Sunday, November 1, 2015

Jaran Bodhak: Simbol Eksistensi Diri Orang Pinggiran



Jaran Bodhak: Simbol Eksistensi Diri Orang Pinggiran

 Tulisan ini untuk mengenang seorang sahabat baik, tokoh seniman Kota dan Kabupaten Probolinggo, almarhum Kang Trombol (Pinto Basuki). Beliau ini salah satu narasumber untuk tulisan ini (2006). Jaran bodhak, yang dahulu merupakan "kesenian kaum pinggiran", kini menjelma menjadi kesenian popular dan menjadi kebanggaan dan icon kesenian Kota Probolinggo.

Kesenian, sebagai salah satu unsur kebudayaan, menurut Koentjaraningrat(1990), merupakan suatu bentuk ekspresi karya cipta manusia dalam tanda dan simbol, yang di dalamnya manusia memberikan makna kepada setiap kejadian, tindakan atau objek yang berkaitan dengan pikiran, gagasan dan emosi (Achmad Fedyani Saifuddin,2005). Dan di masyarakat pun, kesenian mendapat tempat yang secara alamiah menyatu dengan kehidupan sehari-hari. Dalam bahasan ini, penulis memilih salah satu jenis kesenian rakyat Kota Probolinggo yakni yang disebut “Jaran Bodhak” sebagai perwujudan simbol-simbol tersebut yang diekspresikan dalam bahasa tubuh sebagai suatu ekspresi pikiran, yang lebih lanjut memerlukan persepsi terhadapnya, sebagai salah satu ciri signifikan manusia. Secara khusus, tulisan ini hendak menyajikan suatu perubahan bentuk, makna dan fungsi pada kesenian Jaran Bodhak tersebut berdasarkan asal muasal nenek moyang kesenian tersebut bersamaan dengan asal muasal nenek moyang masyarakat Kota Probolinggo.

Di dalam pilihan pendekatan ini, yang menjadikan kegiatan kesenian sebagai suatu alat “membaca” suatu kebudayaan, mengambil pengalaman penelitian etnografis Hélène Bouvier (Bouvier, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, terj., judul Asli: La matière des emotions. Les arts du temps et du spectacle dans la société madouraise [Indonésie], École française d’Extrême-Orient, 1994), penulis berupaya untuk tidak memperlemah dengan interpretasi yang terlampau umum, dan menurut penulis, kegiatan kesenian sebaiknya tidak dibatasi sebagai ilustrasi dari kejadian social karena dapat menghilangkan kekhasannya.



Kesenian “Jaran Bodhak” Kota Probolinggo dan Makna Simboliknya

Sekilas Masyarakat Kota Probolinggo: Pendhalungan dan Tapal Kuda

Kota Probolinggo, yang secara geografis terletak di sebelah timur Kota Surabaya, yang terpaut jarak sekitar 100 km, berbatasan langsung dengan Kabupaten Probolinggo dan Kabupaten Lumajang. Secara astronomis terletak di posisi 7º 43’ LS dan 113º 13’ BT, dengan wilayah yang berada di ketinggian ± 4 m dpl seluas 56,667 km2, dihuni oleh sekitar 200.250 jiwa (data P4B tahun 2004). Masyarakat Kota Probolinggo mayoritas terdiri dari etnis Jawa, Madura, dan campuran (keturunan) Jawa – Madura. Dalam keseharian, masyarakat Kota Probolinggo berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Madura, bahasa Jawa, bahasa Jawa logat Madura yang khas Probolinggo. Masyarakat Kota Probolinggo secara geo-sosial-politik, termasuk kawasan “Tapal Kuda”, yang menurut  monografi yang ditulis oleh Hartley (1984) yang berjudul Mapping Cultural Regions of Java, secara antropologis termasuk dalam daerah kebudayaan pendhalungan. Hartley mencatat, bahwa di kawasan Tapal Kuda, yang merupakan “negeri kedua” orang Madura, berdiam masyarakat Madura dalam jumlah besar, walaupun secara cultural dan histories tetap dibedakan identitas budayanya dengan orang Madura di pulau Madura. Lebih lanjut Hartley menulis, bahwa dalam perspektif histories dan antropologis, kawasan “Tapal Kuda” merupakan tempat bertemunya masyarakat dan kebudayaan Jawa dengan masyarakat dan kebudayaan Madura. “Tapal Kuda” merupakan “negeri kedua” orang Madura. Kesulitan-kesulitan social-ekonomi, orang Madura bermigrasi ke kawasan “Tapal Kuda”. Kepentingan social-ekonomi merupakan faktor dominant yang mewarnai migrasi tersebut. Baik secara individual, maupun berkelompok, mereka datang spontan atau dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda untuk dipekerjakan sebagai buruh perkebunan di daerah “Tapal Kuda”. Orang-orang Madura dikenal sebagai pekerja keras, tekun dan ulet sehingga menarik perhatian Belanda (Sutjipto,1983, dalam Kusnadi, Masyarakat “Tapal Kuda”: Konstruksi Kebudayaan dan Kekerasan Politik, Jurnal Ilmu-Ilmu Humaniora, Vol. II No. 2, Juli 2001). Dalam beberapa dokumen sejarah Kota Probolinggo, yang masih terpisah-pisah, diketahui bahwa pada masa awal pembentukan daerah yang kini bernama (Kota) Probolinggo, pada tahun 1359 Prabu Hayam Wuruk dan pasukannya membuka tanah yang bernama Banger yang kelak bernama Kadipaten, Kabupaten Probolinggo. Dan pada masa pendudukan Belanda terpisah menjadi wilayah Kabupaten dan Kotamadya Probolinggo (sekarang Kota Probolinggo). Tampak bahwa masyarakat Kota Probolinggo, terutama terdiri dari etnis Jawa dan Madura. Hingga kini, sangat sulit untuk menyatakan orang Probolinggo (asli) sebagai orang Jawa atau orang Madura. Mereka berbahasa Madura, juga berbahasa Jawa (walaupun berlogat Madura).

Tentang “Jaran Bodhak”: Simbolik, Identitas dan Perubahan Bentuk, Makna dan Fungsi
Menurut Kusnadi (2001), tipe kebudayaan atau tradisi sosial-budaya pada kedua kelompok etnik, yakni Jawa dan Madura yang mendiami kawasan “Tapal Kuda” (termasuk Kota Probolinggo) ini, adalah kebudayaan rakyat (folk-culture). Penanda simbolik yang paling nyata dari tipe kebudayaan ini adalah pada unsur seni pertunjukan dan penggunaan secara dominant ragam bahasa kasar (ngoko) oleh masyarakatnya.

Kesenian “Jaran Bodhak”, dalam terminologi bahasa Jawa, “jaran” berarti “kuda”, dan “bodhak” (bahasa Jawa dialek Jawa Timur, khususnya wilayah timur) berarti wadah, bentuk lain. Jadi, “Jaran Bodhak” berarti kuda yang ditempati atau kuda dalam bentuk lain. Walaupun belum diketahui angka tahun yang pasti sejak kapan kesenian “Jaran Bodhak” ini mulai diciptakan dan dikenal oleh masyarakat Kota Probolinggo, namun dari hasil wawancara mendalam dengan beberapa informan penting, diketahui bahwa “Jaran Bodhak” diciptakan oleh  orang-orang Probolinggo pada waktu jaman awal-awal kemerdekaan (belum diketahui angka tahun yang pasti; perlu penelitian lanjutan). Pada waktu itu orang-orang Probolinggo, terutama orang-orang pinggiran dan miskin mendambakan suatu seni pertunjukan. Seni pertunjukan pada waktu itu yang popular di kalangan masyarakat Probolinggo adalah “Jaran Kencak”, yakni kuda (jaran) yang “ngencak” (menari). “Jaran Kencak” sebutan dalam dialek local untuk menyebut “kuda menari”, sejenis pertunjukan yang menggunakan kuda yang dilatih khusus untuk menari dan dirias dengan pakaian dan aksesoris lengkap. Kuda ini sangat jinak dan tidak bisa berlari kencang. Ia telah kehilangan “sifat kekudaannya”, dan menjadi lebih “manusiawi”. Ia sangat menurut pada tuannya, lebih-lebih ketika ada orang yang akan menaiki punggungnya, dengan sigap sang kuda akan merendahkan tubuhnya seolah mempersilakan sang tuan atau penunggang untuk menaiki punggungnya dengan mudah. “Jaran Kencak” ini biasanya digunakan sebagai seni pertunjukan pada saat orang menyelenggarakan suatu pesta hajatan (selamatan, perkawinan, sunatan). Namun yang paling lazim, “Jaran Kencak” lebih sering digunakan untuk pertunjukan pada acara sunatan (khitanan). Anak-anak yang dikhitan (sebelum atau sesudah dikhitan) dinaikkan “jaran kencak” sebagai hiburan karena mereka akan (atau telah) dikhitan. Jadi di sini terdapat konsep menyenangkan korban sebelum anak “disakiti” (karena dikhitan), atau menghibur untuk mengobati rasa sakit setelah anak-anak dikhitan.

Pada kalangan masyarakat miskin, yang karena kemiskinannya, mereka tidak mampu memiliki atau menyewa kuda untuk “jaran kencak” ini, mereka membuat modifikasi jaran kencak dengan jaran (kuda) tiruan. Bisanya terbuat dari kayu menyerupai kepala kuda sampai leher, kemudian leher kuda kayu itu disambung dengan peralatan lengkap dengan asesoris mirip ”jaran kencak” asli, yang memungkinkan seseorang dapat berdiri di dalam dan dikelilingi asesoris kuda. “Penunggang” kuda seolah-olah naik kuda, padahal ia berdiri dan berjalan (dengan kaki sendiri) dengan menyangga leher-kepala kuda lengkap dengan asesorisnya sehingga dari jauh mirip orang yang naik “jaran kencak” (lihat gambar pada lampiran tulisan ini). Itulah “jaran bodhak” alias “kuda tiruan” atau “kuda palsu”. Tentu saja “jaran bodhak” ini tidak cocok untuk “tunggangan” anak yang akan atau telah dikhitan (disunat) karena memang tidak dapat ditunggangi! Melainkan “penunggang” yang malah menyangga sang kuda! Jadilah “jaran bodhak” ini untuk pertunjukan selain acara sunatan. Jaran bodhak ini dahulu hanya untuk pertunjukan pada perhelatan warga (miskin). Mereka cukup senang dan puas dengan hiburan dengan “kuda palsu” itu.

Pada masa kini (Kota Probolinggo masa kini), “Jaran Bodhak” masih popular di kalangan masyarakat Kota Probolinggo secara umum, tidak hanya pada masyarakat miskin. Kalangan masyarakat berada juga lazim menggunakan “jasa” “kuda palsu” alias “Jaran Bodhak” ini, terutama yang menghelat acara-acara tradisional. Justru malah “Jaran Kencak” yang telah mulai memudar pamornya. Sang kuda asli (“Jaran Kencak”) malah tergeser popularitasnya oleh si “kuda palsu” alias “Jaran Bodhak”. Dan sebagai penganti posisi “Jaran Kencak” sebagai fungsi penghibur anak yang dikhitan (disunat), orang Probolinggo lebih menyukai menggunakan becak hias dengan 1 orang anak yang dikhitan. Biasanya diiringi oleh kelompok hadrah di belakang becak hias tersebut. Atau menggunakan kendaraan sejenis pick-up yang dihias selayaknya karnaval namun dengan ornament dan aneka lampu hias yang sangat mencolok, untuk dinaiki serombongan anak yang dikhitan. Biasanya diiringi oleh kelompok marching band (lazimnya dengan pemain yang juga anak-anak) di belakang mobil hias tersebut. Model seperti ini biasanya dilakukan dengan cara patungan dari beberapa keluarga yang mengkhitankan anaknya, sehingga dapat menekan biaya. Tetap, “Jaran Kencak”, lagi-lagi “tidak berguna”, karena sekarang harga sewanya terlalu mahal.

Pada tahap perubahan bentuk, makna dan fungsi yang tampak pada masa kini, kesenian “Jaran Bodhak” ini telah sampai pada tahap kenaikan status kegiatan kesenian yang tidak lagi sekadar sebagai komponen kehidupan masyarakat yang pinggiran dan remeh sebagaimana pada tahap awal terciptanya kesenian ini. Sebaliknya, kegiatan itu adalah salah satu unsur dari system masyarakat tersebut. Dalam antropologi kesenian, kegiatan kesenian ditanggapi secara setara dengan bidang kegiatan manusia yang lain, apa pun itu, sebagai suatu keseluruhan yang memiliki logika intern, dengan komponen-komponen yang dapat dikaitkan satu dengan yang lainnya (Bouvier, 2002).
Kini, seni pertunjukan “Jaran Bodhak” telah mencapai status tidak lagi kesenian pinggiran, atau kesenian kaum miskin, namun sebagai seni pertunjukan yang diangkat oleh pemerintah kota Probolinggo sebagai kesenian khas Kota Probolinggo dan digunakan pada acara-acara resmi pemerintahan, semisal penyambutan resmi pejabat pemerintahan.

Perubahan Budaya Pada Evolusi “Jaran Bodhak”

Konsep kebudayaan, menurut Marvin Harris, ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok-kelompok masyarakat tertentu seperti adat (custom), atau cara hidup masyarakat. Tetapi definisi  ini mengaburkan perbedaan antara sudut pandang orang luar dan sudut pandang orang dalam. Pola tingkah laku, adat dan pandangan hidup masyarakat, semua dapat didefinisikan, diinterpretasikan, dan dideskripsikan dari berbagai prespektif. Adalah Clifford Geertz (1992), sang pelopor pendekatan interpetif/ simbolik, melihat kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya. Pengertian kebudayaan demikian telah banyak digunakan dalam kajian-kajian antropologi “terapan,” seperti studi antropologi pembangunan yang meneliti kesesuaian antara program pembangunan dan nilai-nilai budaya masyarakat setempat. Namun sejak pertengahan dekade 1980-an, kelemahan pendekatan interpretif telah banyak dikritik oleh para antropolog Amerika sendiri, seperti James Clifford, Vincent Crapanzano, Roger Keesing, George Marcus, Sherry Ortner, dll. Konsep kebudayaan demikian menggambarkan hubungan antara simbol-simbol budaya dan kehidupan sosial sebagai suatu “hubungan satu arah” di mana simbol-simbol budaya menginformasikan, mempengaruhi dan membentuk kehidupan sosial. Dengan melihat simbol-simbol budaya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari.

Salah satu teori yang menarik perhatian para antropologi sejak pertengahan dekade 1980-an karena dinilai dapat mengisi kelemahan seperti itu adalah teori “praktek” (practice) yang dikemukakan oleh antropolog Perancis, Pierre Bourdieu. Teori praktek ini secara singkatnya menekankan “keterlibatan si subjek” dalam proses konstruksi budaya. Atau dengan kata lain, untuk memahami sudut pandang penduduk asli agar dapat mendefinisikan konsep kebudayaan. Kebudayaan  merujuk pada pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Peneliti mengamati dan menyelidiki makna tingkah laku, melihat berbagai artefak dan objek alam dan menyelidiki makna yang diberikan oleh orang-orang terhadap berbagai objek itu, serta mengamati dan mencatat berbagai kondisi emosional dan menyelidiki makna rasa takut, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain.

Konsep kebudayaan sebagai suatu symbol yang memiliki makna mempunyai kesamaan dengan interaksionisme simbolik, yang berusaha menjelaskan tingkah laku manusia. Blumer mengidentifikasikan 3 premis sebagai landasan teori ini:

Premis pertama, ”manusia melakukan berbagai hal atas dasar makna yang diberikan oleh berbagai hal itu kepada mereka”. Premis kedua, ”makna berbagai hal itu berasal dari atau muncul dari interaksi sosial seseorang dengan orang lain. Kebudayaan sebagai suatu system makna yang dimiliki bersama, dipelajari, diperbaiki, dipertahankan dan didefinisikan dalam konteks orang yang berinteraksi. Premis ketiga, ” makna ditangani atau dimodifikasi melalui suatu proses penafsiran yang digunakan oleh orang dalam kaitannya dengan berbagai hal yang dia hadapi”. Proses penafsiran  akan berjalan kalau kita menganggap kebudayaan sebagai suatu peta yang berulang-ulang dalam kehidupan sehari-hari.

Pada “Jaran Bodhak” di atas, pada saat kemunculannya (penciptaannya), terdapat system makna yang dimiliki bersama, yakni pada masyarakat pinggiran kala itu tentang suatu harapan dan hasrat akan kesenian. Terdapat symbol pemaknaan dan ekspresi kegembiraan dan simbol eksistensi kaum marginal, yang karena keterbatasannya, mereka menghendaki “hak berkesenangan” dan ber-eksistensi, dengan menggunakan instrument “Jaran Bodhak”. Ini juga berarti cara hidup masyarakat pencipta “Jaran Bodhak” tersebut. Interaksi antar anggota masyarakat tetap terekat dengan ikatan solidaritas yang tetap terjaga melalui kegiatan seni pertunjukan yang mereka ciptakan sendiri sesuai dengan “teknologi” dan kondisi bersama.

Membuat Kesimpulan Budaya

Kebudayaan, sebagai pengetahuan yang dipelajari orang sebagai anggota dari suatu kelompok, tidak dapat diamati secara langsung. Orang-orang mempelajari kebudayaan mereka dengan mengamati orang lain, mengamati mereka, dan kemudian membuat kesimpulan. Etnografer memahami hal yang dilihat dan didengarkan untuk untuk menyimpulkan hal yang diketahui orang, yang meliputi pemikiran atas kenyataan(hal yang kita pahami) atau atas premis (hal yang kita asumsikan)Anak-anak memperoleh kebudayaan dengan cara belajar dari orang-orang dewasa dan membuat kesimpulan mengenai berbagai aturan budaya untuk bertingkah laku, dengan kemahiran bahasa, proses belajar itu menjadi semakin cepat. Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya dari 3 sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang , (2) dari cara orang bertindak, (3) dari berbagai artefak yang digunakan orang.

Sebagian besar kebudayaan terdiri atas pengetahuan implisit. Etnografer membuat kesimpulan mengenai hal yang diketahui orang dengan cara mendengarkan yang mereka katakan, dengan mengamati tingkah laku mereka, dan dengan mempelajari berbagai artefak dan manfaatnya. Kebudayaan baik yang implisit maupun yang eksplisit terungkap melalui perkataan, baik dalam komentar sederhana maupun dalam wawancara panjang. Bahasa merupakan alat untuk menyebarkan kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kebanyakan kebudayaan dituliskan dalam bentuk linguistic. Wawancara etnografis merupakan suatu strategi untuk membuat orang berbicara mengenai hal yang mereka ketahui (Spradley, 1997).

Perubahan Budaya dan Politik Identitas

Studi perubahan budaya memfokuskan pada studi tentang system ide, gagasan, norma-norma sebagai pedoman perilaku pada masyarakat. Studi perubahan budaya komparatif diakronik, yang berupaya memperbandingkan perubahan budaya antara dua rentangan waktu yang berbeda, untuk menguji perubahan budaya antara dua rentang waktu yang berbeda tersebut, pada tulisan ini sedikit mengalami kesulitan karena tidak ada dokumen baik yang berupak laporan hasil penelitian, buku atau rujukan lain yang menceritakan kondisi budaya pada suatu rentang waktu tertentu di masa lampau. Julian H. Steward, dalam Theory of Culture Change, menjelaskan bahwa metodologi evolusi multilinear didasarkan pada asumsi perubahan-perubahan signifikan yang terjadi secara teratur dalam periode tertentu. Ia tunduk pada hukum-hukum kebudayaan dan rekonstruksi sejarah (1976:18). Dalam kasus “Jaran Bodhak” di atas, penulis tidak dapat menemukan informasi tersebut di masa lampau melalui sebuah karya tulis terdahulu karena memang tidak ada dokumen tertulis tentang “Jaran Bodhak”. Penulis mendapatkan informasi tentang kondisi masyarakat Kota Probolinggo pada setting saat “Jaran Bodhak” mula diciptakan, berdasarkan data yang dihimpun pada masa kini. Keterbatasan ini sebenarnya kurang memuaskan, namun kondisi pula yang menyebabkannya. Tetapi penulis sempat berbahagia karena para informan adalah tokoh-tokoh senior yang rata-rata berusia 60 – 70 tahunan, beberapa di antaranya lebih muda (sekitar 40 – 50 tahun) karena mereka ini adalah pengamat, peminat seni local serta pelaku kesenian local. Serta 1 orang pelestari seni “Jaran Bodhak” ini yakni Pak Nur Selamet (60 tahun), sang juragan “Jaran Bodhak”. Termasuk penulis sendiri yang seringkali bergaul dan berbaur dengan komunitas kesenian rakyat Kota Probolinggo. Sekaligus, penulis berkehendak, tulisan ini nantinya menjadi sempurna –dengan penelitian lanjutan-, sehingga dapat menjadi rujukan bagi penelitian selanjutnya khususnya tentang kesenian rakyat, folk-culture, folklore, kearifan local, dan studi-studi budaya lainnya. Dan lebih khusus lagi, objek-objek yang belum terdokumentasikan atau bahkan mungkin belum tersentuh peneliti.
Evolusi “Jaran Bodhak” hingga bentuk, makna dan fungsinya sekarang, mengingat kondisi local/ daerah Kota Probolinggo yang sebenarnya kaya budaya local namun masih miskin pendokumentasian karena minimnya perhatian pihak yang berkompeten, pada masa sekarang ini, menyebabkan statusnya terangkat sampai “dinobatkan” menjadi seni pertunjukan resmi oleh Pemerintah Kota Probolinggo. Walaupun “penobatan” tersebut tanpa melalui “prosedur resmi” berupa penelitian, pendokumentasian (dalam bentuk buku atau laporan hasil penelitian), namun rekomendasi lisan kepada Walikota setempat, dan penelitian itu datang terlambat, namun kini telah membawa hasil baik. “Hanya” berbekal konsep orisinalitas dan inovasi masyarakat asli Kota Probolinggo dalam mencipta “Jaran Bodhak” atau tepatnya meng-evolusi “Jaran Kencak”, “Jaran Bodhak” telah menempati “posisi terhormat”. Inilah perubahan budaya dan politik identitas, yang melandaskan pada gagasan bahwa manusia dapat bertindak demi tujuan tertentu dan secara kreatif, berdasarkan pada konsep orisinalitas dan inovasi. (Barker,2005:244). Identitas mencakup identitas diri sekaligus social. Ia berkaitan dengan hal yang personal sekaligus social tentang diri kita serta hubungan kita dengan orang lain. Dinyatakan bahwa identitas sepenuhnya bersifat cultural dan tidak ada di luar representasi dirinya dalam wacana cultural (ibid., hal. 252). “Jaran Bodhak”adalah identitas cultural masyarakat Kota Probolinggo, dan ia adalah politik identitas berdasarkan definisi di atas. Dan menurut Fritjof Capra, dalam  Titik Balik Peradaban, dinyatakan bahwa kelompok-kelompok manusia, masyarakat dan kebudayaan mempunyai jiwa kolektif, dan oleh karena itu juga memiliki kesadaran kolektif (2004:360). Maka “Jaran Bodhak” sebagai produk (perubahan) budaya telah mengikat kesadaran kolektif manusia dengan budayanya, sebagai sebuah identitas budaya (baru)***.

Referensi
 Buku:
Achmad Fedyani Saifuddin, Ph. D, 2005, Antropologi Kontemporer, Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma, Penerbit Prenada Media, Jakarta.
Anonimous, Sejarah Kota Probolinggo, Kantor Informasi dan Komunikasi Kota Probolinggo, booklet, 2004.
Barker, Chris, 2005, Cultural Studies: Teori dan Praktik, PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta.
Bouvier, Hélène, Lèbur! Seni Musik dan Pertunjukan Dalam Masyarakat Madura, terj., judul Asli: La matière des emotions. Les arts du temps et du spectacle dans la société madouraise (Indonésie), École française d’Extrême-Orient, 1994.
Capra, Fritjof, 2004, Titik Balik Peradaban: Sains, Masyarakat dan Kebangkitan Kebudayaan,  PT. Bentang Pustaka , Yogyakarta.
Clifford Geertz, terj., Fransisco Budi Hardiman, 1992, Tafsir Kebudayaan, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Gadamer, Hans-Georg, 2005, Kebenaran dan Metode, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Koentjaraningrat, 1990, Pengantar Ilmu Antropologi, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
Koentjaraningrat, 1997, Metode-metode Penelitian Masyarakat, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Kaplan, David, and Robert A. Manners, 1968, Theory in Anthropology, A Sourcebook, Brandeis University, Chicago.
Manners, Robert A., Theory of Anthropology, A Sourcebook, Aldine Publishing Company, Chicago, 1968.
Mulyana, Dr. Deddy, M.A. (Ed.), 2003, Komunikasi Antar Budaya, Panduan Berkomunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya, Penerbit Remaja Rosdakarya, Bandung.
Ihromi, T.O., Prof. (ed.), 1999, Pokok-pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Peursen, C.A., Prof. Dr., 1976, Strategi Kebudayaan, diindonesiakan oleh Dick Hartoko, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.
Spradley, James P., 1997, Metode Etnografi, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Steward, Julian H., Theory of Culture Change, The Methodology of Multilinear Evolution, University of Illinois, Urbana Chicago, London, 1976.
Zaltman, Gerald, Process and Phenomena of Change, John Wiley & Sons, Inc., 1972.

Sumber lain:
Hasil wawancara mendalam dengan :
  1. Bpk. Soepardjono, S.Sos (Ketua Dewan Kesenian Kota Probolinggo).
  2. Sdr. Drs. Penny Priyono (Pegiat Seni Kota Probolinggo, Pembina Sanggar Seni Probolinggo Bestari).
  3. Sdr. Pinto “Trombol” Basuki (Pegiat Seni Kabupaten Probolinggo). Kini beliau telah almarhum. Wawancara dilakukan pada tahun 2006 ketika beliau masih hidup. Semasa hidupnya, Kang Trombol ini aktif membina kesenian termasuk seni teater di Kabupaten dan Kota Probolinggo.
  4. Bpk. Drs. Mulyono (Kepala Kantor Arsip Kota Probolinggo, pengamat seni-budaya Kota Probolinggo).
  5. Bpk. Drs. H. HS. Imam Soemantri (tokoh senior Kota Probolinggo, mantan Kepala Kantor Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Kotamadya Probolinggo).
  6. Bpk. Drs. Koentjoro Soehadi MD, BA, MSc (tokoh senior Kota Probolinggo, Wakil Walikota Probolinggo 2003 – 2008).
  7. Bpk. Drs. Markasan (tokoh senior Kota Probolinggo).
  8. Bpk. Nur Selamet (juragan kesenian “Jaran Bodhak” Kota Probolinggo).
______________________
Ditulis oleh: Wawan E. Kuswandoro

Bacaan lain:
Mengenal Masyarakat dan Budaya Tengger
Wayang dalam Budaya Jawa
Perayaan Gerebek Besar: Makna Spiritual dan Politik
Memahami Realitas Sosial Tanpa Prasangka: Fenomenologi




 

No comments:

Post a Comment