Mengenal Masyarakat dan Budaya Tengger
Tengger dan Bromo tak bisa
dipisahkan. Dalam pengertian harfiah, positivis maupun spiritual. Memang secara
fisik keduanya menyatu karena wong Tengger bertempat tinggal di lereng gunung
Bromo. Keindahan gunung Bromo telah diketahui oleh banyak orang, dalam dan luar
Indonesia. Namun, yang belum banyak diketahui adalah Tengger, termasuk budaya dan kearifan lokal Tengger,
Yadnya Kasada, makna spiritual gunung Bromo dan peran
dukun Tengger dalam spritualitas dan sosial wong Tengger.
Masyarakat suku Tengger, adalah
komunitas tersendiri yang mendiami kawasan lereng pegunungan Bromo – Semeru,
yang terletak di wilayah Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Pasuruan, Kabupaten
Lumajang dan Kabupaten Malang, Jawa Timur. Jumlah komunitas ini tidak banyak,
yakni sekitar 100.000-an jiwa. Walaupun berdiam di lereng gunung, komunitas ini
bukanlah suku terasing, primitif atau terisolasi, karena mereka masih
berhubungan dengan masyarakat lain. Secara administratif, masyarakat suku
Tengger ini mendiami beberapa desa yang merupakan bagian dari wilayah pemerintahan
Kabupaten Probolinggo, Lumajang, Pasuruan dan Malang). ”Desa Tengger”[1] tempat bermukimnya masyarakat
suku Tengger tersebut adalah desa Jetak, Wonotoro, Ngadirejo, Ngadisari dan
Cemara Lawang (Kecamatan Sukapura, Kabupaten Probolinggo); Ledokombo,
Pandansari, dan Wonokerto (Kecamatan Sumber, Kabupaten Probolinggo);
Tosari, Wonokitri, Sedaeng, Ngadiwono, Podokoyo (Kecamatan Tosari, Kabupaten
Pasuruan); Keduwung (Kecamatan Puspo, Kabupaten Pasuruan); Ngadas (Kecamatan
Poncokusumo, Kabupaten Malang); dan Argosari serta Ranupani (kecamatan Senduro,
Kabupaten Lumajang). ”Desa Tengger” yang berada pada puncak tertinggi gunung
Bromo adalah desa Ngadisari. Di desa-desa tersebut (tempat masyarakat Hindu
Tengger bermukim), juga terdapat sistem pemerintahan desa, yang dipimpin oleh
seorang kepala desa yang dipilih oleh masyarakat. Misalnya, desa Ngadisari,
secara administratif dipimpin oleh kepala desa yang bernama Soepoyo, yang
berasal dari desa Ngadisari (beragama Hindu)[2], telah berpendidikan S2[3]. Kini, (2015), kepala desa
Ngadisari dijabat oleh istri Supoyo, telah dilantik sejak 10 September 2015.
Supoyo kini (2015) menjabat anggota DPRD Kabupaten Probolinggo dari Partai
Nasional Demokrat dan tetap sebagai tokoh masyarakat yang disegani di wilayah
Tengger khususnya desa Ngadisari.
Mulai memasuki desa-desa ini
(terdapat tugu batas desa), terlihat kekhasan perkampungan masyarakat Hindu,
yakni terdapatnya bangunan mirip candi atau pura berukuran kecil (tinggi sekitar
150 cm – 200 cm, lebar 50 cm) di depan rumah-rumah penduduk, mirip di Bali.
Bentuk rumah-rumah pada umumnya
disesuaikan dengan tekstur tanah yang berbukit, walaupun tidak tampak berbeda
dengan rumah-rumah orang Jawa pada umumnya. Beberapa tampak seperti bangunan
rumah seperti banyak terdapat di perkotaan (gaya modern), terutama di pinggir
jalan umum. Biasanya rumah-rumah ini milik orang kaya di Tengger, yang
jumlahnya tidak terlalu banyak. Kebanyakan rumah warga Tengger berbentuk ”rumah
biasa”, berbahan semen (tembok), dan papan. Strata ekonomi menengah ke bawah
biasanya menempati rumah-rumah yang terletak agak masuk ke dalam, yakni daerah
perbukitan. Desa Tengger adalah semua desa yang berada di lereng gunung Bromo.
Kawasan ini adalah kawasan wisata.
Warung dan layanan bisnis lain terpampang papan nama identitas mereka. Warung,
dan tempat-tempat layanan umum, semua ditulis dengan bahasa Indonesia.
Setelah batas desa Jetak, pemandangan menjadi lain sama sekali yakni
rumah-rumah yang pada halamannya dilengkapi dengan bangunan mirip candi atau
pura. Di kawasan puncak Bromo, terdapat banyak tempat layanan umum seperti
hotel, rumah penginapan, rumah makan, wartel, dsb. Umumnya menggunakan bahasa
Indonesia, bahasa Inggris dan bahasa Perancis untuk menandai jenis layanan
mereka. (Foto: dok WK)
Mayoritas (95%) warga masyarakat
suku Tengger hidup dari bercocok tanam di kebun, ladang dan lahan pertanian
yang terdapat di lereng pegunungan Bromo-Semeru. Mereka dikenal sebagai petani yang
sangat tangguh, yang mampu bekerja di ladang (tegil) sejak
pagi hingga sore hari. Umumnya mereka bertanam tanaman yang lazim tumbuh pada
daerah berhawa dingin, yaitu kentang, kol (kubis), dan bawang prei atau
bawang daun. Kawasan Tengger di lereng gunung Bromo – Semeru ini berhawa dingin
(sekitar 4º C pada malam hari dan sekitar 18º C pada siang hari). Pada masa
panen, banyak pedagang dari luar Tengger yang berdatangan ke daerah Tengger
untuk mengambil barang-barang komoditi pertanian tersebut untuk dijual di
pasar Kota dan Kabupaten Probolinggo, Lumajang, dan Pasuruan. Sebagian kecil
dari mereka (5%) berprofesi sebagai pegawai negeri, buruh, dan pengusaha jasa.
Para pemuda, sebagian berprofesi sebagai sopir angkutan pedesaan yang
menghubungkan desa-desa suku Tengger dengan desa lain di Kabupaten dan Kota
Probolinggo dan Pasuruan. Biasanya mereka menggunakan kendaraan jenis pick
up dan L300 atau Bison. Sebagian menyediakan jasa transportasi dan
penyewaan kendaraan bagi para wisatawan yang datang ke Gunung Bromo, yaitu
kendaraan jenis jeep, hard-top dan kuda tunggang. Kendaraan-kendaraan
ini untuk mengarungi lautan pasir hingga mendekati kawasan Pura Luhur Poten
Bromo dan kaldera Gunung Bromo. Para wisatawan biasanya setelah mengarungi
lautan pasir dengan berkuda atau jeep ini melanjutkan perjalanan ke
kaldera Gunung Bromo dengan berjalan kaki, naik tangga buatan. Para perempuan
suku Tengger biasanya mencari kayu di hutan lereng pegunungan Bromo dan
Pananjakan, disamping bekerja di lahan pertanian lereng gunung.
Hawa dingin rupanya membawa pengaruh
pada ”mode” pakaian sehari-hari warga masyarakat suku Tengger. Orang-orang
laki-laki pada umumnya selalu mengenakan kain sarung yang dibelitkan dan
disarungkan menutupi badan hingga ke kepala (kemulan sarung), menutupi
pakaian luar seperti orang kebanyakan (kemeja dan celana panjang).
Sehingga muncul guyonan pada masyarakat perkotaan di Probolinggo, jika
menemukan orang ber-kemulan sarung, dianggap seperti orang Tengger (kaya
wong Tengger). Para pemuda lebih menyukai mengenakan jaket tebal. Para
perempuan, biasa mengenakan selembar kain untuk menutupi bagian depan dari
pakaian luarnya (dipakai mirip mengenakan celemek namun berukuran lebih lebar).
Umumnya ”celemek” ini bermotif kembang dan dipakai para perempuan jika mereka
keluar rumah. ”Celemek” ini tidak lazim dikenakan oleh laki-laki, dan perempuan
ketika di dalam rumah. Para perempuan juga mengenakan topi jenis ”topi gunung”
yang biasa dikenakan anggota pecinta alam. Sebagian juga suka mengenakan jaket
tebal dengan penutup kepala, terutama perempuan muda, baik yang belum menikah
maupun yang telah menikah. Para perempuan paruh baya hingga tua, biasanya
mengenakan pakaian khas mereka, tetap ”pakaian standard Tengger”, namun lebih
sederhana, yaitu cukup berupa pakaian biasa[8] dan dilengkapi dengan kain
selendang mirip gendongan bayi, yang berfungsi untuk mengendong sesuatu
(biasanya barang-barang bawaan, kayu, dsb). Singkatnya, penutup kepala dan
telinga menjadi ”mode” pakaian harian khas Tengger. Hanya saja bentuknya
berlainan.(Foto: dok WK)
Berbeda dengan pakaian adat, yang
biasanya dikenakan para dukun ketika melangsungkan upacara adat.
Pakaian adat Tengger ini sepintas mirip pakaian adat Bali, yakni pakaian mirip
pakaian khas Jawa Timur (PKJ) berwarna putih, kerah model kerah Cina, berlilit
sarung di atas celana dan bertutup kepala (udheng). Ditambah
selendang berwarna kuning bersilang di depan dada.
Masyarakat Tengger memang memiliki
kekhasan tersendiri. Salah satu ciri khas masyarakat Tengger, selain beragama
Hindu[9], adalah keberadaan dukun
yang berperanan pada fungsi spiritual dan sosial. Dan upacara Yadnya Kasada,
yang menggambarkan ekspresi terimakasih masyarakat suku Tengger kepada
kekuatan supranatural (Tuhan), yang dalam ajaran Hindu yang dianut masyarakat
suku Tengger direpresentasikan pada sebutan “Sang Hyang Widdhi Wasa”.
Ungkapan rasa terimakasih ini diwujudkan dalam bentuk pengorbanan berupa hasil
bumi kepada dewa, yang dilabuhkan ke dalam kawah Gunung Bromo (inilah asal mula
Yadnya Kasada)[10].
Ayu Sutarto, budayawan dari Universitas Jember, dalam makalahnya
berjudul “Sekilas Tentang Masyarakat Tengger”, yang disampaikan pada pembekalan
Jelajah Budaya 2006 yang diselenggarakan oleh Balai Kajian Sejarah dan
Nilai Tradisional, di Yogyakarta pada tanggal 7 – 10 Agustus 2006, mengemukakan
bukti-bukti sejarah terkait keberadaan masyarakat Tengger ini. Ayu Sutarto, mengutip
Pigeaud, “Java in The 14th Century” (The Hague: Martinus
Nijhoff, 1960-1963, jilid I-IV, halaman 443-444), menyebutkan tentang
keberadaan prasasti berangka tahun 1327 Çaka (1407 M), yang menyebutkan tentang
sebuah daerah yang disebut hila-hila, dihuni oleh hulun hyang,
dan masyarakatnya taat beribadah, melakukan pemujaan kepada gunung
Bromo, sebuah gunung yang dikeramatkan. Prasasti tersebut dihadiahkan oleh Bathara
Hyang Wekas ing Sukha (Hayam Wuruk) pada bulan Asada. Nama “Walandit”
juga dirujuk dalam Kakawin Nagarakartagama, yang ditulis oleh Mpu
Prapanca, seorang pujangga kenamaan dari kerajaan Majapahit. Walandhit adalah
nama tempat suci yang sangat dihormati oleh kerajaan Majapahit. Di tempat ini
bermukim kelompok masyarakat yang beragama Buddha dan Shaiwa. Masih menurut Ayu
Sutarto, kemungkinan besar Walandhit pada waktu itu merupakan mandala
yang dipimpin oleh seorang dewa guru. Dewa Guru adalah seorang siddhapandhita
(pendeta yang telah sempurna ilmunya) yang memimpin sebuah mandala.
Sebenarnya mandala adalah tempat tinggal pendeta yang sangat jauh
dari keramaian, yang biasanya disebut wanasrama. Tempat seperti
ini mungkin juga dihuni oleh para resi atau kaum pertapa yang hidup
mengasingkan diri.
Bukti-bukti sejarah tersebut, patut
dikaji ulang. Jika memang keterangan yang menyebutkan adanya pelarian asal
Majapahit dapat dibenarkan, merujuk keterangan dari informan penulis (dukun
Tengger, pewaris tradisi Tengger) dan temuan Ayu Sutarto, penulis
mengajukan dua argumen. Pertama, terlepas dari fakta sejarah apakah
orang-orang Walandhit yang mendiami gunung Bromo ini mempunyai hubungan
dengan orang-orang Majapahit atau tidak, setidaknya praktik peribadatan mereka
memiliki kesamaan dengan praktik peribadatan orang-orang Majapahit (sehingga
raja Majapahit berkenan, dan membuat prasasti). Artinya orang Walandhit adalah
“sebagian warga Jawa pada zaman itu” (warga Majapahit atau Singhasari?) yang
secara kebetulan bertempat tinggal di “nun jauh di sana” (yakni di gunung
Bromo), hal yang belum terjangkau oleh kerajaan. Keberadaan prasasti dapat
bermakna “pengakuan raja atas warga yang berada di nun jauh di sana”. Kedua,
jika tesis tentang adanya pelarian asal Majapahit itu benar, terdapat
penerimaan secara penuh oleh orang-orang Walandhit terhadap para
pelarian ini. Mereka kemudian hidup bersama, beranak-pinak dan menurunkan
orang-orang Tengger yang dikenal sekarang ini.***
[1] Sebutan “desa Tengger” pada
saat ini sudah agak membingungkan, karena beberapa desa yang dulu pernah
dikenal sebagai ”desa Tengger”, saat ini tidak lagi melaksanakan adat istiadat
Tengger. Karenanya, sebutan “Desa Tengger” pada makalah ini adalah desa-desa yang
mayoritas penduduknya beragama Hindu dan masih memegang teguh adat istiadat
Tengger.
[2] Semua warga desa Ngadisari
(termasuk Jetak dan Cemara Lawang) memeluk agama Hindu.
[3] Warga Hindu Tengger sekarang
telah sadar pendidikan. Telah banyak warga Tengger yang berpendidikan tinggi,
hingga S1 dan S2, terutama desa Ngadisari. Warga mereka telah banyak yang
menempuh pendidikan (terutama pendidikan keguruan) di Universitas Jember (UJ).
Tiap tahun UJ memberikan jatah 1 orang warga Tengger untuk melanjutkan
pendidikan S1 di universitas tersebut. Uniknya, setelah warga Tengger ini lulus
dan telah mengajar di sekolah-sekolah di kawasan desa di Tengger, mereka tidak
melupakan ”pekerjaan adatnya” yakni bertani. Tidak jarang mereka membawa
pakaian seragam guru ke tanah pertanian. Dan mereka mtidak kehilangan ”ketenggerannya”.
Beberapa warga Tengger juga menempuh pendidikan keagamaan Hindu di Pendidikan
Guru Agama Hindu di Blitar, Jawa Timur. Mereka ini yang mengajar agama Hindu
dan bahasa Sansekerta di berbagai sekolah di kawasan Tengger.
[4] Jetak adalah desa yang
berbatasan langsung dengan desa non Tengger yang terletak di bagian bawah desa
Jetak.
[5] Belum ada keterangan dalam
hukum positif tentang perlindungan desa adat terhadap wilayah adat Tengger.
[6] Tentang dukun dan persyaratan
menjadi dukun, terdapat pada bagian bawah makalah ini.
[7] Dari batas akhir Kota
Probolinggo hingga ke desa tertinggi di Tengger (desa Cemara Lawang), berjarak
sekitar 55 km (sekitar 1 jam perjalanan dengan kendaraan bermotor dengan
kecepatan sedang, yang disesuaikan dengan kondisi jalan bergunung).
[8] Biasanya bercelana panjang
atau sepanjang lutut dan baju berbahan kaos, dan sebagian mengenakan jarit
ringkas dan berkebaya harian.
[9] Masyarakat Tengger sejak
dahulu menganut kepercayaan yang mereka sebut ”Shiwa-Buddha”,
dengan ritual keagamaan mirip dengan ajaran agama Hindu. Mereka tidak menyebut
diri mereka umat Hindu (karena memang tidak tahu nama ajaran mereka). Baru pada
tahun 1973, pemerintah RI (bersama para pakar berbagai agama setelah melakukan
penelitian), menyebut agama masyarakat Tengger dan memberitahu (ndunungen,
dialek Tengger) bahwa ritual seperti praktik orang Tengger tersebut
bernama Hindu. Sejak saat itulah orang Tengger ”resmi” mengetahui bahwa ajaran
mereka bernama ”Hindu”.
[10] Tentang Yadnya Kasada selengkapnya
dijelaskan pada artikel tersendiri.
Ditulis oleh:
Wawan E. Kuswandoro
_________________________
Bacaan lain:
Kearifan Lokal Budaya Tengger
No comments:
Post a Comment