Monday, November 2, 2015

Kesulitan Partai Politik di Daerah Merekrut Perempuan

Kesulitan Partai Politik di Daerah Merekrut Perempuan:
Sebuah Wacana Budaya



“Tiada demokrasi tanpa keterlibatan perempuan”. Demikian ujaran dalam setiap pelajaran politik, yang mengisyaratkan adanya pengakuan fundamental terhadap (aktivitas) perempuan dalam partai politik. Akan tetapi di lapangan berkata lain. Kondisi sosial kultural masyarakat mengonstruksikan hal yang berbeda dari ujaran-ujaran teoritikal tersebut. Rupanya masyarakat  punya “landasan teori” dan aturan main tersendiri. Terdapat konstruksi sosial terhadap perempuan yang kemudian memunculkan aneka tafsir dalam pembicaraan perempuan dan politik. Peran perempuan  dalam ranah politik pun menemui beberapa “hambatan budaya”. Dalam lingkup sederhana saja, misalnya, keikutsertaan perempuan dalam rapat-rapat partai politik, yang biasanya terselenggara dalam waktu malam, terkendala “hambatan kultural” tentang doktrin “kepantasan” dan “kepatutan” perempuan keluar malam apalagi hingga larut malam. Setidaknya terkendala ijin suami. Dan sebagainya.

Tulisan ini diturunkan untuk “menyambut pemilu legislatif 2019″. Menyambut kehadiran partai-partai politik dalam kompetisi politik yang akan menentukan arah biduk pengelolaan negara ini melalui peran partai politik. Ke mana dan bagaimana partai politik akan memerankan fungsinya dalam pengelolaan negara, mempengaruhi kebijakan negara, dsb. Bagaimana partai politik memiliki daya dan kemampuan elektoral dan mampu eksis baik secara institusional maupun substansial fungsional? Bagaimana partai politik memenangkan kompetisi politik ini dengan memenangi hati pemilih yang memilihnya? Dan menjadi pendukung setianya? Yang paling akhir ini yang sulit. Perlu bahasan tersendiri. Bagaimana partai politik mengenal masyarakatnya? Dan bagaimana pula masyarakat itu kini? Akan membutuhkan banyak tulisan untuk menjelaskan ini.


Tulisan ini dibuat untuk memenuhi salah satu dari beberapa pointers pemikiran tersebut yakni tentang bagaimana partai politik mengenali masyarakatnya dan mendayagunakan untuk kepentingan partainya, baik itu dalam konteks perekrutan politik (political recruitment) maupun dalam konteks elektoral (pemilihan, dukungan suara)? Dalam hal ini, adalah masyarakat perempuan. Mengapa perempuan? Tulisan ini akan menjawabnya sekaligus membuka kembali wacana kultural yang melingkupi masyarakat tentang konstruksi sosial terhadap perempuan. Partai politik harus mengetahui hal ini sehingga mendasarkan aktivitas kepartaiannya berdasarkan fakta sosial, bukan asumsi. Memahami masyarakat, termasuk masyarakat perempuan, sangat penting untuk kepentingan institusional dan elektoral partai politik.
Kesulitan sederhana partai politik dalam melibatkan perempuan, semisal merekrut perempuan menjadi pengurus partai atau caleg adalah bukti nyata adanya “hambatan khusus” pelibatan perempuan dalam politik. Konstruksi sosial dan situasi kultural yang menyertai masyarakat tentu saja masih tetap ada di kalangan masyarakat terutama masyarakat berbudaya tradisional. Aktivitas publik perempuan masih terbatasi dalam arena-arena “jelas” dan “terang” misalnya menjadi guru, pegawai pemerintahan dan sejenisnya. Aktivitas dalam ormas dan partai politik pun,  (juga di parlemen) masih sebatas aktivitas yang sama dan sejenis dengan “orang bekerja” di luar rumah secara sementara. Padahal aktivitas politik termasuk di partai politik memerlukan intensitas yang lebih dari tafsir “sekedar bekerja di luar rumah”.
Perempuan Dalam Tafsir Sosial Budaya
Peran politik perempuan diperlukan sebagai penyeimbang konstruksi pemikiran dan tindakan dalam merumuskan kebijakan publik bagi masyarakat yang lebih banyak jumlah penduduk perempuan dibanding laki-laki, agar kebijakan pemerintah tidak bias jender. Data BPS 2010 – 2013 pada setiap kelompok umur jumlah perempuan di atas jumlah laki-laki. Jadi sudah sewajarnya jika kepentingan kaum perempuan terpelihara dengan parameter diantaranya kualitas dan kuantitas program pemerintah untuk masyarakat yang memihak kepada kepentingan perempuan. Perspektif ini sebaiknya dimiliki oleh kaum perempuan dan laki-laki, mulai di lingkungan keluarga hingga pemerintahan. Kepentingan perempuan bisa dikawal melalui aktivitas politik. Di pemerintahan misalnya, secara kuantitas jumlah legislator perempuan lebih sedikit dibanding legislator laki-laki. Namun jika secara kualitas telah memadai untuk kepentingan perempuan, bersanding dengan legislator laki-laki, maka kuantitas tidak lagi terlalu signifikan. Justru yang menjadi masalah ketika terjadi perbedaan persepsi antara legislator laki-laki dan perempuan terhadap suatu isu yang berkaitan dengan perempuan. Perlu pemahaman yang utuh mengenai perempuan di kalangan perempuan dan laki-laki. Kemudian, kuota affirmative action 30 % keterwakilan perempuan dalam parlemen sebagaimana UU, mengesankan “politik belas kasih” terhadap perempuan dan memandang perempuan sebagai pihak yang masih lemah sehingga perlu dijamin. Dalam pelaksanaannya pada Pemilu legislatif 2004, 2009 dan 2014 tampak dipaksakan, sekedar mencukupi kuota tanpa memperhatikan kualitas. Pengakuan kelemahan perempuan oleh konstitusi tersebut baiknya diimbangi dengan mendorong peran politik perempuan. Pendekatan edukasi politik melalui pemberdayaan dan rekonseptualisasi peran publik dan politik perempuan dirasa lebih memanusiakan perempuan daripada pemaksaan kuota. Sehingga perempuan bisa mengaktualisasikan diri dalam kiprah politiknya untuk membela kaumnya secara fair. Cukuplah UU mengatur peran politik perempuan tanpa kuota yang terkesan memaksa dan formalitas.
Kuantitas adalah relatif. Pada tahap sekarang di mana peran politik perempuan masih banyak kendala budaya (cultural constraint) seperti penerimaan masyarakat terhadap perempuan di ruang publik dan politik, maka edukasi publik tentang pentingnya peran politik perempuan perlu terus dilakukan sambil menjaga kualitas peran politik perempuan yang sudah ada. Umumnya masyarakat masih menganggap bahwa perempuan lebih layak untuk mengambil peran domestik. Anggapan ini tercipta di masyarakat berbarengan dengan pemahaman yang kurang tepat terhadap perempuan yang berasal dari tafsir atas ajaran agama. Masalah ini memang masih menjadi perdebatan, namun jika kita  melihat urgensi peran perempuan di ruang publik untuk pemerjuangan terhadap penduduk perempuan yang jumlahnya lebih banyak daripada laki-laki, perdebatan persepsi yang bertolak dari pemahaman dogmatis diharap segera berakhir. Pertanyaan yang harus dijawab bersama adalah, misalnya siapa yang akan memastikan keterjaminan kesehatan ibu hamil, menyusui, kesejahteraan perempuan, pendidikan yang layak bagi perempuan dan anak-anak setidaknya sejak dalam gendongan hingga balita, perhatian kepada perempuan miskin, peningkatan sumberdaya perempuan dari perspektif kaum perempuan sendiri, dsb dari sudut pandang pemberdayaan perempuan? Perlu ada kepastian untuk keterjaminan itu melalui jalur politik. Peran politik perempuan berada dalam posisi memastikan hak-hak perempuan tersebut dipenuhi oleh Negara. Dan, secara sosial dan kultural juga menjamin.
Peluang dan Tantangan Partai Politik
Secara eksistensial, partai politik akan memandang perempuan sebagai aset potensial pendukung suara dalam pemilihan umum. Jadi wajar jika partai politik menggunakan pendekatan dalam wajah yang feminis untuk meraih simpati kaum perempuan, misalnya dengan memasang banyak-banyak kader perempuan, membuat dan menjalankan program-program yang dekat dengan kepentingan kaum perempuan. Secara umum orang masih berparadigma perempuan sebagai korban (objek) yang harus dilindungi dan disantuni, bukan sebagai subjek atau actor yang berperan setara dengan laki-laki dan berperan di ruang publik serta masih belum menganggap perempuan sebagai subjek atau actor pembangunan dan actor social-politik yang memiliki peran strategis.
Peran ganda perempuan membawa kompleksitas rencana aksi bagi gerakan social yang setara-jender, mengingat peran perempuan yang sangat strategis baik pada fungsi domestic maupun social. Argument bahwa fungsi perempuan paling utama pada penyiapan generasi yang selama ini diklaim sebagai peran domestic, masih membatasi pembahasan dan gerakan pro-jender. Di kalangan perempuan pegiat kesetaraan jender dan peran perempuan di ruang public pun masih terdapat “cultural constraint” yang membatasi terlebih belum adanya penyepakatan pada lembaga perkawinan yang mengikat laki-laki dan perempuan. Secara kultural, yang bersumber dari tafsir atas dasar ajaran agama, kaum laki-laki menganggap memiliki hak veto untuk melarang istrinya (bahkan jika sang istri seorang pegiat pro-jender dan aktivis partai politik sekalipun) berperan di ruang public dengan dalih perempuan lebih dibutuhkan sebagai penyiap kualitas generasi (anak). Peran perempuan pada lini penyiapan generasi yang lebih baik, sesungguhnya berdimensi domestic dan social bahkan politik. Dimensi domestic, sudah jelas, perempuan berperan sangat besar dalam mendidik anak (generasi muda), bukan hanya oleh para perempuan yang memiliki karir sebagai guru atau dosen, tetapi juga oleh para perempuan yang mendedikasikan waktunya secara penuh sebagai ibu rumah tangga (dimensi domestik). Pada dimensi social-politik, justru diperlukan peran perempuan sebagai penyemangat dan motivator bagi sesama perempuan terutama bagi kaum perempuan yang marjinal secara ekonomi, pendidikan dan social, serta menjamin adanya regulasi yang berpihak kepada kaum perempuan. Dari perspektif konstruksi pemikiran pun, perempuan diperlukan pada setiap proses perumusan produk kebijakan public, sebagai penyanding konstruksi pemikiran laki-laki. Produk hukum dan produk kebijakan akan lebih ramah dan berpihak pada kepentingan kaum perempuan jika diproduk juga oleh perempuan secara politik. Ini yang harus dimaknai secara operasional-konkret oleh partai politik. Tidak hanya memenuhi kuota perempuan. Dalam perspektif pragmatis partai politik (pemenangan pemilu), perempuan adalah aset yang sangat potensial. Deskripsi di atas menunjukkan secara kuantitas jumlah perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Secara sosio-kultural, perempuan  lebih luwes dan mudah bersosialisasi dan mempengaruhi orang lain (saudara, tetangga, dll) melaui aktivitas kultural. Aktivitas sosial tersebut secara positif dapat didayagunakan. Masyarakat masih asertif terhadap aktivitas ini karena dipersepsi “dekat dengan urusan keluarga”.  Namun untuk aktivitas partai politik, masih memerlukan pendekatan tersendiri. Inilah peluang dan tantangan partai politik dalam mendayagunakan perempuan. Lantas, bagaimanakah nama-nama perempuan yang telah terjajar rapi dalam daftar calon partai politik? Bahkan dalam beberapa partai politik telah mencapai dan melebihi bilangan 30% dari jumlah total calegnya? Bersambung ya… :D ***

____________________________
Bacaan lain:
Bagaimana Partai Politik Melakukan “PDKT” Pada Masyarakat Calon Pemilih?
Bagaimana Partai Politik Memenangi Hati Masyarakat Pemilih?
Bagaimana Menjadikan Pemilih Labil (Swing Voters) Menjadi Pemilih Setia?
Mengenal Masyarakat Pemilih
Mengelola Partai Politik Dalam Masyarakat Yang Sedang Berubah
Menakar Kemampuan Elektoral Partai Politik Pasca Pemilu Legislatif 2014
Menakar Daya Survivalitas Partai Politik
Mengenal Pelembagaan Partai Politik
Adakah Partai Politik di Indonesia?
Mendesain Pembangunan Politik Berbasis Partai Politik Sehat: Sebuah Gagasan Utopis?

No comments:

Post a Comment