Monday, November 2, 2015

Mengapa Perempuan “Menjadi” Laki-laki? Tinjauan Teori Feminis Eksistensialis Fenomenologis

Mengapa Perempuan “Menjadi” Laki-laki?
Tinjauan Teori Feminis Eksistensialis Fenomenologis 

Tulisan  ini bukan membahas trans-seksual maupun trans-jender, tetapi “berubahnya identitas kultural” perempuan menjadi laki-laki. Fenomena ini masih ada. Yaitu fenomena melenyapnya nama diri perempuan –terganti dengan nama orang lain (laki-laki) ketika perempuan bersinggungan secara kultural-struktural dengan laki-laki, misalnya menikah. Jika “Rini Susanti” menikah dengan “Rano Susanto”, maka namanya menjadi “Rini Susanti Susanto” bahkan “Nyonya Susanto” atau “Bu Susanto”. Rini Susanti-nya melenyap entah ke mana. Pelenyapan identitas, pelenyapan eksistensi, pengingkaran eksistensi manusia perempuan ini menarik untuk dibahas. Fenomena pelenyapan dan  pengingkaran eksistensi ini terjadi dalam kehidupan dan hubungan sosial, ketika masyarakat tidak lagi mengenal dan mengakui “Rini Susanti” (dan banyak “Rini Susanti” yang lain). Identitasnya telah hilang dari peredaran walaupun fisik orangnya tetap ada. Terdapat suatu bentuk pelenyapan identitas total atau pengingkaran eksistensi diri subjek perempuan.

Fenomena melenyapnya identitas diri dan pengingkaran eksistensi manusia perempuan melalui pelenyapan nama-diri perempuan dan penggunaan nama-diri laki-laki ini dijelaskan dengan menggunakan teori feminis, khususnya teori feminis eksistensialis-fenomenologis yang dibantu dengan pendekatan subjektivasi bahasa dari Jacques Lacan.

Teori feminis eksistensialis-fenomenologis dihadirkan untuk menjelaskan realitas opresi perempuan, sedangkan subjektivasi bahasa dari Lacan diperlukan untuk menjelaskan realitas tanda dan makna (subjektivasi bahasa) yang meluncur dalam relasi opresi tersebut.





Fenomena pelenyapan dan pengingkaran identitas ini menjadi baku dan terpatenkan di masyarakat, dan menciptakan identitas baru bagi perempuan-perempuan kita. Bahkan terjadi pada masyarakat Jawa di era Soekarno, yang didokumentasikan oleh Kwie Kek Beng (1958) dalam sebuah bukunya yang berjudul “Stalin yang diterbitkan pada zaman Soekarno, pernah menyitir kelakuan para perempuan kita (waktu itu) yang dinilai bangga mendompleng sosok laki-laki, melalui sebuah ungkapan budaya, yang waktu itu sangat akrab di telinga masyarakat: “Pet-pet tahu, kedempet bilang Ci-hu (paman), pet-pet tahu kedempet bilang a Gak-hu (mertua), pet-pet bakmi, kedempet ngadu suami”. Hingga kini pun masih dapat dilihat, berapa banyak perempuan yang menyandang nama berjenis laki-laki di  belakang namanya. Kecuali nama marga untuk menandai marga (silsilah keturunan), kecenderungan pemakaian nama laki-laki ini terjadi pada masyarakat yang tidak mengenal nama marga (di Jawa). Mengapa para perempuan ini tidak muncul sebagai dirinya sendiri tanpa atribut lain, serta berada di bawah bayang-bayang laki-laki? Orang lebih mengenal dan menghargai seorang perempuan tatkala ia tercatat sebagai istri laki-laki yang menjabat ini atau itu. Nilai budaya tersebut menempatkan perempuan pada posisi-tak-berperan. Dan pada kalangan masyarakat awam pun terdapat praktik yang sama. Nama perempuan menjadi hilang dan muncullah nama laki-laki, baik seluruhnya maupun sebagian.

Fenomena melenyapnya identitas diri dan pengingkaran eksistensi manusia perempuan melalui pelenyapan nama-diri perempuan dan penggunaan nama-diri laki-laki ini dijelaskan dengan menggunakan teori feminis, khususnya teori feminis eksistensialis-fenomenologis yang dibantu dengan pendekatan subjektivasi bahasa dari Jacques Lacan.

Teori feminis eksistensialis-fenomenologis dihadirkan untuk menjelaskan realitas opresi perempuan, sedangkan subjektivasi bahasa dari Lacan diperlukan untuk menjelaskan realitas tanda dan makna (subjektivasi bahasa) yang meluncur dalam relasi opresi tersebut.

Teori Feminis Eksistensialis Fenomenologis

Teori feminis muncul dan berkembang untuk menjawab problematika sosial yang menyangkut hubungan sosial antara aktor laki-laki dan perempuan dalam praktik sosial, agar tercipta keadilan dan keseimbangan dalam hubungan sosial tersebut. Gelombang pemikiran feminis, yang dimulai pada abad ke-18 yang ditandai dengan pemikiran feminis liberal ketika itu, ditujukan untuk menciptakan masyarakat yang adil dan peduli pada kebebasan. Hanya dalam masyarakat yang seperti itu perempuan, dan juga laki-laki dapat mengembangkan diri (Putnam Tong, 2010: 18).  Tokoh penting feminis pada masa itu adalah Mary Wollstonecraft, dengan karyanya yang berjudul “A Vindication of the Right of Women”, yang menulis tentang perempuan “beruntung” yakni memperoleh cara bereksistensi secara lebih manusiawi, dan perempuan yang terkekang, yakni perempuan “peliharaan” yang digambarkan sebagai “burung  yang disimpan dalam sangkar yang tidak memiliki pekerjaan kecuali memamerkan sayapnya dan berjalan dengan keagungan yang palsu”.  Wollstonecraft mencatat, bahwa perempuan kelas menengah ini tidak diijinkan untuk beraktivitas di luar rumah seperti berolah raga karena kawatir akan menggelapkan kulitnya yang putih seperti bunga lili. Karenanya, mereka dihambat untuk mengambil keputusan sendiri dan tidak memiliki kebebasan (ibid, halm. 19). Inilah awal mula pembedaan-pembedaan sosial antara perempuan dan laki-laki sehingga memunculkan pemikiran dan teori feminis liberal, untuk membebaskan perempuan dari usaha pembedaan peran jender yang dikonstruksi secara sosial oleh masyarakat (yang didominasi oleh laki-laki). Dari sini lahirlah budaya patriarkhi dengan dominasi pada laki-laki, dan tentu saja, perempuan sebagai pihak yang didominasi dan ter-subordinasi.

Putnam Tong mencatat, bahwa subordinasi perempuan berakar dari serangkaian hambatan berdasarkan adat kebiasaan dan hambatan hukum, yang membatasi masuknya –serta keberhasilan-  perempuan pada apa yang disebut sebagai dunia publik, karena masyarakat mempunyai keyakinan yang salah bahwa perempuan secara alamiah tidak secerdas dan sekuat laki-laki, masyarakat meminggirkan perempuan dari akademi,  forum dan pasar. Sebagai akibat dari politik peminggiran ini, potensi yang sesungguhnya dari perempuan tidak terpenuhi. Feminis liberal menekankan, pertama, bahwa  keadilan jender menuntut kita untuk membuat aturan permainan yang adil, kedua, untuk memastikan tidak satupun dari pelomba untuk kebaikan dan pelayanan bagi masyarakat dirugikan secara sistematis (ibid., halm. 2-3). Akan tetapi,  lanjut Putnam Tong, teori feminis liberal tidak cukup drastis dalam menjelaskan fenomena opresi terhadap perempuan. Muncullah pemikiran feminis radikal, yang mengklaim bahwa sistem patriarkhal ditandai oleh kuasa, dominasi, hirarki dan kompetisi. Sistem patriarkhal tidak dapat dibentuk ulang tetapi harus dicabut dari akar dan cabang-cabangnya (ibid halm 3).

Fenomena opresi terhadap perempuan yang berisi subordinasi, peminggiran dan pelenyapan identitas sosial dan eksistensi sosial manusia perempuan ini bisa dijelaskan dengan merunut teori feminis mulai dari teori feminis liberal sebagai pembuka jalan atau pendobrak pertama paham subordinasi dan peminggiran terhadap perempuan sebagaimana ditulis Putnam Tong, yang kemudian terfokus pada teori feminis eksistensialis-fenomenologis, yang diperkenalkan oleh Simone de Beauvoir yang merupakan pemikir feminis yang menawarkan analisis fenomenologis dan eksistensial. Beauvoir memberikan penjelasan ontologis-eksistensial atas marginalisasi perempuan sebagai Other dalam kultur yang diciptakan laki-laki. Rumusan klasik tema ini ada dalam analisis eksistensial oleh Beauvoir  dalam bukunya “The Second Sex”, ia mencatat bahwa dunia yang didiami manusia dikembangkan dari kultur yang diciptakan laki-laki dan mengasumsikan  pria sebagai subjek yakni sebagai kesadaran yang darinya dunia dilihat didefinisikan. Kultur yang paling banter mendorong pengalaman perempuan dan cara mengenal diri mereka sendiri ke pinggiran kerangka konseptual dan, yang paling mengerikan, menciptakan sebuah konstruk tentang perempuan sebagai “orang lain” (the Other), sebuah makhluk yang diobjektifkan (objectified), yang pembawaannya mempresentasikan sisi yang bertentangan dari pria (Ritzer, 2014:395). Lebih detil, dalam tulisan yang dihimpun oleh Putnam Tong (2010:8-9), analisis Beauvoir ini berargumentasi bahwa perempuan diopresi melalui ke-liyan-annya (otherness). Perempuan  adalah “Liyan” (the Other) karena perempuan adalah “bukan laki-laki”. Laki-laki adalah bebas, makhluk yang menentukan dirinya sendiri yang mendefinisi makna esksistensinya. Perempuan adalah “Liyan” (the Other), objek yang tidak menentukan makna eksistensinya sendiri. Konsepsi subjek (perempuan) yang dalam teori feminis eksistensialis-fenomenologis disebutkan adanya konstruk atas perempuan sebagai “orang lain” (“liyan, the other”), atau yang diobjektifkan (objectified) dalam relasinya dengan laki-laki, Beauvoir (mengikuti Hegel, Heidegger dan Sartre) telah menerima begitu saja bahwa otherness adalah kategori fundamental dari pemikiran manusia. Perbedaan perempuan dan laki-laki sebagian berasal dari konstruksi sosial yang meminggirkan perempuan dan sebagian dari internalisasi dari “the otherness” (Ritzer, op.cit., halm.395).

Jika perempuan ingin menjadi Diri, suatu subjek, perempuan, seperti juga laki-laki, harus mentransendensi definisi, label, dan esensi yang membatasi eksistensinya. Perempuan harus menjadikan dirinya sebagaimana yang diinginkannya. Pendefinisian, pelabelan dan esensi dalam konteks ini  meliputi penggunaan bahasa sebagai ekspresi “penanda” dan “petanda” dalam konsepsi Saussure yang digunakan oleh Jacques Lacan dalam pemikiran psikoanalisanya. Pemunculan nama-diri adalah sebuah penggunaan “tanda” dan relasi tanda – makna yang digunakan oleh subjek yang bergerak mencari kepastian diri, yang oleh Lacan dinyatakan bahwa subjek bersifat tidak pasti karena ia terpecah dari efek bahasa, sebagaimana ungkapan Lacan yang dikutip Lisa Lukman dalam teks berjudul “Proses Pembentukan Subjek: Antropologi Filosofis Jacques Lacan” :

What, I, Lacan, following the traces of the Freudian excavation, am telling you is that the subject such is uncertain because he is divided by the effect of language. Through the effect of speech, the subject always realizes himself more in the Other.

Apa yang saya, Lacan, ikuti dari jabaran Freud, saya katakan pada anda bahwa subjek itu bersifat tidak pasti karena terbelah oleh efek bahasa melalui efek tutur (speech), subjek selalu merealisasikan dirinya melalui (keberadaan) “Liyan” (the Other).

Lacan juga menjelaskan bahwa linguistik telah memperkenalkan perbedaan struktur diakronis dan sinkronis dalam bahasa, untuk memahami dengan lebih baik makna perkataan (ungkapan) seseorang berkaitan dengan hal-hal yang disembunyikannya atau yang berada di wilayah “tidak sadar” yang merupakan “struktur yang tersembunyi (repressed) dan memiliki struktur sama seperti bahasa. (Lukman, 2011: 60-61). Menurut konsepsi Lacan, bahasa merupakan perwujudan diskursus pembentuk keinginan dan fantasi seseorang, merumuskan konsep subjek dalam kenyataan. Lacan juga menyatakan bahwa seseorang menyatakan dirinya dalam bahasa, justru kehilangan dirinya dan menjadi sebuah objek dan subjek teralienasi dari dirinya sendiri, serta memnuculkan gap antara subjek dan “Yang Lain”, “Liyan” (‘The Other”). (ibid. halm. 66).

Pelenyapan Eksistensi Perempuan: Teori Feminis Eksistensialis-Fenomenologis

Realitas pelenyapan nama diri perempuan dengan penggantian nama laki-laki (suami) pada perempuan Jawa pasca nikah, sangatlah menarik untuk dikaji. Asumsinya adalah bahwa pelenyapan ini terdorong oleh konstruksi sosial masyarakat di area budaya Jawa, dengan  budaya patriarkhi yang melingkupinya. Karenanya, tulisan ini menggunakan beberapa teori yang digunakan untuk menjelaskan fenomena melenyapnya nama diri perempuan pasca nikah pada masyarakat Jawa dalam perspektif teori feminis eksistensialis-fenomenologis dengan menggunakan kerangka analisis subjektivasi bahasa dari Jacques Lacan.

Opresi perempuan melalui pelenyapan nama diri perempuan dengan penggantian nama laki-laki (suami) ini berawal dari perbedaan tafsir relasi jender dalam masyarakat Jawa yang patriarkhi. Tafsir sosial-budaya ini melekat pada manusia baik laki-laki maupun perempuan, yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural, adalah sesuatu yang sangat berbeda dengan konsep jender berdasarkan biologis yang menyatakan bahwa perempuan itu selalu lembut, cantik, emosional dan keibuan, sementara laki-laki selalu dianggap kuat, rasional, jantan, macho dan perkasa. Tafsir jender (peran sosial laki-laki dan perempuan) yang mengemuka dalam tulisan ini adalah fakta yang menunjukkan ketidakberdayaan perempuan untuk membendung akses “power” dari pihak lain, yaitu laki-laki. Hal ini dikarenakan, meminjam konsep jender, bahwa telah tercipta “konstruksi” masyarakat yang menempatkan kaum perempuan dalam posisi yang lemah, mengalah, dan feminin. Perbedaan jender telah mengakibatkan lahirnya sifat dan streotip yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati atau ketentuan Tuhan. Sifat dan stereotip yang sebetulnya merupakan konstruksi maupun rekayasa sosial akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultural dalam proses yang panjang. Konstruk ini telah membawa pikiran dan tindakan subordinatif terhadap perempuan. Perempuan dalam tahap ini berada dalam kondisi dan tafsir ketidakberdayaan sosial-budaya untuk masuk ke wilayah publik (karena publik dikonstruksi milik laki-laki), sehingga perempuan yang masuk ruang publik atau keluar dari sangkar emas atau kurungan domestiknya, harus menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda laki-laki, mulai dari penambahan nama laki-laki (suami) dan mengganti dengan nama laki-laki (suami). Perempuan tetap dikonstruksi mendiami wilayah dosmestik. Bank pun menggunakan nama perempuan sebagai “password” untuk mengamankan transaksi keuangan nasabahnya, dengan menggunakan “nama ibu kandung” sang nasabah. Mungkin atas dasar pemikiran tentang mendomestiknya dan merahasianya nama perempuan sehingga layak untuk pengaplikasikannya pada urusan sensitif-rahasia-privat seperti keuangan (administrasi keuangan bank) yang menggunakan nama “ibu kandung” sebagai “password”. Asumsinya adalah, nama ibu (perempuan) sangat jarang diketahui orang lain (domestik, tidak memublik).

Opresi subordinasi telah benar-benar meminggirkan dan meniadakan perempuan. Posisi perempuan yang mengalami ketidakadilan seperti ini muncul dalam berbagai bentuk. Pertama, perbedaan jender melahirkan kekerasan terhadap kaum perempuan, baik secara fisik maupun secara mental serta social dan budaya, dalam hal ini “peniadaan” (not exist). Kedua, perbedaan dan pembagian jender dengan segenap manifestasinya mangakibatkan tersosialisasinya citra posisi, kodrat dan penerimaan nasib perempuan yang ada yakni domestik, non-publik; dan jika ingin memublik maka ia harus “menjadi laki-laki”, menggunakan identitas (nama-diri) laki-laki. Ia harus “menghilangkan diri” dalam “selimut kabut” nama dan identitas laki-laki. Dengan kata lain segenap manifestasi ketidakadilan jender itu sendiri juga merupakan proses kooptasi peran jender perempuan, sehingga kaum perempuan sendiri menganggap bahwa kondisi dan posisi yang ada seperti sekarang ini sebagai sesuatu yang normal dan kodrati. Maka mereka “menikmatinya” bahkan bangga menyandang “titel” kelaki-lakian (suami, apalagi ada status sosial yang tinggi). Realitas jender ini menyangkut masalah struktural dan kultural masyarakat pada masyarakat. Intervensi identitas (maskulin terhadap perempuan) menjadi persoalan jender apabila pihak laki-laki melihat ketidakberdayaan perempuan untuk menolak “paksaan” menjejalkan identitas maskulinnya atas nama penghormatan kultural terhadap sosok laki-laki (budaya patriarkhi). Permasalahan jender dalam hal ini, kenyataan bahwa laki-laki mudah menghindar dari tanggung jawab yang harus diembannya berkaitan dengan “pemaksaan” atau “pemerkosaan identitas”. Dalam relasi ini, laki-laki menguasai perempuan. Ada relasi kekuasaan yang bermain di sini. Pihak terakhir berusaha mengubah kualitas hubungan tersebut untuk meningkatkan keberdayaannya, sedangkan pihak pertama berusaha tetap mempertahankan status quo agar hegemoni kekuasaan tetap berada di tangannya.  Pengalaman sosial ini terjadi akibat pembedaan jender dalam keluarga dan masyarakat. Suatu pembedaan yang diperkuat oleh sosialisasi dan enkulturasi, yang dalam penjelasan Fakih (1996) dinyatakan bahwa terbentuknya perbedaan-perbedaan jender dikarenakan banyak hal, di antaranya: dibentuk, disosialisasikan, diperkuat bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara.
Pembahasan mengenai konsep diri seseorang (perempuan) tidak lengkap tanpa pembahasan mengenai hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, yaitu laki-laki. Perspektif laki-laki selama ini terhadap perempuan memang bias. Karena selalu melihat perempuan sebagai figur lemah, maka diapa-apakan terserah kepada sang laki-laki (suami). Masih adanya pandangan salah dalam masyarakat.yang mengatakan bahwa keluarga adalah wilayah perempuan, laki-laki mendominasi arena public yang meliputi politik, budaya dan pekerjaan atau bisnis. Perempuan bertanggungjawab membesarkan anak dan mengurus rumah; sedangkan laki-laki menanggung keuangan keluarga. Bahkan ketika perempuan tampil di wilayah publik, seringkali apa yang dikerjakan adalah yang berkaitan dengan pekerjaan yang stereotipik jender.

Keterbatasan sosial-budaya yang dimiliki perempuan dalam peran dan akses publik atau jika keluar dari wilayah domestiknya, perempuan mengalami pelenyapan nama-diri dan penggantian dengan nama laki-laki. Penyebutan nama oleh mereka sendiri (perempuan) dalam menyebut nama-diri misalnya ketika memperkenalkan diri dalam lingkungan dan kehidupan sosial, dengan nama laki-laki baik sebagian seluruhnya, dimaknai sebagai “penghormatan terhadap laki-laki”, dengan melenyapkan dirinya. Penggunaan nama (laki-laki) sebagai simbol atau tanda dalam berbahasa yang digunakan, adalah ekspresi ketakberdayaan dan penyerahan identitas yang digunakan  oleh subjek perempuan untuk mencari kepastian diri (konsepsi Lacan), karena subjek (perempuan) bersifat tidak pasti dan  terpecah dari efek (penggunaan) bahasa. Perempuan, yang identitas nama-dirinya melenyap (berganti dengan nama laki-laki), merealisasikan dirinya melalui keberadaan sebagai “liyan” (“the other”). Pelabelan nama laki-laki dalam relasi opresif perempuan ini  berkaitan dengan hal-hal yang disembunyikannya atau yang berada di wilayah “tidak sadar” yang merupakan “struktur yang tersembunyi (repressed) dari subjek perempuan. Mengikut konsepsi Lacan, bahasa (penggunaan nama laki-laki pada perempuan) merupakan perwujudan diskursus pembentuk keinginan dan fantasi perempuan. Perempuan merumuskan konsep subjek (konsep diri) dalam kenyataan, karena perempuan telah kehilangan dirinya dan menjadi sebuah objek serta telah teralienasi dari dirinya sendiri, serta telah menjadi pribadi  “Yang Lain”, “Liyan” (‘The Other”).

Pemikiran Pembaruan
Realitas opresi perempuan melalui pelenyapan nama-diri ini membawa pemikiran baru tentang pemaknaan kembali atau rekonseptualisasi relasi jender. Ada hal penting yang diperjuangkan kaum feminis (Dorothy Smith, The Conceptual Practices of Power: A Feminist Sociology of Knowledge) – dimana ia mengangkat perlunya memandang kejadian atas opresi seperti pada pelenyapan nama diri ini dari struktur pengalaman perempuan sendiri, bukan sebagai obyek yang pada umumnya menurut pandangan kaum pria (male bias). Ia memperkenalkan Theory of Bifurcation dimana dunia dipandang berdasarkan pengalaman dan pengetahuan (science) dari perempuan itu sendiri yang oleh Alfred Schutz disebut sebagai phenomenal perspective: (dunia ilmu pengetahuan dengan common sense). Perempuan diharapkan dapat menyuarakan suara kritik (critical voice) atas situasi yang dihadapinya (Smith, 1990:467).

Pelabelan nama laki-laki sebagai pemaknaan (signification) simbol dan lambang yang ternyatakan dalam bahasa (lisan) sebagai efek dari struktur dalam bahasa sebagaimana disebut Saussure dan Lacan, yang mewujud dalam bentuk fenomena cultural yang spesifik atau dalam manusia yang berbicara, bukan produk dari niat pelaku-pelaku. Pemaknaan atau produksi makna yang muncul dalam wujud bahasa ini, yang menurut Saussure, diproduksi lewat sebuah seleksi dan kombinasi tanda-tanda dalam dua aksis (poros), aksis sintakmatik, dan aksis paradigmatic, yang diorganisasi menjadi sebuah sistem pemaknaan. Sebuah tanda, yang terdiri dari penanda (mediumnya), dan petanda (maknanya), bisa dipahami bahwa makna adalah kesepakatan social yang diorganisasi lewat relasi-relasi antartanda. Karenanya,  “representasi” atau diskursus eksternal seperti ini dapat mengemuka menjadi sebuah gerakan kebudayaan yang menjadi, –meminjam  terminologi Fritjof Capra–, titik balik peradaban (manusia) perempuan. Bahasa tutur ungkapan budaya masyarakat (pelabelan), yang melekat pada budaya manusia, merangkai makna simbolik dalam kerangka sistem yang dalam istilah Fritjof Capra (2004:360), dilukiskan bahwa kelompok-kelompok manusia, masyarakat dan kebudayaan mempunyai jiwa kolektif, dan oleh karena itu juga memiliki kesadaran kolektif sebagai konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya.

Kesimpulan

kesatu
Pelenyapan identitas dan eksistensi perempuan melalui pelenyapan nama-diri perempuan, merupakan sebuah konsep kekerasan social-budaya, mengacu pada tindakan dan perlakuan secara social dan budaya (opresi) terhadap perempuan, yang muncul dari struktur social dan budaya masyarakat. Masyarakat telah terstruktur atau terpola baik dalam pemikiran, anggapan maupun tindakan, juga perilaku yang memandang perempuan sebagai pribadi-pribadi kelas dua, tersubordinasi, termarginalisasi, Liyan, the Other, tidak penting, tidak mengada. Konsep ini berhubungan dengan budaya patriarkhi, dan tradisi maskulin yang telah menjangkiti dan mengonstruksi masyarakat.

kedua
Perkembangan pemikiran feminis atas fenomena pelenyapan identitas dan eksistensi sosial perempuan, selanjutnya diperlukan upaya lanjutan untuk mencari tahu adakah “perebutan wewenang” sosial budaya dalam pelenyapan nama-diri atau pengingkaran eksistensi perempuan tersebut; serta baik pula untuk mencari tahu adakah peran-peran institusi sosial yang membingkai fenomena ini.

ketiga
Fenomena ini dalam bentangan waktu dan ruang peristiwa, membuka peluang untuk mengeras  dalam manifesto tradisi dan budaya, yang dalam pengertian Koentjaraningrat, “kolektivitas budaya yang dimiliki bersama”,  dan  terinternalisasi dalam sebuah kesadaran akan identitas kelompok atau identitas komunal perempuan termarginalkan (the oppressed women), memunculkan gerakan kultural perempuan untuk melawan kekuatan “adi-kodrati” laki-laki. Maka, diperlukan kajian dan pengembangan teoretik tentang gerakan kultural perempuan tertindas.

Referensi:
Dari berbagai referensi: Chris Barker, Fritjof Capra, Fakih Mansour, Lisa Lukman, William Outhwaite, Putnam Tong, Rosemarie (Feminist Thought), George Ritzer, Dorothy Smith (The Conceptual Practices of Power: A Feminist Sociology of Knowledge. Boston: Northeastern University Press) dan Bryan S. Turner. Dan, catatan observasi.
________________________________
Bacaan lain:
Perempuan Dalam Politik

No comments:

Post a Comment