Monday, November 2, 2015

Merawat dan Meruwat Nasionalisme Kita

Merawat dan Meruwat Nasionalisme Kita
Refleksi Hari Soempah Pemoeda: Pesan Bagi Generasi Yang Masih Mau
Wawan E. Kuswandoro

Membicarakan isu nasionalisme dalam suasana dalam negeri yang kurang nyaman ini sungguh tak nyaman pula. Mirip perut lapar mau mengeluh lapar di dapur yang gaduh dan sibuk mengusir tikus dan kecoa. Rasanya seperti tak patut.  Nasionalisme, benarkah telah ‘hidup enggan mati tak mau’, setidaknya  sedang meluntur bersama hiruk pikuk nasional bersamaan dengan arus deras globalisasi yang mengaburkan batas-batas satuan kebudayaan dalam sebuah Negara-bangsa? Benarkah sentimen nasionalisme tidak lagi relevan dengan konteks modernisasi yang meniscayakan kepentingan individu? Perubahan social telah terjadi, dan sebaiknya disikapi secara tepat. Pelestarian nasionalisme, memerlukan formula tepat pula.

Sebagian orang memandang pesimis dan mengkhawatirkan kelanjutan nasionalisme warga negeri ini terutama di kalangan generasi muda. Benarkah?


Memang perlu dibuktikan dengan parameter jelas, akan tetapi jika dianggap sebagai warning system bagi kelanjutan NKRI, ada baiknya kita menengok kembali kabar nasionalisme dan integritas yang kini agaknya telah menjadi topik yang kurang menarik untuk dibicarakan, kalah populer dengan isu-isu politik praktis, pemilukada, korupsi, kasus hukum, dollar meroket, dsb. Topik nasionalisme sama redupnya dengan topik-topik integritas, juga Pancasila. Padahal, isu nasionalisme amat penting bagi kelangsungan hidup negara dan rakyat. Melestarikan ajaran nasionalisme dari masyarakat multikultur dengan sentimen etnisitas dan ikatan primordial yang masih cukup kuat memang tidak mudah. Ditambah isu kedaerahan yang makin menguat bersamaan derasnya gerakan desentralisasi berbalut jargon kemandirian daerah, pemilukada, makin mendekatkan pada isu kelokalan dan menjauhkan pada isu yang dipandang sebagai “urusan nasional”. Nasionalisme, mau tidak mau dipandang sebagai isu berlevel nasional, berurusan dengan keutuhan dan ketahanan negara, dan itu domain pemerintah pusat. Orang semakin enggan bicara isu ini ketika mereka pada saat yang sama juga merasakan kekecewaan ketika menyaksikan kasus-kasus hukum yang melibatkan pejabat pemerintah. Dalam pengertian masyarakat umum, para pelaku korupsi, dipandang sebagai orang yang tidak cinta Negara, tidak punya jiwa nasionalisme! Lha kalau pejabat saja tidak berjiwa nasionalis, buat apa rakyat biasa harus berjiwa nasionalis? Asumsi di atas memang perlu dibuktikan, namun ada gejala alienasi (keterasingan) terhadap isu nasionalisme terutama di kalangan generasi muda. Saya tidak yakin jika jiwa nasionalisme telah luntur, hanya terasing dan kurang terstruktur saja, karena perubahan social dan budaya yang terbawa arus globalisasi dan modernisasi.

Nasionalisme Prosedural vs Substansial
Mari kita tengok beberapa fenomena yang berada di atmosfer nasionalisme, sebelum kita menjustifikasi sebagai gejala eksistensi atau kelunturan nasionalisme. Baiknya kita kenali symptom (gejala) yang terjadi di masyarakat. Apakah sebenarnya nasionalisme itu? Apakah seperti selalu menyukai dan menyanyikan lagu-lagu nasional, hafal nama-nama pahlawan, hafal teks Proklamasi, selalu menggunakan istilah dan bahasa Indonesia, suka lagu Indonesia, anti lagu asing, dsb? Dalam konteks yang agak “modern”, apakah yang selalu bercita rasa Indonesia mulai dari penggunaan nama-nama orang yang dirasa mengindonesia, memakai barang buatan Indonesia, makan makanan asli Indonesia, selalu berada di tanah Indonesia, selalu menyanyikan lagu Indonesia Raya pada setiap acara resmi, gemar membawa-bawa bendera Merah Putih ke mana-mana termasuk ketika menjadi supporter sepak bola, mengenakan kaos “Garuda di Dadaku” dan selalu berharap tim Indonesia menang serta marah besar ketika timnas kalah, bahkan sangat marah ketika membaca berita wilayah Indonesia masuk peta negara lain kemudian ramai-ramai membuat dukungan di situs jejaring social untuk mencaci-maki negara tetangga? Semangat pembelaan terhadap Indonesia memang kentara pada aksi tersebut. Lantas coba kita tengok, pada saat yang bersamaan, kita menyaksikan konflik dan kekerasan social melanda antar kelompok, golongan dan etnis, di antara orang Indonesia yang tadi dibela-bela tersebut! Sebut saja misalnya konflik Priok, Ambon, Poso hingga kekerasan pasca pemilukada di berbagai daerah. Jika nasionalisme dimaknai sebagai “solidaritas sebangsa”, maka nasionalisme hanya muncul ketika menghadapi “common enemy” (“musuh bersama”) seperti dalam kasus klaim produk budaya dan wilayah antara Indonesia-Malaysia, atau “nasionalisme bola”, setia pada tim kesayangan karena ada “musuh bersama” yakni kesebelasan lawan. Ketika tidak ada “musuh bersama”, nasionalisme tak tampak batang hidungnya, justru yang mengemuka adalah sentiment kelompok. Aksi-aksi yang sepintas tampak seperti aksi nasionalisme, saya namai “nasionalisme procedural”, bersifat mekanis, berbasis satuan kebudayaan (etnis, besar atau kecil), homogenitas, munculnya temporal, cenderung tidak stabil, dasar gerakannya adalah stimulus, menunggu perkara. Nasionalisme substansial, muncul dari sentiment kebersamaan yang melihat substansi solidaritas yang tidak selalu melihat homogenitas sebagai perekat.

Globalisasi dan Modernisasi
Pandangan klasik antropologi sosial mengaitkan nasionalisme dengan dualitas: nasional – lokal, bangsa – etnis, sehingga memunculkan paham-paham negara-bangsa (nation state) dan etnis dalam bahasan nasionalisme. Konsep bangsa digunakan untuk menggambarkan kategori-kategori besar masyarakat (Lewis, 1985). Identitas nasional dihadapkan dengan identitas etnik. Mengikuti pandangan ini, nasionalisme diasumsikan berkembang ketika nasional, yang dipandang sebagai satuan kebudayaan yang lebih besar, maka harus diberi porsi lebih ketimbang etnis, satuan kebudayaan yang lebih kecil. Pandangan ini sulit menggambarkan keadaan di mana homogenitas menjadi langka, Negara modern yang tidak hanya berisi satu kategori etnik, batas-batas satuan kebudayaan (bangsa, nation) menjadi kabur, dinamika dan mobilitas orang sangat cepat bahkan menembus batas “territorial” satuan kebudayaan kecil (etnis) dan besar (nation). Seringkali orang juga tidak saling mengenal. Masyarakat yang multicultural juga mengaburkan makna identitas yang sering disanjung sebagai perekat nasionalisme. Lantas, akankah nasionalisme menjadi lekang oleh jaman, tergerus arus globalisasi dan modernisasi? Dan pada saat yang sama penyelenggara negara masih belum selesai dengan berkutat dalam kepentingan pribadinya dan menampakkan ketidakpahamannya dalam mengelola negara? Lantas, bagaimanakah merawat nasionalisme di kalangan generasi muda ketika mereka menyaksikan generasi (yang lebih) tua berperilaku yang dipandang anti-nasionalis? Kelirumologinya Jaya Suprana mungkin cocok menggambarkan situasi ini, ketika nasionalisme dibicarakan di arena yang “keliru”, di saat yang “keliru”. Kelirumologi nasional ini mungkin perlu ruwatan nasional untuk menghindari gejala nekropolitan yang makin mengelirukan pembicaraan tentang nasionalisme.

Bahasan nasionalisme dalam habitat modernitas dan perubahan social dalam pusaran globalisasi menjadi lebih berarti ketimbang konteks identitas social. Dalam batas satuan kebudayaan yang makin maya, maka nasionalisme lebih tepat dipandang sebagai sebuah sentimen atau gerakan. Sejalan dengan Ernest Gellner (1983), bahwa nasionalisme adalah prinsip politik, maka satuan nasion, harus sejalan dengan satuan politik. Maka, sentiment nasionalis adalah rasa marah yang timbul akibat pelanggaran terhadap prinsip ini. Dan, menurut Gellner, nasionalisme adalah suatu legitimasi politik. Sejalan dengan konteks globalisasi, agaknya gagasan Bennedict Anderson tentang nasionalisme lebih relevan. Anderson mendefinisikan nasion sebagai “an imagined political community” (komunitas politik terbayang). Imagined (terbayang) di sini lebih berarti “orang-orang yang mendefinisikan dirinya sebagai anggota suatu nasion meskipun mereka tidak pernah bertemu dan mengenal bahkan mendengar warga lain, namun dalam pikiran mereka hidup sebuah citra (image) mengenai kesatuan komuni bersama. Jika Gellner memusatkan perhatian pada politik, Anderson memperhatikan sentimen nasional. Ketika nasionalisme dipandang sebagai “kesetiaan primordial dan solidaritas berbasis asal-usul” (berakhir pada pengertian ‘negara’), masih harus berhadapan dengan “anomali nasionalisme” yakni ketika berhadapan dengan modernitas yang membuat orang cenderung berperilaku individualis, lebih mementingkan kepentingan diri sendiri sebagai pilihan rasional ketimbang memperhatikan kepentingan negara.

Bermanfaat Bagi Kepentingan Negara
Kiranya, menyimak perubahan social dan budaya yang telah terjadi, pemahaman nasionalisme tidak lagi relevan jika hanya dikaitkan dengan mendikotomikan nation dan etnis, di mana kedekatan dengan terminologi nation (lingkup lebih besar) ketimbang etnis (lebih kecil) selalu disebut nasionalisme. Yang disebut lingkup kecil, dalam konteks Negara modern, termasuk pula daerah, lokal. Maka, mengikuti pandangan ini, mendahulukan kepentingan lokal (yang lebih dekat) adalah tindakan tidak nasionalis. Ini justru tidak masuk akal. Tanpa meributkan batas-batas satuan kebudayaan, nation – etnis, maka yang lebih bermakna bagi pelestarian nasionalisme di kalangan generasi muda adalah “berbuat demi dan bermanfaat bagi kepentingan negara”, di manapun berada, baik di “satuan kebudayaan” yang kecil, besar bahkan di luar wilayah Negara sekalipun. Inilah nasionalisme substansial, lebih relevan, ketika globalisasi meniadakan batas dan modernisasi mempersempit arena Negara. Selebihnya, biarkan Negara yang mendefinisikan posisinya, masih layakkah dibela, masih bisa memberikan rasa bangga, membuat nyaman, menciptakan rasa memiliki seperti sinyalemen Greenfield (Nationalism: Five Roads to Modernity) sehingga masih bisa dirasakan (imagined) keberadaannya. Apa yang dirasakan?***

__________________
Bacaan lain:
Pembangunan Politik

No comments:

Post a Comment