Monday, November 2, 2015

Strategi Pemberdayaan Masyarakat Desa Berbasis Partisipasi

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DESA BERBASIS PARTISIPASI
Pendekatan Good Village Governance  Untuk Mendukung Terwujudnya Desa Mandiri di Jawa Timur

Wawan E. Kuswandoro

Tulisan ini saya buat setelah memberikan pelatihan pengenalan UU No 6 Th 2014 (UU Desa) pada kepala desa se-Jawa Timur pada tahun 2014 dan pelatihan pengembangan kapasitas SDM kepala desa se-Jawa Timur pada tahun 2015. Pelatihan diselenggarakan oleh Badan Diklat Provinsi Jawa Timur bekerjasama dengan Centre for Strategic and Welfare Studies (CSWS) Universitas Airlangga.
Ada beberapa catatan saya terkait pengalaman dan pembelajaran bersama para kepala desa tersebut yang menarik untuk dikembangkan menjadi sebuah kajian untuk upaya perbaikan penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa ke depan.

Tulisan ini adalah salah satu dari beberapa pemikiran saya tentang desa dan bagaimana desa sebaiknya berbuat, baik ada “UU Desa” maupun tidak. Karena, desa memang sangat layak untuk mengembangkan diri dan selayaknya berbuat demikian. Ini adalah kebutuhan desa.

Abstraks
Strategi pencapaian desa mandiri, partisipatif dan berdaya sebagaimana amanat UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dilakukan dengan fokus pada pemberdayaan masyarakat yang diselenggarakan dengan strategi partisipatif dalam koridor good village governance (kepemerintahan desa yang baik). Secara operasional, diperlukan penumbuhkembangan semangat membangun diri bersama (togetherness in collective action), penguatan modal sosial dalam paradigma “desa membangun”.

Namun, bagaimana melakukan pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat desa berbasis partisipasi ?

Kata kunci: pemberdayaan masyarakat, partisipasi, good village governance.


Pendahuluan
Desa merupakan unit pemerintahan terkecil dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Desa selama ini identik dengan pemerintahan (sederhana) yang dipenuhi nuansa tradisionalitas, dengan lingkungan yang masih alami dan budaya lokal yang bersifat khas kedaerahan[1]. Tafsir makna tentang “desa” bisa beragam. Dalam pemaknaan sosiologis, “desa” bisa bermakna komunitas masyarakat “gemeinschaaft”, hidup dalam pranata sosial dan iklim kekerabatan, sederhana, solidaritas mekanik. Secara politik, “desa” adalah “unit pemerintahan terkecil” yang “memiliki kewenangan tertentu”. Desa sering dirumuskan sebagai “suatu kesatuan masyarakat hukum yang berkuasa menyelenggarakan pemerintahan sendiri”[2].
Pasca munculnya UU No 6 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Desa, seluruh sistem pemerintahan desa berubah secara dramatis. Desa memiliki kewenangan untuk mengatur keuangan secara mandiri. Jika kemampuan aparatur desa tidak ditingkatkan, maka taruhannya akan banyak praktik korupsi yang melibatkan aparatur desa. Diperlukan pendekatan yang dapat menjangkau keseluruhan peranserta dalam meningkatkan kapasitas dan kapabilitas desa. Perkembangan tata pemerintahan desa yang demikian dramatis dan mengalami lompatan yang cukup signifikan. Setidaknya sejumlah UU yang mengatur tentang pemerintahan desa sebelumnya tidak berani mengatur (memberikan) kewenangan pada pemerintahan desa sedemikian luas. UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menyebutkan bahwa “Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat termasuk di dalamnya kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.[3]”. Dalam menjalankan pemerintahan, Kepala Desa dibantu oleh Sekretaris desa dan perangkat desa yang lain serta Lembaga Permusyawaratan desa. Berbeda dengan BPD di era sekarang, LMD dibawah kendali pemerintahan desa dan sama sekali tidak mencerminkan rakyat beserta fungsi legislasi yang melekat padanya, sebab Kepala desa dan Sekretaris desa secara otomatis (karena jabatannya) menjadi Ketua dan Sekretaris LMD, sehingga fungsi legislasi dan kontrol pemerintahan desa benar-benar tidak berjalan[4]. Memasuki era Reformasi, Pemerintah Pusat melakukan pembenahan terhadap status Desa. Perubahan ini terlihat pada PP No. 76/2001 tentang Pedoman Umum Pengaturan Desa yang menyebutkan bahwa Desa sebagai kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa, sebagaimana dimaksud dalam Penjelasan Pasal 18 UUD 1945. Desa diberikan hak asal usul yang dimaknai sebagai hak bawaan yang telah ada sebelum lahirnya NKRI yang mengatur struktur, wilayah, sosial, dan adat masyarakat setempat.  Tak hanya itu, berdasarkan Pasal 19[5] disebutkan bahwa BPD memiliki peran yang cukup penting dalam proses pemerintahan desa, yang amat berbeda dengan LMD di masa sebelumnya. Sekalipun PP 76/2001 relatif lebih maju dari sisi perwakilan dan kuatnya kontrol yang dilakukan BPD, namun  PP ini juga masih belum memberikan kewenangan yang cukup luas. Hal yang mungkin masih menjadi pertimbangan adalah minimnya kapasitas dan kapabilitas pemerintahan desa.

Kewenangan yang serba terbatas tersebut terlihat dari kecenderungan selama ini yang masih menempatkan pemerintahan Desa sebagai objek atau sasaran pembangunan. Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka unit pelaksana program dan pembangunan daerah adalah Pemerintah Kabupaten/ Kota. Desa hanya merupakan unit pendukung Pemerintahan Daerah guna menyukseskan otonomi daerah. Hal ini juga terlihat dari ketentuan PP No. 72/2005 tentang Desa yang menyatakan bahwa perencanaan pembangunan desa merupakan satu kesatuan dengan sistem perencanaan pembangunan kabupaten/ kota. Perubahan yang signifikan terjadi pada 18 Desember 2013 dengan ditetapkannya RUU Desa oleh DPR RI menjadi Undang-Undang. UU tersebut secara resmi diterbitkan pemerintah menjadi UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Pasal 4 ayat (b) menjelaskan bahwa “Pengaturan Desa bertujuan untuk memberikan kejelasan status dan kepastian Hukum atas Desa dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia demi mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. ”Kemudian pada Pasal 4 ayat (i) dijelaskan pula bahwa UU Desa bertujuan “memperkuat masyarakat Desa sebagai subjek pembangunan.”

Hal lain yang berubah secara dramatis adalah digantinya sistem demokrasi representatif atau perwakilan desa menjadi sistem demokrasi deliberatif atau demokrasi permusyawaratan. Konsekuensi dari sistem ini adalah BPD beralih fungsi, walau tetap sebagai lembaga legislatif desa, tetapi mekanisme pemilihan anggotanya bukan lagi pemilihan langsung melainkan melalui musyawarah desa. Karena tidak dipilih langsung oleh warga desa maka otoritasnya menjadi setingkat di bawah kepala desa yang dipilih langsung, dan dengannya BPD kehilangan satu fungsi mendasar dalam sistem politik yakni pengawasan terhadap kinerja pemerintah desa. Sebaliknya, kepala desa justru bertanggungjawab secara langsung kepada bupati dan hanya melalui prosedur formalitas kepada BPD dengan sekadar memberi keterangan pertanggungjawaban. Kemandirian desa membawa permasalahan pada sistem pemerintahan desa seperti apa yang cocok diterapkan dalam konteks keberagaman desa di Indonesia. Kemudian, berbagai ketentuan dan persyaratan juga dibuat secara longgar seperti pembentukan desa dan pemilihan kepala desa hingga keanggotaan BPD, serta struktur keperangkatan desa dengan prinsip minimal-maksimal sehingga tidak harus ditentukan secara seragam. Terakhir, perlunya penetapan standar geografis dan demografis atas desa dalam pengalokasian dana desa atau ADD. Namun, disamping aspek-aspek yang dapat dipilih oleh desa, terdapat hal yang bersifat umum berlaku untuk seluruh desa, yakni pengakuan dan pelembagaan hak-hak desa yang sejak dulu telah dimiliki. Beberapa hak dasar itu adalah memiliki dan mengontrol pengelolaan sumberdaya alam, kontrol atas pengembangan kawasan yang direncanakan oleh pihak luar desa seperti pengusaha dan atau pemerintah. Namun perlu juga diperhatikan agar nilai-nilai negatif feodalisme tidak serta-merta memperoleh justifikasi sebagai “kearifan lokal” dan olehnya harus ditetapkan standar kepemerintahan seperti nilai-nilai demokrasi, pluralisme, transparansi, akuntabilitas dan partisipasi masyarakat secara berkualitas. Dalam konteks penyelenggara pemerintahan desa, tekanan UU Desa yang baru adalah terkait dengan BPD dan kepala desa serta pola hubungan yang harus dibangun oleh keduanya. Konsepsi demokrasi representatif dan deliberatif dipertemukan untuk menemukan sebuah formula demokrasi desa yang tepat di mana  pemerintah desa dan anggota BPD bekerja dalam ranah tersebut.

Partisipasi masyarakat dalam interaksi kedua lembaga itu juga ditampilkan dengan mengusung tiga kriteria partisipasi seperti voice, access dan control. Maksudnya bahwa masyarakat memiliki hak menyampaikan pendapat di tengah musyawarah desa, juga kemudahan akses terhadap berbagai pelayanan publik dan khususnya informasi terbuka lebar dan mudah bagi masyarakat untuk memperolehnya dan masyarakat memiliki ruang untuk melakukan kontrol atas kinerja pemerintahan desa atau penyelewengan yang mungkin terjadi. Dikarenakan sudah ada ADD maka perencanaan desa mandiri tanpa perlu diusulkan ke atas dapat dilakukan dengan dana yang sudah pasti dialokasikan melalui mekanisme transfer ADD ke desa. Di situasi inilah persoalan akan muncul sebagai dampak dari implementasi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Karena itu diperlukan upaya penyuksesan implementasi UU tersebut pada aspek implementasi desa mandiri dan partisipatif, dengan memfokuskan pada pemberdayaan masyarakat, yang juga merupakan amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Aspek inilah yang harus menjadi perhatian dan kecakapan pemerintahan desa. Karenanya, mereka harus meningkatkan kapasitas dan kapabilitasnya secara partisipatif untuk tujuan pemberdayaan masyarakat ini, dengan melibatkan keikutsertaan elemen-elemen kunci dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, agar dalam menjalankan peran, kewenangannya sebagaimana diatur dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dapat berjalan dengan maksimal. Akan tetapi karena desa-desa  di Jawa Timur rata-rata belum siap melaksanakan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa itu dengan maksimal[6], karena minimnya kapasitas dan kapabilitas aparaturnya, maka demi menyukseskan program pembangunan desa atau “desa membangun” menuju desa mandiri yang demokratis dan partisipatif sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Untuk ini, diperlukan sebuah rangkaian pengembangan kapasitas aparatur dan stakeholders pemerintahan desa melalui kegiatan pelatihan dan pendampingan dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa yang mampu meningkatkan kapasitas pemerintah desa dalam menyusun dan melaksanakan program pembangunan desa yang bertumpu pada pemberdayaan masyarakat desa.

Kata kunci desa mandiri dan partisipatif dalam teks Undang Undang tersebut meniscayakan kebutuhan akan pemberdayaan masyarakat desa, sedangkan pada saat yang sama, masyarakat desa yang tengah berubah secara kultural dan sosial mengarah pada perilaku yang lebih pragmatis walaupun modal sosial dan kultural belum sepenuhnya hilang. Pragmatisme, yang juga nmengimbas pada pemilihan kepala desa (pilkades), dengan sendirinya juga turut mewarnai corak penyelenggaraan pemerintahan desa. Penyelenggara pemerintahan desa sangat dimungkinkan akan menemui kendala dalam menggerakkan partisipasi masyarakat. Mobilisasi akan menjadi pilihan rasional ketika masyarakat tidak merasa menjadi bagian dari proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa. Bagaimana strategi pemberdayaan dan peningkatan kapasitas masyarakat berbasis partisipasi sebagaimana amanat Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?
Dalam konteks ini, maka fokus pelatihan dan pendampingan pemerintahan desa pasca sosialisasi dan pemahaman Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (2014) adalah penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan desa dalam hal pemberdayaan masyarakat partisipatif (paradigma “desa membangun”) dalam koridor good village governance. Untuk tujuan ini, tulisan ini mengajukan dua konsep implementatif  “desa membangun” dalam koridor good village governance, yang  memuat elemen pemberdayaan masyarakat dan strategi partisipasi masyarakat dalam collective action “desa membangun”. Keduanya terangkum dalam konsep pemberdayaan masyarakat partisipatif.

Kerangka Konseptual Pemberdayaan Masyarakat Partisipatif

Pemberdayaan, pengindonesiaan dari kata “empowerment”, digunakan sebagai konsep alternatif untuk meningkatkan kemampuan dan martabat masyarakat agar terlepas dari jerat kemiskinan dan keterbelakangan. Atau, dengan kata lain, menjadikannya “ber-power” atau dalam istilah Kartasasmita, memandirikan dan memampukan masyarakat[7].
Munculnya konsep pemberdayaan masyarakat, pada mulanya merupakan gagasan yang ingin menempatkan manusia sebagai subyek dari dunianya sendiri. Oleh karena itu, wajar apabila konsep ini menampakkan kecenderungan bahwa pemberdayaan menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan (power) kepada masyarakat, organisasi atau individu agar menjadi lebih berdaya. Implikasi dari konsepsi ini adalah pertama, penciptaan ruang bagi bekerjanya peran-peran lokal, kedua, peran aktor-aktor lokal dalam menafsir ”nasib sendiri” dan “nasib bersama”, ketiga, “kewenangan komunitas” yakni kepada warga desa atau “desa selaku komunitas/ entitas politik yang satu”.

Dengan mengikuti pemikiran ini, maka kegiatan pemberdayaan merupakan kegiatan yang “embedded” (menyatu) dengan kegiatan pembangunan (desa) dan merujuk pada satu tujuan atau misi bersama yakni kemampuan dan kemandirian. Pemberdayaan (kemampuan dan kemandirian) merupakan kunci dan prasyarat dari aktivitas desa membangun. Konsep “pemberdayaan” ini, mengikuti pemikiran Chambers yang dikutip Kartasasmita, merangkum nilai-nilai sosial dan mengikuti paradigma pembangunan yang bersifat “people centered” (berpusat pada masyarakat), participatory (partisipatif) dan sustainable (berkelanjutan). Konsep ini sejalan dengan pemikiran Friedman[8] tentang alternative development yang menghendaki inclusive democracy (demokrasi inklusif), appropriate economic growth (pertumbuhan ekonomi), gender equality (kesetaraan jender) dan intergenerational equity (kesetaraan antargenerasi). Dalam konsepsi ini Kartasasmita mengajukan beberapa pendekatan dalam upaya pemberdayaan masyarakat, yaitu, pertama, menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Pemberdayaan adalah upaya membangun daya itu dengan mendorong, memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya mengembangkannya. Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih konkret, selain menciptakan “atmosfer” bagi bekerjanya pemberdayaan, juga menyangkut penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke dalam berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya. Ketiga, makna melindungi, yakni melindungi masyarakat yang lemah (kurang berdaya dalam menghadapi yang kuat).

Ketiga kunci pemikiran ini mengandung makna bahwa pemberdayaan bagi “desa membangun” dalam rangka pembangunan berbasis masyarakat (people centered development), memerlukan kebersamaan dan tafsir bersama akan nasib bersama warga desa (common sense), yang memperhatikan kebersamaan dalam keragaman (pluralitas) dan kekhasan lokal, kearifan lokal, untuk bersama-sama menggalang kekuatan dan meningkatkan kemandirian. Inilah pemberdayaan partisipatif. Karenanya, makna “desa membangun” secara bersama-sama ini sekaligus memupuk “solidaritas baru” di kalangan “grass-root”. Di sinilah diperlukan juga modal sosial. Lebih lanjut, dikatakannya bahwa pemberdayaan partisipatif tidak hanya meliputi penguatan individu tetapi juga pranatanya serta penguatan institusi-institusi sosial.  Dan, masyarakat bukanlah objek, tetapi subjek. Karenanya, Kartasasmita juga mengajuan beberapa pendekatan dalam pemberdayaan ini yaitu, pertama, pemberdayaan itu harus terarah (targetted), yakni langsung kepada yang memerlukan. Kedua, langsung megikutsertakan dan dilakukan oleh masyarakat. Ketiga, menggunakan pendekatan kelompok.

Pemberdayaan senantiasa berkaitan dengan penggalian dan pengembangan potensi masyarakat, yang menurut Kartasasmita bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan, sehingga pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu dengan mendorong, memberikan motivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta untuk mengembangkannya. Dengan kata lain, memberdayakan masyarakat adalah memampukan dan memandirikan masyarakat. Oleh karena itu ia mengatakan bahwa pemberdayaan harus terarah (targeted), ditujukan langsung kepada yang memerlukan (berbasis kebutuhan), langsung mengikutsertakan dan dilaksanakan oleh masyarakat yang menjadi sasaran program (partisipatif), menggunakan pendekatan kelompok karena secara sendiri-sendiri masyarakat miskin sulit dapat memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya. Di sisi lain Kartasasmita mengatakan upaya memberdayakan masyarakat dapat dilihat dari 3 sisi yaitu :
  1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
  2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering). dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah lebih positif, selain dari hanya menciptakan iklim dan suasana. perkuatan ini meliputi langkah-langkah nyata dan menyangkut penyediaan berbagai masukan (input) serta membuka akses ke berbagai peluang (opportunities) yang membuat masyarakat menjadi makin berdaya. ketiga,
  3. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan idealnya harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah karena kekurangberdayaan dalam menghadapi yang kuat.

Pemberdayaan masyarakat bukan membuat masyarakat menjadi makin tergantung pada berbagai program pemberian (charity) dari pemerintah. Dengan demikian tujuan akhirnya adalah memandirikan masyarakat, memampukan, dan membangun kemampuan untuk memajukan diri ke arah kehidupan yang lebih baik secara berkesinambungan. Pemberdayaan dimaksudkan juga untuk menciptakan keberdayaan masyarakat agar mereka dapat berpartisipasi dalam pembangunan yang berpusat pada rakyat (people-centered development). Pemberdayaan tidak hanya menyangkut pendanaan tetapi juga peningkatan kemampuan sumber daya manusia (SDM) dan kelembagaan. Pemikiran Kartasasmita di atas jelas sekali menegaskan bahwa pemberdayaan adalah suatu proses individual dan sosial, yakni suatu penguatan kemampuan individual, peningkatan kompetensi, penumbuh- kembangan kreativitas. Ketiganya memerlukan kebersamaan yang memperkenankan warga desa untuk mengembangkan perasaan bersama yang menjadi tanggung jawab mereka secara mandiri atas dasar kebutuhan. Pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan menempatkan masyarakat sebagai pihak utama atau pusat pengembangan dengan sasarannya adalah masyarakat yang terpinggirkan. Pemberdayaan masyarakat bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat guna menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi, yang intinya adalah melibatkan partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan masyarakat.  Didalam melakukan pemberdayaan keterlibatan masyarakat yang akan diberdayakan sangatlah penting sehingga tujuan dari pemberdayaan dapat tercapai secara maksimal.

Program yang mengikutsertakan masyarakat, memiliki beberapa tujuan, yaitu agar bantuan tersebut efektif karena sesuai dengan kehendak dan mengenali kemampuan serta kebutuhan mereka, serta meningkatkan keberdayaan (empowering) masyarakat dengan pengalaman merancang, melaksanakan dan mempertanggungjawabkan upaya peningkatan diri dan ekonomi. Untuk itu diperlukan suatu perencanaan pembangunan yang didalamnya terkandung prinsip-prinsip pemberdayaan masyarakat. Dalam perencanaan pembangunan seperti ini, terdapat dua pihak yang memiliki hubungan yang sangat erat yaitu pertama, pihak yang memberdayakan (community worker) dan kedua, pihak yang diberdayakan (masyarakat). Antara kedua pihak harus saling mendukung sehingga masyarakat sebagai pihak yang akan diberdayakan bukan hanya dijadikan objek, tapi lebih diarahkan sebagai subjek (pelaksana). Pemberdayaan merupakan suatu bentuk upaya memberikan kekuatan, kemampuan, keterampilan, pengetahuan dan berbagai bentuk inovasi kreatif sesuai dengan kondisi, yang secara potensial dimiliki. Memberdayakan masyarakat menurut Kartasasmita[9] adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang dalam kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan.

Strategi Pemberdayaan Desa Berbasis Partisipasi
Berdasarkan penelusuran catatan selama kegiatan fasilitasi bimbingan teknis (bimtek) keuangan dan sosialisasi Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa kepada kepala desa se-Jawa Timur pada tahun 2014 dan fasilitasi peningkatan kapasitas SDM kepala desa se-Jawa Timur (2015)[10], permasalahan yang dihadapi oleh pemerintahan desa adalah ketidaksiapan para aparatur desa dalam berperan aktif sebagai subjek pembangunan desa sesuai dengan mandat UU No. 06 Tahun 2014 tentang Desa. Hal itu terungkap dari pernyataan para peserta yang rata-rata menyampaikan keterbatasan sumberdaya dan fasilitas. Bahkan, salah seorang peserta, menyatakan bahwa “anggaran yang diperoleh pemerintah desa dari pemerintah pusat untuk implementasi UU Desa ini cukup besar, sementara para aparatur desa belum mendapatkan pelatihan yang cukup untuk pengelolaan dana tersebut”. Sosialisasi yang telah dilakukan oleh pemerintah mengenai Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini baru sampai di tingkat Kepala Desa. Sementara aparatur desa dan lembaga-lembaga desa lainnya, serta para tokoh masyarakat, belum sepenuhnya mengerti tentang isi dari Undang Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa ini, yang secara substantif telah mengalihkan kewenangan pembangunan desa kepada Pemerintah Desa beserta lembaga-lembaga desa lainnya, sehingga realisasi UU tersebut pada tahun 2015 memerlukan persiapan ekstra keras dari berbagai pihak di desa. Selama ini program pembangunan desa tidak dilakukan dengan perencanaan yang baik. Hal ini menunjukkan kelemahan dari perencanaan program tersebut yang berakibat jangka panjang.

Aspek lain yang menjadi persoalan di beberapa desa di Jawa Timur adalah peranserta subjek berikutnya yakni masyarakat dalam program pembangunan desa. Selama ini Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Pamong) melaksanakan program-program desa yang bercorak top-down, atau setidaknya “semi-top down”, sementara input berupa peran aktif masyarakat dalam menyampaikan kebutuhan riil tidak berjalan maksimal. Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa (LPMD) tidak sepenuhnya mampu beriringan dalam menyelenggarakan pemerintahan desa serta memberikan masukan-masukan positif bagi program-program desa yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dengan demikian aspek persoalan yang dihadapi oleh desa-desa di Jawa Timur adalah aspek pemerintahan desa dan aspek pemberdayaan masyarakat. Aspek pemerintahan desa mencakup kapasitas pemerintah dalam menjalankan mandat undang-undang sebagai subyek pembangunan di tingkat desa. Sementara aspek pemberdayaan masyarakat merujuk pada peran Badan Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai jembatan aspirasi masyarakat dalam mendukung program-program pembangunan desa oleh Pemerintah Desa (Kepala Desa dan Pamong). Karenanya, upaya peningkatan kapasitas pemerintahan desa harus pula menjangkau sisi pemberdayaan masyarakat, peningkatan kapasitas aparatur dan kelembagaan, serta kemampuan pemetaan dan analisis sosial bagi stakeholders. Implementasi pemberdayaan masyarakat melalui partisipasi masyarakat beserta elemen-elemen penting (stakeholders) dalam koridor good village governance (kepemerintahan desa yang baik), yang secara operasional harus menjangkau  sisi-sisi peningkatan kapasitas kelembagaan yang dikemas dan motivasi untuk membangun diri bersama (togetherness in collective action), penguatan modal sosial dalam paradigma “desa membangun”.

Aksi kolektif dalam iklim kebersamaan yang melibatkan warga selaku entitas politik (baca: desa) ini diharapkan menumbuhkan “solidaritas baru” yang sambil lalu memperkuat modal sosial pada masyarakat desa, melalui aktivitas “belajar sosial”. Tahap proses belajar sosial ini menurut Habermas, dapat disusun menurut logika perkembangan dan yang menginstitusionalisasikan tahap-tahap baru dari proses belajar masyarakat. Habermas berpendapat bahwa proses belajar masyarakat secara evolusioner tergantung kepada kompetensi individu-individu yang menjadi anggotanya, yakni melalui interaksi sosial dengan medium struktur-struktur simbolis yang berasal dari dunia-kehidupan (lebenswelt) mereka sendiri[11]. Kerangka inilah yang seyogyanya mendasari dan membingkai aktivitas good village governance (tata kepemerintahan desa yang baik) dan pemberdayaan partisipatif yang melibatkan seluruh stakeholders desa.  Dan, menggairahkan partisipasi dilakukan dengan pendekatan kebutuhan bersama. Menyadarkan masyarakat dan stakeholders desa bahwa “desa membangun” itu adalah “kebutuhan kita semua” (bukan kebutuhan kepala desa dan atau elit pemerintahan desa) adalah sebuah keharusan. Bangunan persepsi bersama ini dapat dilakukan dengan pendekatan “ke-kita-an” dan kebersamaan (we, us, togetherness).

 Kesimpulan
  1. Implementasi UU Desa memerlukan sumberdaya desa yang memadai untuk dapat mencapai desa mandiri, partisipatif dan berdaya.
  2. Diperlukan upaya memandirikan desa dengan mengoptimalkan potensi dan sumberdaya yang ada dengan meningkatkan kapasitas pemerintahan desa dalam melakukan pemberdayaan masyarakat desa.
  3. Pemberdayaan masyarakat desa diselenggarakan dengan strategi partisipatif dalam koridor good village governance (kepemerintahan desa yang baik), dengan semangat membangun diri bersama (togetherness in collective action), penguatan modal sosial dalam upaya penyelenggaraan desa membangun.
  4. Ketiga upaya tersebut teringkas dalam satu rumusan yakni partisipasi masyarakat, yang mana partisipasi masyaraakat akan dapat bertumbuh ketika masyarakat merasa membutuhkan dan mempersepsi bahwa aktivitas desa membangun adalah kebutuhan mereka, bukan kebutuhan kepala desa dan atau perangkat desa.


Rekomendasi

1. Inventarisasi potensi dan sumberdaya desa, serta mendokumentasikannya secara baik. Diperlukan perangkat pemetaan dan analisa sosial serta pendokumentasian yang dipahami secara adaptif oleh stakeholders desa dan dapat didayagunakan secara efektif-efisien oleh penyelenggara pemerintahan desa (kepala desa, perangkat dan BPD).
2. Memastikan dokumen-dokumen terkait penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik tetap update dan asertif terhadap masalah terkini masyarakat desa. Ini diperlukan sebagai input kebijakan pemerintahan desa.
3. Peningkatan pemahaman dan penguasaan aparatur pemerintahan desa di bidang administrasi (penguatan basis struktural).
4. Transparansi program desa dengan media yang dapat diakses dan dipahami oleh masyarakat desa. Ini juga berfungsi sebagai media komunikasi pemerintah desa dengan warga, menampung dan mengelola umpan balik dan keluhan dari masyarakat, juga berfungsi media akuntabilitas dan edukasi publik.
5. Pemeliharaan modal sosial dan modal kultural desa (penguatan basis kultural).
6. Pemeliharaan emosi kebersamaan (togetherness) antara pemerintah dan stakeholders desa.
7. Pemeliharaan integritas dalam pelayanan publik pada praktik penyelenggaraan pemerintahan desa (strategi penguatan human factors dalam rekayasa sosial, human factors social engineering).
8. Pemberdayaan masyarakat berbasis partisipasi yang dilakukan di tengah masyarakat yang sedang berubah ini (perubahan sosial terus menerus terjadi), memerlukan strategi rekayasa sosial (social engineering) yang tepat.
________________________
Bacaan lain:

No comments:

Post a Comment