kekerasan social melanda antar kelompok,
golongan dan etnis, di antara orang Indonesia yang tadi dibela-bela
tersebut! Sebut saja misalnya konflik Priok, Ambon, Poso hingga
kekerasan pasca pemilukada di berbagai daerah. Jika nasionalisme
dimaknai sebagai “solidaritas sebangsa”, maka nasionalisme hanya muncul
ketika menghadapi “common enemy” (“musuh bersama”) seperti
dalam kasus klaim produk budaya dan wilayah antara Indonesia-Malaysia,
atau “nasionalisme bola”, setia pada tim kesayangan karena ada “musuh
bersama” yakni kesebelasan lawan. Ketika tidak ada “musuh bersama”,
nasionalisme tak tampak batang hidungnya, justru yang mengemuka adalah
sentiment kelompok. Aksi-aksi yang sepintas tampak seperti aksi
nasionalisme, saya namai “nasionalisme procedural”, bersifat mekanis,
berbasis satuan kebudayaan (etnis, besar atau kecil), homogenitas,
munculnya temporal, cenderung tidak stabil, dasar gerakannya adalah
stimulus, menunggu perkara. Nasionalisme substansial, muncul dari
sentiment kebersamaan yang melihat substansi solidaritas yang tidak
selalu melihat homogenitas sebagai perekat.
Globalisasi dan Modernisasi
Pandangan klasik
antropologi sosial mengaitkan nasionalisme dengan dualitas: nasional –
lokal, bangsa – etnis, sehingga memunculkan paham-paham negara-bangsa (nation state)
dan etnis dalam bahasan nasionalisme. Konsep bangsa digunakan untuk
menggambarkan kategori-kategori besar masyarakat (Lewis, 1985).
Identitas nasional dihadapkan dengan identitas etnik. Mengikuti
pandangan ini, nasionalisme diasumsikan berkembang ketika nasional, yang
dipandang sebagai satuan kebudayaan yang lebih besar, maka harus diberi
porsi lebih ketimbang etnis, satuan kebudayaan yang lebih kecil.
Pandangan ini sulit menggambarkan keadaan di mana homogenitas menjadi
langka, Negara modern yang tidak hanya berisi satu kategori etnik,
batas-batas satuan kebudayaan (bangsa, nation) menjadi kabur,
dinamika dan mobilitas orang sangat cepat bahkan menembus batas
“territorial” satuan kebudayaan kecil (etnis) dan besar (nation).
Seringkali orang juga tidak saling mengenal. Masyarakat yang
multicultural juga mengaburkan makna identitas yang sering disanjung
sebagai perekat nasionalisme. Lantas, akankah nasionalisme menjadi
lekang oleh jaman, tergerus arus globalisasi dan modernisasi? Dan pada
saat yang sama penyelenggara negara masih belum selesai dengan berkutat
dalam kepentingan pribadinya dan menampakkan ketidakpahamannya dalam
mengelola negara? Lantas, bagaimanakah merawat nasionalisme di kalangan
generasi muda ketika mereka menyaksikan generasi (yang lebih) tua
berperilaku yang dipandang anti-nasionalis? Kelirumologinya Jaya Suprana
mungkin cocok menggambarkan situasi ini, ketika nasionalisme
dibicarakan di arena yang “keliru”, di saat yang “keliru”. Kelirumologi
nasional ini mungkin perlu ruwatan nasional untuk menghindari gejala nekropolitan yang makin mengelirukan pembicaraan tentang nasionalisme.
Bahasan nasionalisme dalam habitat
modernitas dan perubahan social dalam pusaran globalisasi menjadi lebih
berarti ketimbang konteks identitas social. Dalam batas satuan
kebudayaan yang makin maya, maka nasionalisme lebih tepat dipandang
sebagai sebuah sentimen atau gerakan. Sejalan dengan Ernest Gellner
(1983), bahwa nasionalisme adalah prinsip politik, maka satuan nasion,
harus sejalan dengan satuan politik. Maka, sentiment nasionalis adalah
rasa marah yang timbul akibat pelanggaran terhadap prinsip ini. Dan,
menurut Gellner, nasionalisme adalah suatu legitimasi politik. Sejalan
dengan konteks globalisasi, agaknya gagasan Bennedict Anderson tentang
nasionalisme lebih relevan. Anderson mendefinisikan nasion sebagai “an imagined political community” (komunitas politik terbayang). Imagined
(terbayang) di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan
dirinya sebagai anggota suatu nasion meskipun mereka tidak pernah
bertemu dan mengenal bahkan mendengar warga lain, namun dalam pikiran
mereka hidup sebuah citra (image) mengenai kesatuan komuni
bersama. Jika Gellner memusatkan perhatian pada politik, Anderson
memperhatikan sentimen nasional. Ketika nasionalisme dipandang sebagai
“kesetiaan primordial dan solidaritas berbasis asal-usul” (berakhir pada
pengertian ‘negara’), masih harus berhadapan dengan “anomali
nasionalisme” yakni ketika berhadapan dengan modernitas yang membuat
orang cenderung berperilaku individualis, lebih mementingkan kepentingan
diri sendiri sebagai pilihan rasional ketimbang memperhatikan
kepentingan negara.
Bermanfaat Bagi Kepentingan Negara
Kiranya, menyimak perubahan social dan
budaya yang telah terjadi, pemahaman nasionalisme tidak lagi relevan
jika hanya dikaitkan dengan mendikotomikan nation dan etnis, di mana
kedekatan dengan terminologi nation (lingkup lebih besar) ketimbang
etnis (lebih kecil) selalu disebut nasionalisme. Yang disebut lingkup
kecil, dalam konteks Negara modern, termasuk pula daerah, lokal. Maka,
mengikuti pandangan ini, mendahulukan kepentingan lokal (yang lebih
dekat) adalah tindakan tidak nasionalis. Ini justru tidak masuk akal.
Tanpa meributkan batas-batas satuan kebudayaan, nation – etnis, maka
yang lebih bermakna bagi pelestarian nasionalisme di kalangan generasi
muda adalah “berbuat demi dan bermanfaat bagi kepentingan negara”, di
manapun berada, baik di “satuan kebudayaan” yang kecil, besar bahkan di
luar wilayah Negara sekalipun. Inilah nasionalisme substansial, lebih
relevan, ketika globalisasi meniadakan batas dan modernisasi
mempersempit arena Negara. Selebihnya, biarkan Negara yang
mendefinisikan posisinya, masih layakkah dibela, masih bisa memberikan
rasa bangga, membuat nyaman, menciptakan rasa memiliki seperti
sinyalemen Greenfield (Nationalism: Five Roads to Modernity) sehingga masih bisa dirasakan (imagined) keberadaannya. Apa yang dirasakan?***
__________________
Bacaan lain:
Pembangunan Politik
__________________
Bacaan lain:
Pembangunan Politik
No comments:
Post a Comment