Tuesday, November 3, 2015

Pelimpahan Wewenang Kepala Daerah Kepada Camat



Pelimpahan Wewenang Kepala Daerah Kepada Camat

Mendekatkan Pelayanan Publik Kepada Masyarakat


Pelimpahan sebagian wewenang kepala daerah (bupati/ walikota) kepada camat, sebagaimana UU Nomor 23 Tahun 2014 (khususnya Pasal 226), dimaksudkan untuk mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Karenanya, diperlukan kajian mendalam untuk menginventarisasi  data potensi wilayah, menginventarisasi jenis-jenis kewenangan bidang pelayanan publik yang telah dilaksanakan beserta efektivitas hasilnya, dan mengidentifikasi jenis-jenis kewenangan bidang pelayanan publik yang feasible dilaksanakan di tingkat kecamatan. Pelimpahan ini walaupun kadang terasa sakitnya tu di sini, tetapi bermanfaat lho.. :D, misalnya untuk meningkatkan kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, meningkatkan kualitas SDM dan profesionalisme aparatur pemerintah, khususnya di tingkat kecamatan dan  desa, memberdayakan potensi wilayah kecamatan dan desa, menggali peluang atau sumber-sumber PAD yang baru, dan mengakomodasi pelayanan kepada masyarakat di tingkat kecamatan.


Pelimpahan sebagian wewenang ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta upaya meningkatkan pelayanan masyarakat. Sebagai institusi yang relatif lebih dekat dengan masyarakat, institusi kecamatan seharusnya lebih fokus pada substansi dari pelimpahan kewenangan yang secara ideal lebih pada kewenangan-kewenangan regulasi, kontrol dan pengambilan keputusan agar dapat memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.
           
Kebijakan desentralisasi berusaha mendekatkan pemerintah daerah dengan yang diperintah, yakni rakyat. Pemerintah yang dekat dengan rakyat adalah Pemerintah Daerah. Pemerintah (Pemerintah Daerah) yang dekat dengan yang diperintah ini lebih baik daripada Pemerintah Pusat. Pemerintahan yang dekat dengan yang diperintah (desentralisasi) akan mampu menyediakan layanan masyarakat lokal secara efisien, mampu mengurangi biaya, memperbaiki output dan penggunaan sumber daya manusia secara lebih efektif.

Desentralisasi dapat pula meningkatkan akuntabilitas, kecakapan berpolitik (political skill), dan integrasi nasional yang kesemuanya akan mendekatkan pemerintahan kepada rakyat dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada rakyat. Di samping itu, desentralisasi dapat pula melatih rakyat untuk terlibat dalam proses politik baik pada skala lokal maupun nasional. Harapannya, para camat tidak hanya bisa lebih “responsif”, tapi juga lebih cepat dan tepat dalam “merespons” apa yang menjadi masalah, tuntutan, dan apirasi rakyat yang ada di wilayahnya.

Untuk itulah, filosofi dan semangat desentralisasi yang mendasari formula kebijakan tersebut hendaknya segera dikaji agar didapat formula yang lebih mendekati realitas, mempertemukan antara kebutuhan / tuntutan masyarakat dengan kapasitas / potensi pemerintah  daerah.
 
Kerangka konsep...

Perhatian sebagian besar studi tentang kebijakan selama ini cenderung memberi perhatian lebih pada masalah keputusan (decision) daripada masalah kebijakan itu sendiri, sehingga perhatian para ahli pun lebih tertuju pada masalah the moment of choice; yaitu saat-saat ditentukannya suatu pemilihan alternatif. Saat itulah pada umumnya suatu keputusan atau kebijakan tertentu diambil atau dirumuskan. Dengan kata lain, persoalan perumusan kebijakan dan membiarkan masalah-masalah praktis dan rinci mengenai implementasi kebijakan itu menjadi urusan para administrator untuk memikirkannya. Dalam pengimplementasian kebijakan kebijakan selalu dijumpai implementation gap; yakni istilah yang dimaksudkan untuk menjelaskan suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan antara para yang direncanakan oleh pembuat kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai . Besar kecilnya perbedaan tersebut tergantung dari implementation capacity (kemampuan suatu organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada jaminan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan akan tercapai) dari organisasi yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan kebijakan tersebut.

Risiko dari kebijakan yang dikeluarkan oleh aktor pembuat digolongkan oleh Hogwood dan Gunn menjadi dua yaitu tidak terimplementasikan (non implementation) dan implementasi yang tidak berhasil (unsuccessful implementation). Tidak terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara efisien, bekerja setengah hari, atau karena mereka secara tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kekuasaannya sehingga betapapun gigih mereka berusaha hambatan hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar untuk dipenuhi.

Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Namun, kondisi  eksternal seringkali tidak menguntungkan bagi kebijakan tersebut dalam  mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan faktor pelaksanaannya yang buruk, rumusan kebijakannya yang buruk atau memang kebijakan itu bernasib buruk.  Mazmanian & Sabatier menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa :

            “ ….memahami apa yang senyatanya terjadi sudah suatu program dinyatakan      berlaku atau dirumuskan merupakan fokus perhatian implementasi kebijakan      yakni kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman   kebijakan negara,  mencakup usaha-usaha untuk mengadministrasikannya   maupun untuk menimbulkan akibat nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (S.A.Wahab,2002:65).

Kebijakan tentang pelimpahan sebagian kewenangan Bupati kepada camat yang telah dirumuskan dan direncanakan untuk diimplementasikan sejak tahun 2002 lalu, menggambarkan kondisi tidak terimplementasikannya kebijakan dimaksud. Artinya bahwa kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana. Banyak faktor yang menjadi penyebab antara lain :karena pihak pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya belum optimal dalam bekerjasama, SDM tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kemampuannya maupun dukungan kelembagaan yang tidak memadai sehingga betapapun gigih mereka berusaha hambatan hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sulit dipenuhi.
           
Kegagalan dalam implementasi kebijakan pelimpahan kewenangan ini antara lain dipicu oleh rumusan kebijakannya yang kurang sempurna sehingga dalam pelaksanaannya pun tidak dapat optimal. Idealnya pelibatan masyarakat sebagai target group penerima kurang terakomodasi dalam proses-proses perumusan kebijakan. Demokratisasi proses ini menjadi penting karena semakin tinggi tuntutan masyarakat yang tidak dapat sepenuhnya terlayani oleh pemerintah.

Oleh sebab itulah, hendaknya dapat dipetakan dan diinventarisasi isu dan bidang apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.*
 

No comments:

Post a Comment