Pelimpahan Wewenang Kepala Daerah Kepada Camat
Mendekatkan Pelayanan Publik Kepada Masyarakat
Pelimpahan sebagian wewenang kepala daerah (bupati/ walikota) kepada camat, sebagaimana UU Nomor 23 Tahun 2014 (khususnya Pasal 226), dimaksudkan untuk mendekatkan
pelayanan publik kepada masyarakat. Karenanya, diperlukan kajian mendalam untuk menginventarisasi data potensi wilayah, menginventarisasi
jenis-jenis kewenangan bidang pelayanan publik yang telah dilaksanakan beserta
efektivitas hasilnya, dan mengidentifikasi jenis-jenis kewenangan bidang
pelayanan publik yang feasible
dilaksanakan di tingkat kecamatan. Pelimpahan ini walaupun
kadang terasa sakitnya tu di sini, tetapi
bermanfaat lho.. :D, misalnya untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pemerintah kepada masyarakat, meningkatkan kualitas SDM dan profesionalisme aparatur pemerintah, khususnya
di tingkat kecamatan dan desa, memberdayakan potensi wilayah kecamatan dan desa, menggali peluang atau sumber-sumber PAD yang baru, dan mengakomodasi pelayanan kepada masyarakat di tingkat
kecamatan.
Pelimpahan sebagian wewenang ini dimaksudkan untuk meningkatkan kinerja dalam penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan serta upaya meningkatkan pelayanan masyarakat. Sebagai institusi yang relatif lebih dekat dengan masyarakat, institusi kecamatan seharusnya lebih fokus pada substansi dari pelimpahan kewenangan yang secara ideal lebih pada kewenangan-kewenangan regulasi, kontrol dan pengambilan keputusan agar dapat memberikan pelayanan lebih baik kepada masyarakat.
Kebijakan
desentralisasi berusaha mendekatkan pemerintah daerah dengan yang diperintah, yakni rakyat.
Pemerintah yang dekat dengan rakyat adalah Pemerintah Daerah. Pemerintah
(Pemerintah Daerah) yang dekat dengan yang diperintah ini lebih baik daripada
Pemerintah Pusat. Pemerintahan yang dekat dengan yang diperintah
(desentralisasi) akan mampu menyediakan layanan masyarakat lokal secara
efisien, mampu mengurangi biaya, memperbaiki output dan penggunaan
sumber daya manusia secara lebih efektif.
Desentralisasi
dapat pula meningkatkan akuntabilitas, kecakapan berpolitik (political skill),
dan integrasi nasional yang kesemuanya akan mendekatkan pemerintahan kepada
rakyat dan memberikan pelayanan yang lebih baik kepada rakyat. Di samping itu,
desentralisasi dapat pula melatih rakyat untuk terlibat dalam proses politik
baik pada skala lokal maupun nasional. Harapannya, para camat tidak hanya bisa lebih
“responsif”, tapi juga lebih cepat dan tepat dalam “merespons”
apa yang menjadi masalah, tuntutan, dan apirasi rakyat yang ada di wilayahnya.
Untuk
itulah, filosofi dan semangat desentralisasi yang mendasari formula kebijakan
tersebut hendaknya segera dikaji agar didapat formula yang lebih mendekati
realitas, mempertemukan antara kebutuhan / tuntutan masyarakat dengan kapasitas
/ potensi pemerintah
daerah.
Kerangka konsep...
Perhatian sebagian besar studi tentang kebijakan selama
ini cenderung memberi perhatian lebih pada masalah keputusan (decision)
daripada masalah kebijakan itu sendiri, sehingga perhatian para ahli pun lebih
tertuju pada masalah the moment of choice; yaitu saat-saat ditentukannya
suatu pemilihan alternatif. Saat itulah pada umumnya suatu keputusan atau
kebijakan tertentu diambil atau dirumuskan. Dengan kata lain, persoalan
perumusan kebijakan dan membiarkan masalah-masalah praktis dan rinci mengenai
implementasi kebijakan itu menjadi urusan para administrator untuk
memikirkannya. Dalam pengimplementasian kebijakan kebijakan selalu
dijumpai implementation gap; yakni istilah yang dimaksudkan untuk
menjelaskan suatu keadaan dimana dalam proses kebijakan selalu akan terbuka
kemungkinan terjadinya perbedaan antara para yang direncanakan oleh pembuat
kebijakan dengan apa yang senyatanya dicapai . Besar kecilnya perbedaan
tersebut tergantung dari implementation capacity (kemampuan suatu
organisasi untuk melaksanakan keputusan kebijakan sedemikian rupa sehingga ada
jaminan tujuan atau sasaran yang telah ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan
akan tercapai) dari organisasi yang dipercaya untuk mengemban tugas mengimplementasikan
kebijakan tersebut.
Risiko dari kebijakan yang dikeluarkan
oleh aktor pembuat digolongkan oleh Hogwood dan Gunn menjadi dua yaitu
tidak terimplementasikan (non implementation) dan implementasi yang
tidak berhasil (unsuccessful implementation). Tidak
terimplementasikan mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan
sesuai dengan rencana, mungkin karena pihak pihak yang terlibat di dalam
pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja secara efisien,
bekerja setengah hari, atau karena mereka secara tidak sepenuhnya menguasai
permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan
kekuasaannya sehingga betapapun gigih mereka berusaha hambatan hambatan yang
ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya implementasi yang efektif sukar
untuk dipenuhi.
Implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi
manakala suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai dengan rencana.
Namun, kondisi eksternal seringkali
tidak menguntungkan bagi kebijakan tersebut dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang
dikehendaki. Biasanya kebijakan yang memiliki resiko untuk gagal disebabkan
faktor pelaksanaannya yang buruk, rumusan kebijakannya yang buruk atau memang
kebijakan itu bernasib buruk. Mazmanian
& Sabatier menjelaskan makna implementasi ini dengan mengatakan bahwa :
“ ….memahami apa yang senyatanya terjadi sudah suatu program dinyatakan
berlaku atau dirumuskan merupakan
fokus perhatian implementasi kebijakan yakni
kejadian dan kegiatan yang timbul sesudah disahkannya pedoman kebijakan negara, mencakup usaha-usaha untuk
mengadministrasikannya maupun untuk
menimbulkan akibat nyata pada masyarakat atau kejadian-kejadian (S.A.Wahab,2002:65).
Kebijakan tentang pelimpahan sebagian kewenangan Bupati kepada camat yang
telah dirumuskan dan direncanakan untuk diimplementasikan sejak tahun 2002
lalu, menggambarkan kondisi tidak terimplementasikannya kebijakan dimaksud.
Artinya bahwa kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana. Banyak faktor
yang menjadi penyebab antara lain :karena pihak pihak yang terlibat di dalam pelaksanaannya
belum optimal dalam bekerjasama, SDM tidak sepenuhnya menguasai permasalahan,
atau kemungkinan permasalahan yang digarap di luar jangkauan kemampuannya
maupun dukungan kelembagaan yang tidak memadai sehingga betapapun gigih mereka
berusaha hambatan hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya
implementasi yang efektif sulit dipenuhi.
Kegagalan dalam implementasi kebijakan pelimpahan kewenangan ini antara
lain dipicu oleh rumusan kebijakannya yang kurang sempurna sehingga dalam
pelaksanaannya pun tidak dapat optimal. Idealnya pelibatan masyarakat sebagai
target group penerima kurang terakomodasi dalam proses-proses perumusan
kebijakan. Demokratisasi proses ini menjadi penting karena semakin tinggi
tuntutan masyarakat yang tidak dapat sepenuhnya terlayani oleh pemerintah.
Oleh sebab itulah, hendaknya dapat dipetakan dan diinventarisasi isu dan
bidang apa yang menjadi kebutuhan masyarakat.*
No comments:
Post a Comment