Monday, November 2, 2015

Metode Penelitian Kuantitatif

Metode Penelitian Kuantitatif
Artikel sebelumnya:
Memahami Metode Penelitian Sosial

Metode Penelitian Kuantitatif berakar dari pendekatan kuantitatif penelitian sosial yang dipengaruhi oleh paradigma positivisme yang mengiringi perkembangan ilmu sosial pada masa-masa awal, dengan pelopor August Comte dan hingga kini pun masih cukup berpengaruh. Keyakinan dasar aliran ini berakar pada paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas berada (exist) dalam kenyataan dan berjalan sesuai hukum alam (natural laws). Penelitian dalam paradigma ini berupaya mengungkap kebenaran realitas yang ada dan bagaimana realitas  tersebut senyatanya berjalan[1]. Paradigma positivisme mengadopsi logika dan tradisi ilmu alam dalam mengamati, menganalisis dan “memaknai” realitas sosial. Secara epistemologi, paradigma ini memandang pengalaman empiris sebagai sumber pengetahuan dan memandang pengetahuan memiliki kesamaan hubungan dengan aliran filsafat yang dikenal dengan nama positivisme atau dengan nama lain seperti empirisme, behaviorisme, naturalisme dan “sainsisme”.



Pandangan dan tradisi positivisme ini menyatakan bahwa ilmu (sains) adalah ilmu pengetahuan yang nyata, positivistik, yang kemudian melahirkan pendekatan-pendekatan kuantitatif dalam penelitian sosial dimana objek penelitian dilihat memiliki keberaturan yang naturalistik, empiris, dan behavioristik, karenanya objek ini harus dapat direduksi menjadi fakta yang tampak, dapat diamati, dapat dikonsepkan, dan dapat diukur  sebagai variabel-variabel yang muncul di masyarakat serta tidak terlalu mementingkan fakta sebagai makna namun mementingkan fenomena yang tampak, bebas nilai atau objektif dengan menentang habis-habisan sikap subjektif[2]. Tradisi inilah yang sangat membedakan dengan pendekatan kualitatif (baca:  Metode Penelitian Kualitatif).

Karakter “kealaman” (naturalistik) dan empiris menganggap bahwa perilaku sosial (fakta, realita) sebagai sesuatu yang memiliki ke-ajeg-an secara natural, perceived, sehingga pengukuran terhadap gejala atau fakta pun dapat direduksi dan direpresentasikan dalam angka-angka (kuantifikasi) sebagai variabel yang saling berpengaruh (hubungan sebab-akibat). Maka pengukuran yang dilakukan (penelitian) pun mengikuti karakter keajegan alamiahnya ini, yaitu menggunakan kerangka teoretik yang ketat sebagai “pagar penelitian” dan mengikat untuk menjelaskan fakta (hubungan antar variabel), menggunakan alur pikir deduktif untuk menguji teori, dan menggunakan prosedur penelitian yang ketat sehingga tampak atau berkarakter mekanis, berperspektif teknokratik, menggunakan alur penelitian yang linier[3]. Artinya, mengikuti prosedur baku dengan tatacara yang sudah fixed. Tidak ada kebaruan dalam proses dan juga hasil. Hasil penelitian kuantitatif berupa penjelasan realitas sosial secara makro, berada di permukaan (fenomena yang tampak). Ia tidak berkepentingan untuk mengetahui kenyataan yang sesungguhnya atau lebih dalam dari fenomena atau realitas sosial yang tampak itu, dan memang tidak bertujuan untuk itu. Hal yang berbeda dengan penelitian kualitatif yang berkepentingan dengan mengetahui “di balik realitas” secara mendalam, beralur penelitian non-linier, serta seringkali menggunakan pendekatan interpretif – kritis[4].
Peneliti kuantitatif pun berjarak dan terpisah dengan objek/ subjek yang diteliti. Penelitian dilakukan “terhadap objek di luar sana”. Tidak ada interaksi intensif dengan objek/ subjek yang diteliti. Pendekatan yang digunakan adalah kuantitatif. Dengan demikian metodologinya adalah kuantitatif, menggunakan angka-angka dan dilakukan secara matematis dengan alat bantu statistik dan dapat juga mengunakan software semisal SPSS (Statistical Package for Social Sciences), AMOS (Analysis of Moment Structures), dsb untuk menganalisis data. Dalam metode ini peran statistika amat sentral. Ia tidak hanya sebagai alat bantu tetapi juga sebagai cara berpikir, perangkat analisis.

Peneliti kuantitatif berpikir tentang variabel dan mengkonversinya pada tindakan spesifik analisis data[5]. Instrumen yang digunakan dalam pengumpulan data adalah kuesioner dengan daftar pertanyaan terstruktur, yang dilakukan terhadap sejumlah objek/ subjek penelitian yang disebut “responden”, yang dipilih secara acak[6] sesuai ukuran sampel (sample size)[7] dari sebuah populasi[8], dengan suatu wawancara yang bisa dilakukan secara singkat atau pengumpulan kuesioner tanpa wawancara-langsung (bisa melalui pos atau sarana internet). Mengikut karakter dan prosedur penelitian ini, maka tujuan penelitian kuantitatif ini adalah menjelaskan kehidupan sosial secara makro, bertujuan menguji teori, dan bersifat bebas nilai. Contoh penelitian kuantitatif adalah survey.

Kritik terhadap penelitian kuantitatif[9]
Fakta bahwa realitas sosial bersifat dinamis-cepat, menyimpan misteri yang seringkali berbeda dari yang tampak, sehingga melalui pengamatan di permukaan kurang dapat menjelaskan realitas yang sebenarnya, maka ada beberapa kritik terhadap metode penelitian  kuantitatif, yaitu:
  1. Gagal memberikan penjelasan yang rinci tentang orang-orang (people) dan institusi sosial dari “the world of nature” dalam pandangan Alfred Shultz.
  2. Proses pengukuran memiliki akurasi atau presisi buatan (artificial) yang palsu.
  3. Kepercayaan pada instrumen dan prosedur menghalangi hubungan antara penelitian dengan keseharian (everyday life). Hal ini terjadi karena berjaraknya peneliti dengan subjek/ objek yang diteliti sehingga “mempercayakan pada instrumen”. Responden kadangkala menjawab tidak berdasarkan keadaan yang sebenarnya.
  4. Analisis hubungan antara variabel memunculkan pandangan-statis tentang kehidupan sosial, mengabaikan proses interpretasi atau pemaknaan yang terjadi pada kelompok yang diteliti atau yang makna yang diproduksi oleh masyarakat.

Keempat kritik tersebut yang dihimpun oleh Alan Bryman ini mengisyaratkan dengan jelas kegagalan metode kuantitatif dalam menemukan “ihwal sebenarnya” atau makna yang diproduksi oleh struktur pengalaman subjek. Dengan kata lain, metode kuantitatif hanya mampu menangkap permukaan yang seringkali tidak menceritakan hal yang sebenarnya. Kelemahan-kelemahan ini –yang tidak dapat dicapai melalui metode kuantitatif- menemukan jawabannya pada metode kualitatif.***



Referensi yang digunakan adalah dari Alan Bryman, Burhan Bungin, W. Lawrence Newmann, dan Agus Salim.

Bacaan lain:
Metode Penelitian Kualitatif

No comments:

Post a Comment