Monday, November 2, 2015

Penjelajahan Fenomenologi Husserlian Dalam Memahami Masyarakat

Penjelajahan Fenomenologi Husserlian Dalam Memahami Masyarakat

Artikel sebelumnya:
Berikut, beberapa tulisan tentang fenomenologi Husserlian yang saya kompilasi dalam satu tulisan ringkas ini, dari pengalaman penjelajahan fenomenologi Husserlian dari beberapa artikel jurnal.
Fenomenologi dalam artikel “Phenomenology of Everyday Expertise and the Emancipatory Interest, yang ditulis oleh yang Brian O’Connor, memperkenalkan Axel Honneth, yang mengemukakan rekonseptualisasi teori reifikasi, mengadopsi ide-ide John Dewey untuk mengembangkan pengertian tentang: keaslian (an originality), single, immediate, pengalaman kualitatif, analitik atau retroaktif atau refleksif. Konsep reifikasi Honneth dikenal dalam pengembangan pengalaman individual dalam perspektif teori kritis berimplikasi pada pemikiran fundamental tentang pengalaman refleksif[1]. Kerangka analitik refleksif yang diperkenalkan oleh Honneth ini merujuk pada pengalaman original pada aktivitas kognitif dalam koridor teori kritis dengan argumen-argumen konsisten tentang pengalaman manusia, telah menggugah sikap kritis yang terbingkai oleh kepentingan emansipatoris dalam pandangan Habermas.


Pemikiran ini merepresentasikan  relasi antara elemen-elemen konstitutif pengalaman manusia yang perspektif teori kritis, berupaya untuk memahami beliefs masyarakat, alasan-alasan, norma-norma yang membuat masyarakat bertahan, dsb, yang lebih memungkinkan penggunaan metode fenomenologi, yaitu “Phenomenology of Everyday Expertise” (PEE) yang diperkenalkan oleh Hubert Dreyfus. Pengembangan dari teori kritis yang berupaya memahami pengalaman-pengalaman original dalam kehidupan sosial. PEE mencari pengembangan status pengalaman-pengalaman tersebut dengan segala rekam-jejak dari dualisme subjek-objek. PEE Dreyfus bertitik tolak dari ajaran fenomenologi “mind-body”, tertarik untuk memahami pengalaman keseharian manusia yang berasal dari bawah.
Setiap struktur pengalaman subjek (manusia, masyarakat) dapat ditarik dari konsepsi relasi intersubjektif yang menghadirkan pergumulan “self” – “other” yang membentuk relasi antar subjek sebagaimana ditulis oleh Paul Simpson tentang inter-subjektivitas pada artikelnya yang berjudul  What Remains of  The Intersubjectives[2]. Intersubjektivitas, dalam pemahaman relasinya, mengumpamakan bahwa masing-masing subjek membawa atribut subjektivitasnya masing-masing dalam berinteraksi antar subjek. Subjektivitas dalam ekspresi tutur kata sehari-hari (keseharian), seperti ketika misalnya seseorang mengungkapkan kata “I love you” kepada seseorang lain, maka sejatinya ia telah menautkan makna tentang kebersatuan (union), penyelesaian dari seseorang untuk seseorang yang lain, durasi emosi, spiritual, dan hubungan fisik serta kesalinghubungan secara terus menerus antara dua pribadi. Inilah kajian fenomenologis. Mengikut konsepsi ini, ungkapan kata sehari-hari, seperti juga dalam contoh “I love you”  ini (dikenal baik dalam konsep PEE),  yang dibutuhkan seseorang (subjektivitas) membawa perangkat subjektivitasnya ke dalam dunia subjektivitas orang lain. Di sini tidak hanya bermakna hubungan dalam pengertian biasa (fakta/ realitas), tetapi jauh lebih dalam, yakni membawa dunia subjektif seseorang ke dalam dunia subjektif seseorang lain lagi (di balik fakta/ realitas) secara kolaboratif.

Pertautan dua subjektivitas ini (one subjectifying others) terdapat proses subjektivikasi afektif yang diproduksi  dari penggandaan relasi yang ditunjukkan, dan setiap orang, setiap hari saling terkena afeksi ini, maka terjadilah subjectifying relations with the world, atau, terdapat relasi-relasi penyubjektivan dengan “dunia luar”. Gagasan bertemunya antar-subjektif yang melampaui batas-batas subjektivitas-diri ini memberi pengertian akan adanya gagasan “kolektivitas subjektivitas” dalam suatu komunitas. Jika dalam pemahaman “biasa”, komunitas berarti  “sekumpulan individu”, maka dalam pemahaman fenomenologis ini komunitas berarti “kolaborasi subjektivitas”. Maka gagasan Stein dan Nancy tentang fenomenologi komunitas, yang ditulis oleh Peter S. Costello dalam artikelnya yang berjudul “Toward A Phenomenology of Community”[3] akan membawa pemahaman yang lebih mendekati dan mengarah pada bagaimana memahami komunitas beserta dinamikanya dalam hubungannya dengan peran sosialnya secara lebih mendalam. Kita akan melihat inter-relasi yang tidak hanya melibatkan batas-batas fisik (antar-individu) atau batas-batas ideologi, kepentingan semata, namun lebih dari itu, melibatkan intensitas dan komitmen serta elemen life-world dalam pola hubungan intersubjektivitas dalam skala komunitas. Bahasan komunitas,  secara kontekstual membingkai empati, berisi kontinuitas dan keasadaran untuk sebuah kesamaan (sameness).

Husserl memfokuskan perhatian fenomenologi pada situasi di mana pengalaman (yang mengandung anasir: persepsi, memori, empati) disatukan dan bahwa fenomenologi tertarik pada “konstitusi objek dalam kesatuan” sebagai gugusan adaptasi resiprokal atau koherensi. Stein mendeskripsikan empati sebagai aktivitas sekarang yang membedakan antara “self” dan “other”. Dalam kaitan ini, deskripsi tentang komunitas didasarkan atas pemahaman yang melekat pada komunitas – individu yang memiliki keintiman untuk saling memahami orang lain secara mendalam dengan kemampuan untuk menyerahkan diri bagi orang lain. Keberadaan komunitas dianggap sebagai suatu “hadiah” bagi manusia sehingga apapun pengalaman manusia”, dan  bagaimanapun buruknya pengalaman seseorang dengan komunitasnya, Stein berargumen bahwa pengalaman tetap memelihara mereka dengan komunitasnya. Dalam pandangan Stein dan Nancy, komunitas sebagai suatu “hadiah”, bukan mekanisme.

Komunitas merupakan persepsi sebuah ‘penampakan’ yang terkontrol sebagai suatu “hadiah”. Komunitas bisa bangkit sesuai intuisinya dan berkembang dalam mekanisme “giving oneself over” dari para anggotanya. Karakter kebajikan seperti ini embedded (menyatu) dalam suatu komunitas. Dikatakannya, community is a gift but its is not given. Jadi, membutuhkan upaya manusianya untuk bisa tetap berkembang dalam “kebajikan “giving oneself over”. Ada nilai “shared-meanings” yang berkembang dalam hubungan ini yang membentuk bangunan utuh komunitas, ketika manusia dalam komunitas itu memiliki keterikatan emosi, sehingga interseksi (irisan) antara emosi dan lingkungan kerja komunitasnya atau sebagai “himpunan   bagian” dari komunitasnya sebagaimana ditulis oleh Kathryn Pratt, dalam artikelnya yang berjudul “Rethinking Community: Conservation, Practice and Emotion”[4] yang menulis tentang “himpunan bagian” dalam kajian lingkungan yakni tentang peran komunitas dalam usaha-usaha konservasi lingkungan yang diteropong dari keberadaan relasi komunitas dan manusianya dalam pemahaman “himpunan bagian”. Bagi Kathryn Pratt, tidak mudah menjelaskan dan berharap tentang pengelolaan lingkungan dalam konteks politik ekologi yang melibatkan (peran) komunitas secara bottom-up, karena komunitas, menurutnya, merupakan  suatu konsep fundamental yang memiliki asumsi-asumsi normatifnya sendiri, yang berakar pada realitas sosial-politik pada aras lokal. Argumennya adalah, perlu menggeser pemahaman masyarakat untuk fokus pada jaringan kerja (networking), institusi atau kolaborasi spesifik. Tulisan Pratt ini mengelaborasi pandangan alternatif tentang formasi kelompok yang melibatkan praktik-praktik sosial dan emosi sosial. Ia mengetengahkan konsep kebersamaan (togetherness), struktur pengalaman sosial sebagai “materi yang terbayang”. Walaupun komunitas secara normatif adalah sentral, tetapi ia tidak mungkin melokal pada soliditas komunitas secara khusus tanpa memainkan suatu “identitas politik” yang mengikat mereka secara alamiah. Dalam pendekatan ini, upaya  konservasi lingkungan berbasis komunitas yang diambil Pratt sebagai fokus studi, dengan setting di Costa Rica, perlu ditempuh upaya pemejalan (solidifying) elemen-elemen organisasional sebagai properti sosial untuk dikomunikasikan antar anggota kelompok untuk mendorong keterlibatan-bersama (collective engagement). Collective engagement merupakan pendorong koherensi kelompok dan solidified elementer dalam kelompok yang terkoherensi ini sejalan dengan gagasan collective feelings yang berisi intensitas emosional yang melekatkan anggota kelompok dalam formasi togetherness (kebersamaan) yang berciri open-ended sosial (becoming social). Praktik pengalaman ini disebut “practical-affect-emotion-spiral”. Formasi keterkaitan dalam gagasan becoming social, collective feelings, open-ended dan practical-affect ini mengisyaratkan relasi resiprositas antara manusia dan properti sosial elementer dalam komunitas untuk memejalkan collective engagement.

Gagasan ini menemukan bentuknya yang makin memejal untuk menjelaskan aktivitas komunitas dan aspek “social engineering” yang mengaktivasi peran komunitas pada upaya sosial atau yang berkaitan dengan peran-peran civil society, seperti yang ditulis oleh Matteo Bianchin, dalam artikelnya “Reciprocity, Individual and Community: Remarks on Phenomenology, Social Theory and Politics”[5], yang mengusung agenda fenomenologi Husserl sebagai kontribusi yang mendasari teori sosial dan politik pada konteks metodologi.


Bacaan lain:

No comments:

Post a Comment