Monday, November 2, 2015

Perspektif Sosial Dalam Mengatasi Kemiskinan

Perspektif Sosial Dalam Mengatasi Kemiskinan

Kemiskinan, yang secara umum dilukiskan sebagai kondisi ketidakberdayaan dan keterbatasan akses sumberdaya, telah memunculkan beragam pendekatan dalam mendefinisikan, mendeskripsikan, yang lebih lanjut mempengaruhi penanganannya. 

Tulisan singkat ini disusun sebagai bahan diskusi pemetaan dan penanganan kemiskinan bersama para fasilitator dan operator Program Keluarga Harapan (PKH) di Kabupaten Probolinggo. Gagasan tulisan ini menawarkan pemahaman kemiskinan dari kondisi empiris, masalah yang dihadapi keluarga miskin, penyebab miskin, indikator kemiskinan dan upaya menanganinya sesuai dengan kondisi riil masyarakat secara ekonomi dan sosial. Pendekatan ekonomi yang sering digunakan, berakar dari perpektif pertumbuhan ekonomi dan teori modernisasi yang berakhir pada “penyalahan” kepada golongan miskin. Padahal problema kemiskinan berada pada dimensi yang melebihi angka-angka ekonomi. Ini menyangkut kelemahan, kerentanan dan ketidakberdayaan (kemiskinan) yang berhubungan dengan sistem dan pranata sosial. 



Perspektif Kemiskinan

Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama diperbincangkan karena berkaitan dengan tingkat kesejahteraan masyarakat dan upaya penanganannya. Dalam Panduan Keluarga Sejahtera (1996: 10), kemiskinan adalah suatu keadaan dimana seorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri dengan taraf kehidupan yang dimiliki dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga, mental maupun fisiknya dalam memenuhi kebutuhannya. Dalam Panduan IDT (1993: 26) bahwa kemiskinan adalah situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki oleh si miskin, melainkan karena tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya.

Kemiskinan ini ditandai oleh sikap dan tingkah laku yang menerima keadaan yang seakan-akan tidak dapat diubah yang tercermin di dalam lemahnya kemauan untuk maju, rendahnya kualitas sumber daya manusia, lemahnya nilai tukar hasil produksi, rendahnya produktivitas, terbatasnya modal yang dimiliki berpartisipasi dalam pembangunan. Mengamati secara mendalam tentang kemiskinan dan penyebabnya akan muncul berbagai tipologi dan dimensi kemiskinan karena kemiskinan itu sendiri multikompleks, dinamis, dan berkaitan dengan ruang, waktu serta tempat dimana kemiskinan dilihat dari berbagai sudut pandang. Kemiskinan dibagi dalam dua kriteria yaitu kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang diukur dengan tingkat pendapatan yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya sedangkan kemiskinan relatif adalah penduduk yang telah memiliki pendapatan sudah mencapai kebutuhan dasar namun jauh lebih rendah dibanding keadaan masyarakat sekitarnya. Kemiskinan menurut tingkatan kemiskinan adalah kemiskinan sementara dan kemiskinan kronis.

Dari berbagai pandangan tentang kemiskinan yang diberikan oleh para pakar, pada substansinya berakar pada terminologi kondisi kekurangan, kelemahan, ketidakberdayaan. Seperti yang dikemukakan oleh John Friedman, yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan dasar individu sebagai manusia. Sementara Chambers menggambarkan kemiskinan, terutama di perdesaan mempunyai 5 karakteristik yang saling terkait: kemiskinan material, kelemahan fisik, keterkucilan dan keterpencilan, kerentanan dan ketidakberdayaan. Dari kelima karateristik tersebut yang perlu mendapat perhatian adalah kerentanan dan ketidakberdayaan.
Kerentanan adalah ketidakmampuan keluarga miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa keluarga miskin. Kerentanan sering menimbulkan kondisi memprihatinkan yang menyebabkan keluarga miskin harus menjual harta benda dan aset produksinya sehingga mereka makin rentan dan tidak berdaya. Secara ekonomi kemiskinan dapat didefinisikan sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan meningkatkan kesejahteraan sekelompok orang. Sumber daya dalam konteks ini menyangkut tidak hanya aspek finansial, melainkan pula semua jenis kekayaan (wealth) yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Kenyataannya menunjukkan bahwa menunjukkan bahwa kemiskinan tidak bisa didefinisikan dengan sangat sederhana, karena tidak hanya berhubungan dengan kemampuan memenuhi kebutuhan material (perspektif ekonomi), tetapi juga sangat berkaitan dengan dimensi kehidupan manusia berikut ini (perspektif sosial):
  • Terbatasnya kecukupan dan mutu pangan, dilihat dari stok pangan yang terbatas, rendahnya asupan kalori penduduk miskin dan buruknya status gizi bayi, anak balita dan ibu.
  • Terbatasnya akses dan rendahnya kesehatan, yang disebabkan oleh kesulitan mendapatkan mutu layanan kesehatan, kurangnya pemahaman terhadap perilaku hidup sehat, kurangnya layanan reproduksi jarak fasilitas layanan kesehatan yang jauh, biaya pengobatan dan pelayanan yang mahal. Disisi lain, utilisasi rumah sakit masih didominasi oleh golongan mampu, sedangkan masyarakat miskin cenderung memanfaatkan pelayanan di puskesmas. Demikian juga persalinan oleh tenaga kesehatan dan asuransi kesehatan sebagai suatu bentuk sistem jaminan sosial pada penduduk miskin.
  • Terbatasnya akses dan rendahnya mutu layanan pendidikan, yang disebabkan oleh kesenjangan biaya pendidikan, fasilitas pendidikan yang terbatas, biaya pendidikan yang mahal, kesempatan memperoleh pendidikan yang terbatas, tingginya beban biaya pendidikan baik biaya langsung maupun tidak langsung.
  • Terbatasnya kesempatan kerja dan berusaha, yakni lemahnya perlindungan terhadap aset usaha, dan perbedaan upah serta lemahnya perlindungan kerja terutama bagi pekerja anak dan pekerja perempuan seperti buruh migran perempuan dan pembantu rumah tangga.
  • Terbatasnya akses layanan perumahan dan sanitasi. Masyarakat miskin yang tinggal di kawasan nelayan, pinggiran hutan, dan pertanian lahan kering kesulitan memperoleh perumahan dan lingkungan pemukiman yang sehat dan layak.dalam satu rumah seringkali di jumpai lebih dari satu keluarga dengan fasilitas sanitasi yang kurang memadai.
  • Terbatasnya akses terhadap air bersih. Kesulitan untuk mendapatkan air bersih terutama disebabkan oleh terbatasnya penguasaan sumber air dan menurunnya mutu sumber air bersih.
  • Lemahnya kepastian kepemilikan dan penguasaan tanah. Masyarakat miskin menghadapi masalah ketimpangan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah, serta ketidakpastian dalam penguasaan dan kepemilikan lahan pertanian. Kehidupan rumah tangga petani sangat dipengaruhi oleh aksesnya terhadap tanah dan kemampuan mobilisasi anggota keluarganya untuk bekerja diatas tanah pertanian.
  • Memburuknya kondisi lingkungan hidup dan sumber daya alam, serta terbatasnya akses masyarakat terhadap sumber daya alam. Masyarakat miskin yang tinggal di daerah pedesaan, kawasan pesisir, daerah pertambangan dan daerah pinggiran hutan sangat tergantung pada sumber daya alam sebagai sumber penghasilan.
  • Lemahnya jaminan rasa aman.
  • Lemahnya partisipasi. Berbagai kasus penggusuran di perkotaan, pemutusan hubungan kerja secara sepihak dan pengusiran petani dari wilayah garapan menunjukkan kurangnya dialog dan lemahnya partisipasi mereka dalam pengambilan keputusan. Rendahnya partisipasi masyarakat miskin dalam perumusan kebijakan juga disebabkan oleh kurangnya informasi baik mengenai kebijakan yang akan dirumuskan maupun mekanisme perumusan yang memungkinkan keterlibatan mereka.
  • Besarnya beban kependudukan, yang disebabkan oleh besarnya tanggungan keluarga dan adanya tekanan hidup yang mendorong terjadinya migrasi. Rumah tangga miskin (RTM) mempunyai rata-rata anggota keluarga besar daripada rumah tangga tidak miskin.

Keterkaitan Antara Kemiskinan dan Pengangguran
Dari definisi kemiskinan tersebut maka untuk mengindentikan bahwa masyarakat dikatakan miskin berarti pengangguran tidak dapat dilakukan. Hal ini disebabkan pengangguran merupakan situasi yang disebabkan oleh faktor orang-orang yang bekerja di bawah kapasitas optimalnya (pengangguran terselubung), dan faktor orang-orang yang sebenarnya mampu dan ingin bekerja, akan tetapi tidak mendapat lapangan pekerjaan sama sekali (pengangguran penuh). Untuk itu, upaya penanggulangan kemiskinan dan pengangguran adalah dengan melakukan distribusi pendapatan melalui penciptaan lapangan kerja berupah memadai bagi kelompok-kelompok masyarakat yang miskin. Dengan adanya upaya perluasan lapangan kerja maka perlu mendapat dukungan dari berbagai tindakan kebijakan dan regulasi baik di bidang ekonomi maupun sosial yang berjangkauan lebih jauh lagi. Oleh karena itu, masalah ketanaga kerjaan harus senantiasa diperhitungkan sebagai salah satu unsur utama dalam setiap perumusan strategi pembangunan ekonomi nasional yang berorientasi kepada usaha penanggulangan kemiskinan.

Untuk itu, partisipasi hanya dimungkinkan berjalan dengan baik, bila berangkat dari kesadaran dan prakarsa aktif masyarakat. Kesadaran dan prakarsa ini akan muncul bila masyarakat memiliki daya dan posisi tawar yang tinggi dalam mengakses, mengelola, dan mendayagunakan sumberdaya disekitarnya secara optimal. Partisipasi hanya mungkin terjadi bila terdapat keseimbangan antara daya /posisi tawar masyarakat yang diharapkan menjadi aktor utama utama pembanguan dan pemerintah. Dalam konteks ini, pemberdayaan (empowerment) menjadi kunci keberhasilan dalam meningkatkan kapasitas masyarakat untuk berpartisipasi aktif bukan hanya dimobilisasi.

Penyebab Kemiskinan
Dari pengertian kemiskinan tersebut maka berbagai faktor yang menyebabkan kemiskinan juga secara umum lebih banyak disebabkan oleh faktor alamiah di mana kondisi alam dan wilayahnya tidak mampu mendukung kehidupan warganya, serta faktor struktural di mana kemiskinan yang timbul dari bentukan karena struktur masyarakatnya yang penuh ketidakadilan. Sementara itu, Arif Budiman (2000: 289) membedakan kemiskinan menjadi dua yaitu: kemiskinan kultural, yaitu kemiskinan sebagai akibat karakter budaya serta etos kerja yang rendah, dan kemiskinan struktural yaitu akibat dari struktur yang timpang. Dalam hal ini, faktor penyebab kemiskinan terutama kemiskinan struktural lebih banyak menjadi bahan kajian dibandingkan faktor alamiah. Padahal jika dilihat perkembangan teknologi saat ini, kajian terhadap faktor alamiah masih bisa dimungkinan dengan melakukan rekayasa alam untuk menjadi wilayah yang memiliki nilai ekonomis bagi masyarakatnya. Sementara itu, kajian terkait kemiskinan struktural oleh Selo Sumardjan (Alfian et.al, 1980: 8) dikemukakan bahwa kemiskinan struktural tidak hanya terwujud dengan kekurangan pangan tetapi juga karena kekurangan fasilitas pemukiman yang sehat, kekurangan pendidikan, kekurangan komunikasi dengan dunia luar, bahkan perlindungan hukum.

Beberapa penyebab kemiskinan yaitu kemiskinan sementara, yakni kemiskinan yang terjadi sebab adanya bencana alam dan kemiskinan kronis yaitu kemiskinan yang terjadi pada mereka yang kekurangan ketrampilan, aset, dan stamina (Aisyah, 2001: 151). Penyebab kemiskinan menurut Kuncoro (2000: 107) sebagai berikut: 1. Secara makro, kemiskinan muncul karena adanya ketidaksamaan pola kepemilikan sumber daya yang menimbulkan distribusi pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah; 2. Kemiskinan muncul akibat perbedaan kualitas sumber daya manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah, upahnya pun rendah; 3. kemiskinan muncul sebab perbedaan akses dan modal. Ketiga penyebab kemiskinan itu bermuara pada teori lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty). Adanya keterbelakangan, ketidak-sempurnaan pasar, kurangnya modal menyebabkan rendahnya produktivitas. Rendahnya produktivitas mengakibatkan rendahnya pendapatan yang mereka terima. Rendahnya pendapatan akan berimplikasi pada rendahnya tabungan dan investasi, rendahnya investasi akan berakibat pada keterbelakangan dan seterusnya.

Menurut Bayo (1996: 18), yang mengutip pendapat Chambers bahwa ada 5 “ketidakberuntungan” yang melingkari orang atau keluarga miskin yaitu sebagai berikut:

  1. Kemiskinan (poverty) memiliki tanda-tanda sebagai berikut: rumah mereka reot dan dibuat dari bahan bangunan yang bermutu rendah, perlengkapan yang sangat minim, ekonomi keluarga ditandai dengan ekonomi gali lubang tutup lubang serta pendapatan yang tidak menentu; Ketidak sempurnaan pasar Keterbelakangan Ketinggalan kekurangan modal investasi rendah Produktivitas rendah tabungan rendah pendapatan rendah.
  2. Masalah kerentanan (vulnerability), kerentanan ini dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga miskin menghadapi situasi darurat. Perbaikan ekonomi yang dicapai dengan susah payah sewaktu-waktu dapat lenyap ketika penyakit menghampiri keluarga mereka yang membutuhkan biaya pengobatan dalam jumlah yang besar.
  3. Masalah ketidakberdayaan. Bentuk ketidakberdayaan kelompok miskin tercermin dalam ketidakmampuan mereka dalam menghadapi elit dan para birokrasi dalam menentukan keputusan yang menyangkut nasibnya, tanpa memberi kesempatan untuk mengaktualisasi dirinya
  4. Lemahnya ketahanan fisik karena rendahnya konsumsi pangan baik kualitas maupun kuantitas sehingga konsumsi gizi mereka sangat rendah yang berakibat pada rendahnya produktivitas mereka.
  5. Masalah keterisolasian. Keterisolasian fisik tercermin dari kantongkantong kemiskinan yang sulit dijangkau sedang keterisolasian sosial tercermin dari ketertutupan dalam integrasi masyarakat miskin dengan masyarakat yang lebih luas. Dari berbagai teori yang ada bahwa kemiskinan itu adalah mereka yang tak mampu memiliki penghasilan yang layak untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Mereka membutuhkan uluran tangan dan bantuan orang lain mencukupi kebutuhannya.

Seseorang atau sebuah keluarga yang miskin acapkali mampu tetap survive dan bahkan bangkit kembali terutama bila mereka memiliki jaringan atau pranata sosial yang melindungi dan menyelamatkan. Tetapi, seseorang  atau keluarga yang jatuh pada lingkaran setan atau perangkap kemiskinan, mereka umumnya sulit untuk bangkit kembali. Seseorang yang dibelit perangkap kemiskinan acapkali tidak bisa ikut menikmati hasil pembangunan dan justru menjadi korban pembangunan, rapuh, tidak atau sulit mengalami peningkatan kualitas kehidupan, dan bahkan acapkali justru mengalami penurunan kualitas kehidupan (Suyanto, 1996).

Secara empirik, banyak bukti memperlihatkan bahwa naiknya penduduk di atas garis kemiskinan tidak otomatis berarti penduduk tersebut hidupnya benar-benar bebas dari ancaman dan perangkap kemiskinan, melainkan penduduk tersebut sebenarnya hanya berpin-dah dari satu tahap kemiskinan yang terendah —yaitu tahap destitute— ke tahap apa yang disebut sebagai near poor. Dibandingkan dengan kelompok kemiskinan destitue, kelompok near poor hidupnya memang relatif lebih baik, namun belum benar-benar stabil. Dalam arti bila sewaktu-waktu kelompok near poor ini menghadapi suatu krisis, maka dengan cepat kelompok near poor ini akan melorot lagi ke status destitue. Contoh, sebuah keluarga petani yang termasuk kelompok near poor tidak mustahil terpaksa turun kelas menjadi kelompok destitue bila tanpa diduga panen mereka tiba-tiba gagal karena serangan hama, karena serangan banjir, atau karena anjloknya harga jual di pasaran akibat ulah spekulan gabah.
Dalam kenyataan bahkan acap terjadi, kelompok masyarakat yang termasuk cukupan atau kaya —bukan kelompok near poor— tiba-tiba harus mengalami penurunan status yang drastis, yakni masuk ke dalam kelompok “keluarga miskin baru”.  Jadi, berbeda dengan kesan dan pengumuman yang dikeluarkan pemerintah belakangan ini yang menyebutkan jumlah orang miskin di Indonesia senantiasa turun dari waktu ke waktu, dalam kenyataan justru tidak jarang terjadi penambahan jumlah orang miskin. Studi yang dilakukan Bagong Suyanto di sejumlah daerah di Jawa Timur menemukan bahwa kelompok masyarakat yang selama dua-tiga tahun terakhir terpaksa turun statusnya dari kelompok cukupan menjadi “keluarga miskin baru” adalah kelompok petani cengkeh dan petani garam (Suyanto, 1996). Studi yang dilakukan Bagong Suyanto tersebut, walau dengan jumlah sampel yang terbatas, namun membuktikan bahwa usaha untuk memberantas kemiskinan memang bukan hal yang mudah, sebab apa yang dialami keluarga dan masyarakat miskin bukan sekedar kekurangan pendapatan atau tidak dimilikinya modal usaha saja, tetapi lebih dari itu yang sesungguhnya membelenggu keluarga dan masyarakat miskin adalah apa yang disebut Robert Chambers dengan istilah perangkap kemiskinan atau lingkaran setan kemiskinan.

Perspektif Sosial
Masalah kemiskinan tidak akan pernah selesai hanya karena menggunakan cara pandang ekonomi. Proses pembangunan yang berlangsung selama ini telah melahirkan fenomena kemiskinan dengan ciri yang amat kental, misalnya keterbelakangan, keterpencilan, ketidakberdayaan dan ketersisihan. Ciri ini, bahkan seringkali dianggap sebagai derivasi paling buruk dari fenomena kemiskinan. Proses pembangunan yang terlalu ekonomi-sentris seperti yang dipraktekkan selama ini, telah menyebabkan rapuhnya nilai-nilai sosial (social values) dan memudarnya kohesi sosial (social cohesion) dalam masyarakat. Kita dengan mudah dapat menyaksikan berbagai kerusuhan sosial (social unrest), konflik vertikal dan horizontal, perampasan, kriminalitas, dan seterusnya. Di sisi lain, semangat individualistik dan kehidupan hedonisme, semakin menemukan bentuknya. Akibatnya, solidaritas sosial dan sikap empati menjadi sesuatu yang mahal dan langka. Di tengah situasi seperti itu, solusinya adalah menumbuh-kembangkan sikap hidup sosial yang lebih egaliter, sebuah sikap yang lebih menghargai persamaan dan distribusi pendapatan yang lebih merata antar lapisan masyarakat. Dalam konteks ini, yang diperlukan adalah bagaimana membangun sebuah mekanisme yang mampu menumbuhkan keinginan masyarakat untuk ”menyerahkan” sebagian dari total pendapatannya guna mewujudkan distribusi pendapatan yang lebih egalitarian. Dalam pandangan egalitarian income distribution yang diperkenalkan oleh Sir Hugh Dalton, seorang profesor keuangan publik di London School of Economics, seluruh masyarakat sesungguhnya menghendaki pemerataan, persamaan hak, dan keadilan sosial yang lebih baik guna mewujudkan kehidupan sosial yang lebih harmonis. Kerangka konseptual dan metodologi untuk pengukuran kemiskinan pun seyogyanya tidak melihat orang miskin sebagai orang yang serba tidak memiliki, melainkan orang yang memiliki potensi (sekecil apa pun potensi itu), yang dapat digunakan dalam mengatasi kemiskinannya. Cara pandang baru ini tidak lagi melihat “apa yang tidak dipunyai orang miskin” melainkan lebih menekankan pada “apa yang dimiliki orang miskin”. Asset perseorangan dan sosial merupakan potensi penting yang dimiliki kaum miskin, dan oleh karena itu, penanganan kemiskinan harus diorientasikan pada upaya peningkatan kualitas asset tersebut. Di kalangan para pengambil kebijakan dewasa ini, muncul persepsi yang kuat bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan upaya cerdas untuk memperbaiki “asset” kaum miskin. Diyakini bahwa dengan memperbaiki dan meningkatkan kualitas ”asset” tersebut akan sanggup memperbaiki taraf hidup mereka dalam jangka panjang. Mengalokasikan pengeluaran pemerintah untuk pendidikan dan kesehatan dengan proporsi yang memadai, dianggap sebagai salah satu strategi terbaik untuk mereduksi kemiskinan. Dengan strategi ini diharapkan pengeluaran kaum miskin untuk memenuhi kebutuhan dasarnya dapat dikurangi, misalnya dengan cara menyediakan biaya pendidikan dan kesehatan secara gratis dan meningkatkan akses penduduk miskin terhadap fasilitas sosial dan ekonomi . Dalam jangka panjang, upaya seperti ini diharapkan akan mampu meningkatkan produktivitas penduduk miskin sehingga pada gilirannya mereka mampu melepaskan diri dari jerat kemiskinan.

Strategi Penanganan Kemiskinan
Dengan banyak pengertian dan penyebab kemiskinan yang dikemukakan oleh para ahli maka untuk mengukur kriteria seseorang dapat dikatakan miskin atau tidak diperlukan ukuran yang tepat dan berlaku umum. Hal ini yang menyebabkan adanya perbedaan penilaian tentang batas-batas garis-garis kemiskinan, sehingga masalah kemiskinan menjadi sangat normatif. Ada beberapa ukuran yang mendekati seperti yang disampaikan oleh Emil Salim (1984:42-43) bahwa ada 5 ciri kemiskinan yang meliputi: 1) tidak memiliki faktor produksi, 2) tingkat pendidikan rendah, 3) tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri, 4) kebanyakan tinggal di desa, dan 5) banyak hidup di kota, berusia muda dan tanpa skill.

Disamping itu, ada beberapa dimensi terkait pengertian kemiskinan, baik yang melihat dari dimensi kesejahteraan material, maupun kesejahteraan sosial. Konsep yang menempatkan kemiskinan dibagi dalam dua jenis, seperti yang disampaikan Suwondo (1982:2) bahwa kemiskinan terbagai menjadi kemiskinan mutlak (absolute proverty) yaitu: individu atau kelompok yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasarnya, bahkan kebutuhan fisik minimumnya, dan kemiskinan relatif (relative proverty) yaitu menekankan ketidaksamaan kesempatan dan kemampuan diantara lapisan masyarakat untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan dalam menikmati kehidupannya.

Untuk itu, keberpihakan terhadap masyarakat dalam arah kebijakan pembangunan sangat diperlukan dalam mengatasi permasalahan kemiskinan dan pengangguran. Hal ini disampaikan Sri Mulyani (Soetrisno ed. 1995:2) menegaskan bahwa kebijakan yang mampu menjawab masalah kemiskinan dengan tetap mempertahankan pertumbuhan adalah dengan membuka kemungkinan golongan miskin untuk berpartisipasi dalam proses pertumbuhan itu sendiri. Dengan adanya kebijakan tersebut maka upaya untuk meningkatkan akses penduduk miskin agar dapat memperoleh, memanfaatkan, dan mengelola sumber daya yang tersedia. Namun permasalahannya adalah, logika pertumbuhan yang diadopsi dari pemikiran neoliberalisme meniscayakan persaingan dan kekuatan untuk berpartisiapsi dalam pertumbuhan ekonomi. Dan dalam posisi ini, kaum miskin tidak memiliki kekuatan apa-apa (powerless). Maka perlu perekonstruksian ulang terhadap program pembangunan yang melibatkan partisiapsi warga miskin. Partisipasi erat kaitannya dengan kemampuan., maka untuk menyokong kemampuan dasar masyarakat miskin, perlu mengembangkan program-program yang di-setting secara bertahap sesuai dengan kondisi si miskin.

Sebagai salah satu langkah penanggulangan kemiskinan maka proses partisipasi masyarakat paling tidak ada tiga tahapan mulai dari perencanaan, pelaksaanaan, dan pemanfaatan. Keterlibatan tersebut dapat dilihat dari: keterlibatan mental dan emosi, kesediaan memberi sumbangan/atau sukarela membantu, dan adanya tanggung jawab. Untuk itu, Y. Slamet (1993:3) memberi pengertian bahwa sebagai keterlibatan aktif dan bermakna dari massa penduduk pada tingkatan yang berbeda, a) di dalam proses pembentukan keputusan untuk menentukan tujuan-tujuan kemasyarakatan, b) pelaksanaan program-program atau proyek secara sukarela, dan c) pemanfaatan hasil-hasil dari suatu program atau suatu proyek. Pada tahap awal sesuai dengan kondisi masyarakat miskin, dapat diinisiasi suatu “program untuk menolong sekarang” yang dilanjutkan dengan program-program yang berkekuatan jangka panjang.

Perubahan paradigma pada upaya penanggulangan kemiskinan, yakni dengan memberi peran masyarakat sebagai aktor utama atau subyek pembangunan sedangkan pemerintah sebagai fasilitator, membutuhkan partisipasi masyarakat. Sedangkan masyarakat miskin yang masih berkutat pada “persoalan perut” akan sangat sulit berpartisipasi dalam proses pembangunan dan pertumbuhan ekonomi sebagaimana sering didengungkan para penganut ajaran pertumbuhan.

Exit Strategy dan Pemberdayaan Masyarakat Dalam Penanggulangan Kemiskinan
Pemberdayaan masyarakat merupakan suatu proses dimana masyarakat -khususnya mereka yang kurang memiliki akses kepada sumber daya pembangunan- didorong untuk meningkatkan kemandirian dalam mengembangkan perikehidupan mereka. Pada prinsipnya, masyarakat mengkaji tantangan utama pembangunan mereka lalu mengajukan kegiatan-kegiatan yang dirancang untuk mengatasi masalah ini. Aktivitas ini kemudian menjadi basis program lokal, regional dan bahkan nasional. Target utama pendekatan ini adalah kelompok yang termarjinalkan dalam masyarakat. Namun demikian, hal ini tidak berarti menafikan partisipasi dari kelompok-kelompok lain. Pemberdayaan masyarakat merupakan proses siklus terus menerus, proses partisipatif dimana anggota masyarakat bekerja sama dalam kelompok formal maupun informal untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman serta berusaha mencapai tujuan bersama.

Mengembangkan pendekatan pemberdayaan masyarakat akan meningkatkan efektifitas dan efesiensi penggunaan sumber daya pembangunan yang semakin langka. Pendekatan ini akan meningkatkan relevansi program pembangunan (pemerintah) terhadap masyarakat lokal dan meningkatkan kesinambungannya, dengan mendorong rasa memiliki dan tanggung jawab masyarakat. Selain itu, pendekatan ini juga memiliki kontribusi dalam meningkatkan kinerja staf pemerintah dan kepuasan masyarakat atas pelayanan pemerintah. Pemberdayaan didefinisikan sebagai membantu masyakat agar mampu membantu diri mereka sendiri (help people to help themselves). Pemberdayaan dilakukan dengan memberikan ruang dan kapasitas masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dan hak-hak mereka, mengembangkan potensi dan prakarsa lokal, mengaktifkan peran masyarakat serta membangun kemandirian masyarakat. Pemberdayaan dalam arti yang sebenarnya tidak sebatas memberikan input materi atau bantuan dana namun memberikan kesempatan dan kemampuan kepada masyarakat secara luas untuk mengakses sumberdaya dan mendayagunakannya untuk meningkatkan taraf hidup mereka. Dalam konteks ini, pemberdayaan masyarakat harus dilakukan melalui tiga aspek pokok, yakni:
  1. Menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan berkembangnya potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (enabling). Di sini titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia, setiap masyarakat memiliki potensi yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalah upaya untuk membangun daya itu, dengan mendorong (encourage), memotivasi dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimilikinya, serta berupaya untuk mengembangkannya.

  1. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering) melalui pemberian input berupa bantuan dana, pembangunan prasarana dan sarana, baik fisik (jalan, irigasi, listrik) maupun sosial (sekolah, kesehatan), serta pengembangan lembaga pendanaan, penelitian dan pemasaran di Daerah, dan pembukaan akses kepada berbagai peluang (opportunities) yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya.

  1. Memberdayakan mengandung pula arti melindungi masyarakat melalui pemihakan kepada masyarakat yang lemah untuk mencegah persaingan yang tidak seimbang oleh karena kekurangberdayaan menghadapi yang kuat, dan bukan berarti mengisolasi atau menutupi dari interaksi. Pemberdayaan masyarakat tidak membuat masyarakat bergantung pada berbagai program pemberian (charity), karena pada dasarnya setiap apa yang dinikmati harus dihasilkan atas usaha sendiri, yang hasilnya dapat dipertukarkan dengan pihak lain.
Pendekatan pemberdayaan masyarakat yang mengedepankan pengelolaan partisipatif. Beberapa model program pemberdayaan masyarakat tersebut memiliki keunggulan yaitu:
  1. Meningkatnya kemampuan masyarakat dan pemerintah lokal dalam pengelolaan kegiatan pembangunan desa/kelurahan.
  2. Partisipasi dan swadaya masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan cukup tinggi.
  3. Hasil dan dampaknya, khususnya dalam penanggulangan kemiskinan cukup nyata.
  4. Biaya kegiatan pembangunan relatif lebih murah dibandingkan jika dilaksanakan oleh pihak lain.
  5. Masyarakat terlibat secara penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pengendalian.
  6. Keterbukaan dalam pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangannya cukup kuat.

Kesimpulan
  1. Kemiskinan merupakan suatu kondisi ketidaksamaan untuk mengakumulasikan basis kekuasaaan sosial, yaitu kemampuan untuk menguasai peluang strategis yang bisa mempengaruhi kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
  2. Perlu penanganan berperspektif ganda (ekonomi, sosial, politik) dalam mengatasi kemiskinan  beserta problemanya sesuai dengan kondisi riil dalam konteks sosial, baik yang berdaya jangkau jangka pendek maupun panjang.
  3. Program penanganan berdaya jangkau jangka pendek dipersiapkan sebagai dasar dan modal awal bagi langkah selanjutnya untuk mengatasi kemiskinan secara berkelanjutan melalui pendekatan pemberdayaan baik secara ekonomi maupun sosial dan politik.

Rekomendasi
  1. Perlu penajaman pemahaman pada kondisi empiris kemiskinan yang meliputi permasalahan yang berada di sekitar orang miskin, akar penyebab kemiskinan,  faktor internal dan eksternal (sosial) yang mempengaruhi timbulnya kemiskinan.
  2. Pemetaan sosial berbasis data dan informasi, dilanjutkan dengan merumuskan indikator kemiskinan untuk merancang strategi penanganan yang sesuai dengan kondisi riil.
  3. Perlu membentuk jaringan sosial sebagai sistem pengendali bagi perumusan, pelaksanaan dan evaluasi program penanganan kemiskinan yang dilakukan secara terpadu yang melibatkan pelaku.
___________________________
Bacaan lain:
Pemberdayaan Masyarakat Desa
Modal Sosial dan Kepercayaan Publik
Modal Sosial Dalam Pelayanan Publik



No comments:

Post a Comment